Bulan-bulan ini saya bareng tim di Inventure sedang sibuk-sibuknya menyiapkan sebuah research project mengenai perilaku konsumen kelas menengah muslim (middle-class moslem) di Indonesia. Very challenging! Kenapa? Karena, tak cuma potensinya yang luar biasa besar, tapi juga dinamika perubahannya beberapa tahun terakhir mencengangkan.
Bahkan saya berani mengatakan selama 5 tahu terakhir pasar middle-class moslem di Indonesia telah mengalami revolusi karena adanya pergeseran perilaku yang sangat mendasar. Tak heran jika kemudian pasarnya menggeliat dan marketer langsung pasang kuda-kuda untuk meraupnya. Berikut ini adalah catatan saya mengenai fenomena menggeliatnya pasar middle-class moslem di Indonesia.
Boom Bank Syariah
Sejak pertama kali dirintis Bank Muamalat pada tahun 1991, bank syariah di Indonesia tumbuh luar biasa mencapai hampir 40% tiap tahunnya, jauh melebihi pertumbuhan bank konvensional yang tak sampai 20%. Memang penetrasinya belum mencapai 5% (total aset) dari total pasar perbankan, namun geliat perkembangannya sungguh menjanjikan. Hingga akhir 2013 setidaknya kita telah memiliki 11 bank umum syariah (BUS), 23 bank syariah dalam bentuk unit usaha syariah (UUS), dan 160 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Kantor cabangnya mencapai 2.925 dan telah menggaet sekitar 12 juta lebih akun nasabah dengan dana pihak ketiga (DPK) yang diraup mencapai lebih dari Rp 175 triliiun. Luar biasa!!!
Revolusi Hijabers
Saya kira belum sampai lima tahun “revolusi hijab” terjadi di Tanah Air. Mendadak berbusana hijab menjadi tren gaya hidup (fesyen, kosmetik, asesoris) yang menjalar bak virus ganas ke seluruh penjuru tanah air. Menariknya, tiba-tiba berhijab menjadi sesuatu yang cool, modern, trendy, techy, dan begitu diminati. Saya jadi ingat pagelaran puisi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) berjudul “Lautan Jilbab” di kampus UGM sekitar 30 tahun lalu (kala itu masih SMA). Waktu itu saya hanya bisa membayangkan, karena memang belum kejadian. Tapi kini “lautan jilbab” itu telah hadir di mana-mana: di jalan-jalan, di mal-mal, di seminar-seminar, di acara-acara TV. Betul-betul revolusi.
Kosmetik Muslim Kian Kinclong
Wardah adalah fenomena. Seiring dengan maraknya middle-class moslem dan revolusi hijabers, Wardah muncul sebagai pemain yang tiba-tiba menyeruak mencapai puncak sukses. Para pesaing “konvensional”-nya kebit-kebit karena takut kue pasarnya terpangkas. Iklannya di TV muncul hampir tiap hari. Brand ambassador-nya gonta-ganti (dari Inneke Koesherawati hingga Dewi Sandra). Varian produk dan subbrand-nya berkembang pesat. Sukses Wardah tak sepenuhnya karena kehebatan strategi. Sukses Wardah tak lepas dari rejeki nomplok yang muncul karena menggeliatnya pasar muslimah. Dalam waktu cepat pasar kosmetik muslimah ini bergeser dari niche (ceruk) menjadi mainstream (massal), dan Wardah beruntung bisa “menunggangi” pergeseran tersebut.
Rutin Berumroh, Why Not?
Meningkatnya daya beli middle-class moslem yang diikuti dengan murahnya biaya bepergian ke luar negeri (…thanks to budget airlines) membuat bepergian ke Tanah Suci menjadi demikian mudah dan terjangkau. Hasilnya gampang ditebak: industri travel religi (umroh, haji, wisata keagamaan) menggeliat menjadi bisnis menggiurkan. Saya kadang nggak habis pikir, di beberapa daerah kantong muslim seperti Jawa Timur, antrian haji bisa mencapai belasan tahun. Ya, karena yang mau berhaji meluap, sementara jatah dari pemerintah Arab Saudi tetap jalan di tempat. Rutin berumroh (tiga tahun sekali, bahkan setiap tahun) kini juga mulai banyak kita temui di kalangan keluarga muslim di Tanah Air.
Hotel Syariah Menjamur
Label syariah kini kian seksi. Apa-apa yang berlabel syariah kini kian diminati. Contohnya hotel. Dulu saya nggak kebayang, hotel kok syariah. Namun sejak beberapa tahun terakhir hotel model baru ini tumbuh pesat. Itu artinya, pasarnya ada dan bertumbuh. Diawali oleh Hotel Sofyan sebagai pionir yang beralih dari hotel konvensional menjadi hotel syariah sejak tahun 1994, hotel syariah kini menjamur mencapai populasi 50-100 hotel. Dulu konsep ini aneh, tapi kini sudah mulai diterima konsumen muslim. Mereka mengaku citra hotel syariah yang “bersih” dan bernuansa religius membuat konsumen mendapatkan kenyamanan sekaligus keimanan sebagai seorang muslim. Dan yang pasti hotel syariah diminati ibu-ibu yang kita tahu menguasai 80% pengeluaran rumah tangga.
Kegairahan Budaya Islam
Menggeliatnya pasar middle-class moslem juga tercermin dari tumbuh pesatnya apa yang saya sebut “produk-produk budaya bernuansa Islam” seperti buku atau novel bernuansa Islam, apps bernuansa Islam, film bernuansa Islam, musik bernuansa Islam, termasuk dakwah Islam. Novel dan film “Ayat-Ayat Cinta” menjadi trigger dari menggeliatnya pasar novel Islam di Indonesia. Di dunia dakwah kita juga menyaksikan kegairahan baru dimana para ustad bermunculan sebagai sosok yang down to earth, merakyat, modern, techy, bahkan gaul. Dimulai dari Aa Gym, kemudian beranak-pinak dari ustad Jefri hingga ustad Solmed.
Kewirausahaan Muslim
Kewirausahaan muslim adalah tren yang hot di tanah air beberapa tahun terakhir. Driver-nya adalah komunitas-komunitas wirausahawan muslim yang menjamur di seluruh tanah air, salah satunya adalah Tangan Di Atas (TDA). Komunitas yang berdiri tahun 2006 ini kini telah hadir di hampir 50 kota dengan anggota milis mencapai puluhan ribu anggota. Tahun lalu saya diminta menjadi pembicara Wanita Wirausaha (Wanwir) Majalah Femina di berbagai kota. Saya surprise luar biasa, karena di setiap kota yang saya kunjungi sebagian besar peserta berjilbab, alias wirausahawan muslimah.
Kian Kaya, Kian Bersedekah
Hot-nya pasar middle-class moslem tak hanya tercermin dari urusan beli produk dan layanan. Menggeliatnya pasar middle-class moslem juga tercermin dari makin getolnya mereka bersedekah dan membayar zakat. Survei Inventure tahun 2013 menunjukkan bahwa pengeluaran kelas menengah untuk zakat dan sumbangan mencapai 5,4% dari total pengeluaran bulanan, sebuah angka yang cukup besar. Teman saya, mas Thoriq Helmi, salah satu direktur di Dompet Duafa, pernah bilang ke saya, bahwa sedekah dan zakat yang ditampung Dompet Duafa selama ini sebagian besar diperoleh dari middle-class moslem, dan potensinya terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Dan menariknya, “90% lebih mereka membayar zakat via electronic channel seperti transfer ATM, debit, dll,” ujar mas Thoriq. Upzzz, techy amat!!!
Label Halal Jadi Rebutan
Dulu label halal tidak begitu diperhatikan konsumen kita. Namun kini, label halal mulai dilirik dan menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan pembelian konsumen. Tak heran jika kemudian perusahaan berlomba-lomba melabeli produknya dengan stiker halal. Ujung-ujungnya bisnis label halal pun ikutan menggeliat. Barangkali karena hal ini dua instansi kita berebut untuk mendapatkan hak mensertifikasi produk halal. Upzzzz… Nggak ikut-ikut ahhh.