Selama enam bulan terakhir ini saya konsentrasi melakukan riset untuk penulisan buku terbaru Crafting Global Talents mengenai upaya Telkom melakukan go global. Upaya ini ditandai oleh dua mega program yaitu Internasional Expansion (disingkat InEx) dan Global Talent Program (disingkat GTP). Yang terakhir ini adalah sebuah program mencetak SDM berkualifikasi kelas dunia (global talent) melalui job assignment selama 3 bulan di luar negeri untuk mendapatkan global exposure dan global experience.
Insya Allah buku ini terbit akhir bulan Februari ini. Seperti biasa, setiap kali buku mau “keluar dari kandungan”, saya selalu memberikan bocoran untuk dibagikan ke teman-teman pembaca.
Ambisius
InEx dan GTP punya posisi sangat istimewa dalam sejarah perjalanan bisnis Telkom. Kenapa? Karena inilah untuk pertama kalinya BUMN papan atas ini membesut inisiatif go global secara super serius, super ambisius, dan super besar. Upaya go global ini kini menjadi inisiatif utama (disebut “Mahakarya untuk Indonesia”) dimana pak Arief Yahya sebagai CEO langsung pegang kendali menjadi komandan lapangan memimpin prajuritnya. Mimpinya tak kecil, untuk menjadi “leading TIMES (telecommunication, information, media, edutainment, services) player in the region”.
Mau tahu betapa ambisiusnya gebrakan ini? Ambil contoh sepanjang tahun 2013, Telkom secara ambisius menetapkan 10 footprints (negara target) untuk dimasuki yaitu: Singapura, Hong Kong, Malaysia, Timor Leste, Myanmar, Australia, Korea Selatan, Macau, dan Arab Saudi. Di 10 negara tersebut Telkom mulai menancapkan tonggak bisnisnya untuk bisa mencuri pangsa pasar di pasar TIMES yang lukratif.
Di Hong Kong dan Malaysia misalnya, Telkom konfiden melenggang dengan bisnis mobile virtual network operator (MVNO). Di Timor Leste Telkomsel (anak perusahaan Telkom) siap meraup ranumnya bisnis seluler di negara yang pernah menjadi provinsi NKRI ini melalui keunggulan infrastruktur jaringan. Atau di Australia Telkom mulai merintis solusi business process outsorcing (BPO) seperti call center atau document management yang sangat kompetitif.
Itu dari sisi negara yang dimasuki. Di sisi global talent yang dicetak, capaiannya lebih fantastis lagi. Dalam kurun waktu hanya satu tahun sepanjang 2013 kemarin GTP berhasil mencetak SDM “global ready” dalam jumlah yang fantastis, yaitu 1000 orang. 1000 orang itu bergiliran bekerja membuka pasar, merintis operasi bisnis, menjual untuk mendapatkan pelanggan, dsb selama masing-masing 3 di 10 footprints negara yang telah di tetapkan di atas.
Mencetak 1000 global talent dalam setahun itu bukan pekerjaan gampang lho. Coba saja hitung, dalam setahun ada 365 hari. Itu artinya dalam satu hari Telkom harus mencetak hampir 3 orang global talents. Atau kalau mau dihitung dalam sebulan, setidaknya harus mencetak hampir 100 orang. Harap diketahui, untuk bisa berangkat mengikuti GTP, mereka harus melakukan pengajuan diri, menjalani proses assessment, mengikuti seleksi, dan akhirnya melakukan pembekalan sebelum mereka siap berangkat melakukan job assignment ke luar negeri.
Follow People… Follow Money
Satu hal yang menurut saya paling menarik dari upaya go global yang dilakukan Telkom adalah dalam hal strategi masuk (entry strategy) ke negara target. Di Telkom dikenal dua entry strategy utama. Pak AY, demikian Arief Yahya biasa dipanggil, menyebutnya dengan strategi “business follow the people” dan “business follow the money”.
Intinya, kalau strategi yang pertama Telkom menyasar negara-negara dimana cukup banyak orang Indonesia seperti Malaysia, Hong Kong, atau Arab Saudi. Sementara strategi kedua, Telkom menyasar negara-negara yang banyak uangnya, terutama karena tingkat kemakmuran mereka jauh lebih tinggi seperti Australia atau Amerika.
Dalam pendekatan “business follow the people”, di negara tujuan terdapat komunitas Indonesian yang jumlahnya signifikan atau komunitas tersebut interaksinya sangat intens dengan orang-orang di Indonesia. Di Hong Kong misalnya, sebagian besar pasar yang digarap adalah para buruh migran Indonesia serta para turis/pengunjung dari Indonesia yang jumlah totalnya mencapai 200-an ribu orang.
Di negara pulau ini pada akhir tahun 2013 ini pelanggan seluler Telkomsel ditargetkan mencapai 100 ribu pelanggan dengan ARPU (average revenue per user) cukup besar sekitar 20 USD. Para buruh migran dan turis/pengunjung yang intens berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia ini merupakan peluang luar biasa yang ditangkap dengan pendekatan “business follow the people”.
Sementara strategi “business folow the money” memanfaatkan perbedaan tingkat kemakmuran dan nilai tukar yang menjadi basis keunggulan komparatif bagi layanan Telkom di negara terget. Ambil contoh di Australia. Negeri kanguru ini kemakmurannya kira-kira 10 kali lipatnya Indonesia. Pendapatan per kapitanya sekitar AUD 52 ribu sementara Indonesia AUD 3 ribu. Pendapatan per kapita Australia 14 kali lipat dibandingkan Indonesia, begitupun harga-harga di Australia berkisar 10 kali lipat di Indonesia.
Perbedaan kurs ini tentu saja memberikan peluang luar biasa bagi Telkom. Jika Telkom bisa memberikan layanan dengan standard yang sama di Australia tetapi dengan harga yang lebih murah dengan memanfaatkan perbedaan kurs ini, maka layanan tersebut akan sangat kompetitif. Strategi “cost leadership” seperti ini tepat untuk menjalankan pendekatan “business follow the money” di pasar Australia.
Global Chaser
Selama enam bulan terakhir ini saya passionate betul menulis buku ini. Kenapa? Karena saya sangat berharap apa yang saya tulis mengenai rintisan go global Telkom ini bisa menjaid role model bagi perusahaan lain di Indonesia. Dengan demikian, apa-apa yang dilakukan Telkom bisa menjadi pembelajaran bagi perusahaan lain di Indonesia.
Tahun lalu saya menulis buku Beat the Giant mengenai upaya merek-merek lokal mencapai kapasitas kelas dunia. Dalam buku tersebut saya menyebut Telkom sebagai Global Chaser, yaitu pemain yang berjaya membangun merek di pasar internasional. Memang banyak merek Indonesia yang sudah menembus pasar dunia, tapi tak banyak yang melakukannya dengan menyiapkan SDM seserius Telkom. Umumnya mereka hanya fokus kepada ekspor, distribusi, pemasaran, atau paling banter produksi. Jarang dari mereka yang super serius menyiapkan dan menggarap SDM berkelas dunia.
Harus diingat, sukses jangka panjang Global Chaser tak hanya menyangkut operasi dan pemasaran semata. Yang utama dan pertama justru adalah SDM. Persis seperti yang dibilang Jim Collins, pakar strategi, yang mengatakan: “first who, then what”. Bangun global talent terlebih dahulu, baru kemudian strategi, operasi, pemasaran, dan sebagainya.