Quantcast
Channel: yuswohady.com
Viewing all articles
Browse latest Browse all 363

Pirates of the Internet

$
0
0

Misi Tim Berners-Lee saat merintis dan menciptakan World-Wide Web di tahun 1988 sangatlah mulia, yaitu untuk menciptakan sebuah platform jejaring elektronik berskala global yang memungkinkan setiap penduduk bumi untuk berkomunikasi data dan informasi secara mudah, terbuka, dan gratis. “This is for everyone,” ujarnya.

Berners-Lee bermimpi suatu saat seluruh umat manusia akan memiliki universal access kepada informasi dan pengetahuan melalui medium yang sekarang dikenal luas sebagai internet. Dengan universal access ini diharapkan pemerataan pendidikan, kemajuan peradaban, demokrasi politik, kemakmuran ekonomi dan segudang kebaikan lain akan bisa diwujudkan.

Namun celaka, misi mulia tersebut urung terwujud karena tak lama setelah itu muncul segelintir pebisnis oportunis yang dengan kemampuannya di bidang teknologi “membajak” internet, menjadikannya ladang bisnis bernilai triliunan dolar, dan kemudian menguasainya untuk kepentingan memupuk kekayaan secara berlebihan.

Pirates of the Internet

Para “pembajak internet” ini tak lain adalah para libertarian entrepreneurs/investors yang memiliki obsesi megalomania untuk mengendalikan dan menguasai ekonomi dunia. Mereka adalah sosok-sosok pebisnis yang mengendalikan korporasi digital raksasa macam Google, Facebook, Amazon, Uber, dan lain-lain.

Berbekal ideologi libertarianisme (mengacu kepada ajaran ekonom Milton Friedman dan filosof Ayn Rand) secara agresif mereka mengubah internet yang harusnya merupakan “universal utilities” (open, nonproprietary, free) bagi seluruh umat manusia menjadi imperium bisnis yang secara monopolistik mereka kuasai.

Caranya adalah dengan menciptakan apa yang disebut “surveillance marketing business”, yaitu bisnis menjual informasi pribadi kita kepada para pengiklan dengan mengadopsi model bisnis yang awalnya terkesan indah tapi sesungguhnya sangat membahayakan privasi dan kebebasan kita.

Prinsip model bisnis ini berbunyi: “if you’re not paying for something, you’re not the customer; you’re the product being sold”. Kalau Anda menggunakan layanan seperti Google atau Facebook secara gratis, maka Anda bukanlah konsumen. Anda adalah “produk” yang akan mereka jual.

Dengan menjual data pribadi kita perusahaan seperti Google, Facebook, Twitter, atau Amazon mengeruk uang miliaran dolar dari internet. Internet menjadi ladang emas bagi para libertarian entrepreneurs/investors.

Ironis, karena Berners-Lee sebagai pencipta internet justru tidak mendapatkan apa-apa dari hasil ciptaannya. Ia tidak kaya seperti halnya Zuckerberg atau Bezos (Bezos kini adalah orang terkaya sejagad dengan kekayaan sekitar Rp.1500 triliun atau sekitar 70% APBN Indonesia). Ya karena dari awal Berners-Lee mempersembahkan ciptaannya bagi umat manusia secara ikhlas, bukan untuk mengeruk kekayaan.

Ketika ditel-ditel informasi pribadi kita (tulisan surat kita di Gmail, search querry kita di Google, twit-twit kita di Twitter, atau postingan kita di Facebook) ada di tangan mereka, maka sesungguhnya nasib kita ada di tangan mereka. Nasib kita ditentukan oleh rumus algoritma mereka yang sama sekali tidak kita ketahui.

Selama ini kita hanya sibuk ber-Facebook ria, ngetwit, atau berselancar di mesin pencari Google tanpa kita sadari bahwa sesungguhnya kita diawasi dan preferensi, perilaku, aspirasi, maupun pola pikir kita dibentuk oleh rumus algoritma mereka. Inilah surveillance business.

Pertanyaannya, ketika mereka mendapatkan previlege memegang data pribadi kita, apakah mereka bakal bisa memegang amanah untuk tidak menyalahgunakannya?

Siapa yang bisa jamin? Bisa ditebak, mereka akan memperlakukan data pribadi kita semau mereka mengikuti kepentingan bisnis mereka untuk menuai profit sebanyak mungkin. Inilah ideologi dasar dari paham libertarianisme yang mereka yakini.

Awalnya memang kita tidak resah. Namun kini, ketika penguasaan mereka terhadap internet mengarah ke hegemoni monopolistik, kita mulai berpikir, prihatin, dan was-was.

Ingat, kini Google sudah menguasai 88% bisnis pencarian di internet (online search) dan iklan berbasis pencarian (search ads). Dengan Android, Google juga menguasai 80% sistem operasi ponsel. Amazon telah menguasai 70% seluruh penjualan ebook dunia. Sementara Facebook kini telah menguasai 77% pasar jejaring sosial.

Tinggal tunggu waktu, satu-persatu industri demi industri berbasis digital/internet bakal mereka kuasai secara monopolistik dengan cara menciptakan platform yang mendisrupsi industri-industri lama yang telah usang bisnis modelnya.

Kemampuan keuangan mereka praktis tanpa batas, karena begitu mereka berhasil mendisrupsi industri demi industri, maka harga sahamnya langsung meroket setinggi langit. Dan dengan kapitalisasi pasar mencapai ratusan miliar dolar, dengan mudah mereka membeli satu-persatu pesaingnya. Memang salah satu hobi mereka adalah “menyantap” para pesaing dan startup yang berprospek mendisrupsi industri.

By-default, memang persaingan di jagat digital/internet mengarah ke persaingan monopolistik: “winner-takes-all”. Persis seperti dikatakan oleh Peter Thiel (pendiri PayPal dan eksponen libertarianisme) dalam bukunya Zero to One, pasar monopolistik ini terwujud karena empat faktor kunci: proprietary technology, economies of scale, network effect, dan the power of branding.

Di tangan para pembajak (ala Jack Sparrow dalam film Pirates of the Carribean), internet kini berubah fungsi dari “univesal information platform” seperti diidamkan oleh Berners-Lee menjadi “citizen surveillance platform”.

Kalau sudah begini, kita menjadi teringat novel legendaris George Orwell berjudul 1984. Dalam novel ini digambarkan sebuah negara penuh tirani dimana sang penguasa mengawasi setiap gerak-gerik warganegaranya.

Apa yang digambarkan novel tersebut mirip dengan kondisi yang terjadi saat ini. Bedanya, yang mengawasi kini bukanlah pemerintah dan para diktator sekejam Hitler atau Mussolini, tapi korporasi-korporasi digital yang kian menggurita.

Kalau tren ini terus berlangsung, nantinya yang berkuasa bukan lagi negara atau PBB, tapi raksasa-raksasa korporasi digital berikut para pemimpinnya, yaitu para libertarian entrepreneurs/investors.

Melihat sepak terjang raksasa-raksasa digital di atas, kita jadi ingat sejarah East India Company, EIC (di Indonesia kita mengenal VOC) yaitu imperium swasta abad-17 yang mengelana ke seluruh dunia untuk mencari daerah-daerah jajahan baru agar bisa dirampok lada, pala, atau cengkehnya.

Raksasa-raksasa digital abad-21 sesungguhnya mirip dengan EIC/VOC di abad-17. Bedanya, kini daerah jajahan barunya adalah internet; dan kini lada, pala, dan cengkehnya adalah data kita yang dimonetasi menjadi kekayaan triliunan dolar.

Bedanya lagi: kalau imperium swasta abad-17 merampas lada, pala, dan cengkeh daerah jajahan dengan mengangkat senjata, membunuh, dan menyiksa; korporasi digital abad-21 sebaliknya, menjajah internet dengan memberi kenikmatan yang luar biasa.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 363

Trending Articles