Quantcast
Channel: yuswohady.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 363

DISRUPT!

$
0
0

The age of disruption. Itu barangkali ungkapan paling pas untuk menggambarkan masa yang kita alami saat ini.

Kodak yang perkasa ratusan tahun luluh-lantak oleh “mainan anak-anak” bernama Instagram. Operator telko yang menggurita begitu mudah “ditelikung” oleh layanan startup OTT (over the top) seperti WA atau Skype. Legenda-legenda hotel seperti Hyatt atau Hilton begitu mudah ditaklukkan oleh platform berbagi seperti AirBnB.

Korporasi-korporasi incumbent di seluruh dunia kini sedang berdebar-debar menghadapi kenyataan pahit didisrupsi oleh startup serumur jagung yang bergentayangan layaknya malaikat pencabut nyawa.

Nah, saya punya kasus menarik mengenai kasus dirupsi di industri agensi komunikasi (sering juga disebut biro iklan atau agensi periklanan) yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir di tanah air. Kasus itu saya tuliskan dalam buku saya terbaru berjudul DISRUPT! “Gonjang Industri Komunikasi dan Strategi Memenangkannya” (Gramedia, 2016).

Buku itu ditulis bersama Pak Adji Watono dan Maya Watono, pemilik Dwi Sapta Group, salah satu agensi komunikasi yang sukses melewati disrupsi di atas.

Disrupt Book Cover

Pesta Telah Usai
Kita tahu bersama, selama 10 tahun terakhir banyak agensi periklanan di tanah air rontok oleh adanya disrupsi. Selalu saja, disrupsi menciptakan struktur industri yang baru. Disrupsi membentuk peta persaingan baru. Dan jangan lupa, disrupsi juga menghasilkan pemain-pemain baru: baik the winners maupun the losers.

Masa jaya agensi komunikasi dengan fee mencapai 17% telah lewat. Komoditisasi dan fragmentasi yang menerpa industri ini memicu perang harga yang memangkas agency fee ke titik terendah mendekati nol. Pesta telah usai.

Disrupsi itu menghasilkan new normal dimana agensi-agensi multinasional mendominasi pasar dengan otot finansial praktis tanpa batas. Sebaliknya agensi lokal megap-megap, menjadi agensi liliput, bahkan banyak yang musnah ditelan bumi. Di industri ini pemain lokal sudah tak lagi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Revolusi digital memperparah lanskap media dengan terciptanya kanal-kanal baru berbasis digital baik paid, owned, ataupun earned media. Pola interaksinya pun bergeser dari komunikasi satu arah (one-way) ke dua arah (two-way); dari broadcasting ke engagement; dan dari “one to many” ke “many to many”.

Teknologi digital juga memicu demokratisasi media dimana pemilik merek bisa memiliki medianya sendiri. “Now Every company is a media company,” ujar Tom Foremski seorang guru media. Setiap perusahaan kini bisa memiliki media, mencipta (create), dan mengurasi (curate) konten sendiri untuk para audiensnya.

Tak heran jika kini kanal-kanal digital mulai meramaikan kancah persaingan dan mulai mengambil kue pasar media. Tapi sekali lagi, dominasi pemain global terutama Google dan Facebook tak mungkin bisa dibendung.

Memang TV masih tetap perkasa dengan penetrasi lebih dari 90%, namun dengan tren pertumbuhannya yang luar biasa semua pemain mengakui bahwa masa depan komunikasi pemasaran di tangan media digital. It’s a matter of time.

Wake-up Call
Celakanya, disrupsi 10 tahun terakhir itu rupanya baru pemanasan. Karena kini pakar dan pemain sudah samar-samar melihat datangnya disrupsi jilid dua. Yang paling menohok adalah peringatan Sir Martin Sorrell, CEO WPP, yang mengatakan: “We’re not in the advertising business anymore.”

Pernyataan itu seperti sambaran petir karena diucapkan oleh CEO agensi periklanan terbesar di dunia saat ini. Ungkapan itu adalah cermin bahwa industri periklanan kebingungan menjawab pertanyaan dasar: “What the business are we in?”

Ucapan Sorrell adalah wake-up call bagi setiap insan periklanan. Komoditisasi/fragmentasi yang memicu price war, otomasi (melalui programatic buying) yang menggusur peran agensi sebagai middleman, dan lahirnya platform “many-to-many” yang menciptakan horisontality, mengubah wajah industri ini ke depan.

Nyawa agensi komunikasi bukan lagi kreativitas seperti yang kita temukan pada agensi periklanan tradisional. Nyawa agensi komunikasi ditentukan oleh data dan teknologi. Itu sebabnya pemain di industri ini lebih takut bersaing dengan Google atau Facebook ketimbang bersaing dengan sesama mereka.

Dunia komunikasi pemasaran akan bergeser dari “creative-driven communications” menuju “data-driven communications”. Dan agensi komunikasi akan bergeser dari “creative-driven agency” menjadi “data-driven agency” atau “technology-driven agency”. Wow!!!

Kepada siapapun yang berkiprah di industri ini, saya hanya bisa mengucapkan: welcome to the journey of disruption.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 363

Trending Articles