Quantcast
Channel: yuswohady.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 363

Value-Based Pricing Ala Java Jazz

$
0
0

Minggu pertama bulan Maret setiap tahun, di rubrik ini saya selalu membahas mengenai Java Jazz. Pertama karena di akhir pekan minggu pertama bulan Maret bisa dipastikan perhatian kita semua tertuju pada event akbar kelas dunia ini. Di samping itu, bisa dipastikan tiga hari full dari siang hingga dini hari saya ada di situ sehingga begitu banyak bahan bisa dijadikan tulisan.

Tahun-tahun sebelumnya bahasan saya mengenai Java Jazz nggak jauh-jauh dari branding atau perilaku konsumen kelas menengah yang menggandrungi jazz. Namun kali ini angle yang saya ambil agak beda, yaitu pricing.

Java Jazz 2016 - 2

Harga Naik
Kebetulan tahun ini harga tiket masuk Java Jazz naik cukup drastis. Setelah gelaran yang ke-12, sepertinya panitia Java Jazz mulai konfiden terhadap kekuatan ekuitas merek (brand equity) nya. Karena itu mereka mulai “jual mahal” dan konfiden untuk mulai secara merayap menaikan harga.

Tahun lalu harga tiket Java Jazz Rp 350 ribu (harian) dan Rp 850 (tiga hari). Tahun ini harganya naik menjadi Rp 400 ribu (harian) dan Rp 1 juta (tiga hari). Saat menulis kolom ini saya cek website Java Jazz, di situ harga bahkan dibandrol Rp 650 ribu (harian) dan Rp 1.7 juta (tiga hari), sebuah kenaikan yang cukup fantastis. Saya langganan beli T-shirt di setiap gelaran Java Jazz. Tahun 2012 harga T-shirt masih Rp 120 ribu. Tahun 2015 lalu naik menjadi Rp 150 ribu. Dan tahun ini, eh naik lagi menjadi Rp 160 ribu.

Yang menarik adalah harga tiket special show. Tahun lalu untuk menonton pertunjukkan Jessie J di samping tiket daily pass, penonton harus mengantongi tiket special show seharga Rp 330 ribu. Tahun ini, saya cek di website Java Jazz tiket special show untuk pertunjukkan hari Minggu Chris Botti dan Sting dibandrol Rp 3,5 juta (platinum) dan Rp 1,9 juta (gold). Sementara pertunjukkan David Foster Rp 1,25 juta (platinum) dan Rp 850 ribu (gold).

Mengacu Value
Pertanyaannya, apakah tiket special show Chris Botti, Sting dan David Foster yang mahal itu akan laku? Perkiraan saya bakal laku keras. Kenapa? Karena bagi segmen penonton platinum dan gold tiga musisi tersebut punya value yang tinggi sehingga layak dihargai sebesar itu. Tiket seharga Rp 3,5 juta bagi segmen penonton festival barangkali kelewat tinggi, namun tidak demikian untuk segmen penonton gold dan platinum. Karena itu kita tak bisa bicara pricing tanpa terlebih dahulu bicara segmen dimana pricing itu dikenakan.

Khusus untuk Sting, bahkan saya punya prediksi, jikalau harganya dinaikkan lagi pun pertunjukkannya akan tetap laris manis. Kenapa? Karena konser Sting di Java Jazz kali ini memiliki value amat tinggi, bisa dibilang priceless, karena ia belum parnah tampil di Java Jazz dan kehadirannya sangat dinantikan penggemar fanatiknya.

Berbicara value, kenapa harga tiket pertunjukkan David Foster lebih rendah dari Sting? Padahal sebagai musisi David Foster tak kalah hebat dari Sting. Sebabnya, David Foster sudah begitu sering tampil di sini beberapa tahun terakhir sehingga nilainya kian menurun alias inflatif. Begitu pula, Chris Botti sudah tampil di Java Jazz tahun lalu, maka value-nya sekarang tak setinggi value tahun lalu saat ia tampil perdana. Tentu saja banyak faktor lain, selain tingkat seringnya tampil, yang menentukan value dari seorang musisi.

Persepsi
Inilah yang disebut value-based pricing, yaitu pendekatan pricing yang mengacu pada value dari produk atau jasa yang dijual, bukan semata ongkos produksi yang dikenakan. Value-based pricing memungkinkan marketer menerapkan tingkat pricing yang fleksibel berapapun sesuai value yang ditangkap konsumen (customer’s perceived value). Kalau konsumen melihat value dari pertunjukkan Sting tinggi sekali, maka justru keliru kalau panitia Java Jazz menjualnya dengan murah.

Di dalam pricing berlaku ungkapan perception is more important than reality. Persepsi konsumen terhadap value sebuah produk/jasa jauh lebih penting ketimbang value riil dari produk/jasa tersebut. Dan menariknya, persepsi terhadap value itu berbeda antara segmen konsumen satu dengan segmen konsumen lainnya. Mobil Ferrari seharga Rp 10 miliar bagi kebanyakan kita tentu sangat mahal, namun bagi segmen fanatik Ferrari bisa jadi sangat murah. Di sinilah letak seni strategi value-based pricing.

Karena kenyataan itu, tidak mungkin kita menerapkan value-based pricing tanpa melakukan segmentasi dan mengetahui betul perilaku konsumen di masing-masing segmen, termasuk mengetahui persepsi mereka dalam memandang value produk/jasa kita. Mengacu ke kasus Java Jazz, segmen festival, gold, platinum memiliki customer’s perceived value yang berbeda karena itu offering dan harga yang dikenakan juga harus dibedakan.

Pelajaran
Ada pelajaran menarik yang harus dipetik setiap marketers dari evolusi pricing yang dijalankan oleh Java Jazz selama 12 kali penyelenggaraannya hingga saat ini. Pertama, seiring terdongkraknya brand equity (yang berarti meningkatnya customer’s perceived value), Anda harus berani mulai “jual mahal” dengan menerapkan premium price. Ingat, kita membangun brand untuk mendapatkan harga tertinggi yang masih di-value konsumen.

Kedua, ketika brand equity sudah kuat, Anda harus mulai mensegmen-segmen pasar secara tajam dan sistematis, dan kemudian memberlakukan kebijakan pricing yang berbeda untuk masing-masing segmen tersebut. Dengan begitu Anda bisa menemukan segmen-segmen basar baru yang lebih profitable.

Selamat untuk Java Jazz yang semakin mendunia di usianya yang ke-12. Java Jazz adalah aset tak ternilai bagi branding Indonesia di panggung dunia.

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 363

Trending Articles