Corona tak hanya membunuh manusia.
Corona juga membunuh produk, bisnis, dan kebiasaan lama.
Corona membunuh produk/layanan dan bisnis berikut:
- Hotel di Bali sepi pengunjung dengan okupansi hanya di bawah 5%.
- Bioskop di seluruh dunia tutup karena lockdown dan kebijakan social distancing.
- Airlines berguguran karena penumpang dan pendapatan turun hingga 90%.
- MICE (Meeting, Incentive, Conference, Exhibition) dan konser musik live berhenti total karena sifatnya aktivitasnya yang high-crowd.
- Rumah bordil di seluruh dunia tak beroperasi karena pelanggan takut tertular virus.
Corona juga membunuh kebiasaan dan aktivitas lama berikut:
- Jabat tangan dan cipika-cipiki bakal punah karena persentuhan fisik kini kian dihindari.
- Face-to-face meeting kini tergantikan oleh Zoom meeting yang dinilai lebih aman dari virus, lebih efisien, dan lebih produktif.
- Mudik dilarang pemerintah tahun lalu karena dikhawatirkan akan melonjakkan penyebaran virus. Sungkem dengan orangtua pun dilakukan secara virtual.
- Jam kerja “9-to-5” mulai ditinggalkan ketika perusahaan dan pemerintah mulai menerapkan kebijakan WFH (working from home).
- Car Free Day (CFD) di Bunderan HI dilarang gubernur karena sangat membahayakan dan berisiko tinggi menularkan COVID-19.
- Kampanye akbar Pilkada serentak tahun 2020 yang mengerahkan massa (rapat umum, konser musik, panen raya) dilarang karena berpotensi menyebarkan virus.

Di masa pandemi kita dipaksa memasuki ekonomi baru yang ditandai dengan empat hal: hygiene, low-touch, less-crowd, dan low mobility. Kombinasi keempat hal tersebut menghasilkan rule of the game baru.
Siapapun harus tunduk pada rule of the game baru tersebut. Kalau tidak? Mereka akan binasa bahkan lebih fatal lagi berujung pada kematian.
Celakanya banyak bisnis, industri, dan aktivitas yang by-default memang melanggar rules of the game tersebut.
Contohnya adalah industri pariwisata. By-default industri ini bersifat high-touch, high-crowd, dan high-mobile. Pertunjukan tari Kecak di Uluwatu; festival Gandrung Sewu di Banyuwangi; atau aktivitas MICE di hotel-hotel menuntut adanya kerumunan, persentuhan fisik, dan mobilitas travellers yang tinggi.
Tak heran jika pariwisata adalah industri yang paling terdampak selama pandemi.
Kenapa Corona begitu tega membunuh produk, bisnis, dan industri?
Semuanya bersumber dari konsumen.
Ya, karena Corona telah memaksa konsumen untuk berubah perilakunya. Perubahan perilaku konsumen inilah yang menyebabkan produk, bisnis, dan industri menjadi tidak relevan lagi value proposition, model bisnis, dan strateginya.
Coba kita lihat beberapa kasus “pembunuhan” akibat perubahan perilaku konsumen berikut:
Kasus Pembunuhan #1:
Pandemi menciptakan budaya baru yang kami sebut “stay @ home lifestyle” yang memaksa konsumen bekerja, belajar, menikmati hiburan, berobat, bahkan beribadah dari rumah. Akibat munculnya lifestyle baru ini fatal: kantor-kantor tutup, sekolah dan universitas tutup, kafe dan tempat hiburan tutup, bahkan tempat-tempat ibadah tutup.
Kasus Pembunuhan #2:
PSBB menyebabkan konsumen tak lagi berbelanja di pasar atau supermarket. Mereka dipaksa untuk berbelanja secara online. Maka peritel fisik seperti Matahari, Ramayana, atau Giant pun menjadi korban.
Kasus Pembunuhan #3:
Pandemi mendorong konsumen mengurangi persentuhan fisik dengan orang lain. Karena itu bisnis fitness center misalnya, yang peralatannya digunakan secara berbagi (sharing), semakin dihindari konsumen. Di bisnis perbankan, konsumen juga mengurangi penggunaan uang cash dan ATM untuk bertransaksi karena takut tertular virus dari persentuhan uang kertas/logam dan tombol-tombol ATM.
Kasus Pembunuhan #4:
Pandemi juga memaksa konsumen untuk menjauhi kerumunan. Maka produk/layanan, bisnis, dan industri yang sifatnya high-crowd pun limbung karena ditinggalkan konsumen. Bisnis-binis high-crowd seperti event olahraga (Olimpiade, Piala Dunia, Formula-1, hingga Grand Slam), konser musik dan festival (Coachella, Glastonbury, DWP, hingga Java Jazz), hingga bisnis EO pernikahan bertumbangan selama pandemi.
Kasus Pembunuhan #5:
Bagitu pula konsumen mengurangi mobilitas dan memangkas kegiatan perjalanan. Akibatnya bisnis transportasi pun mandek: maskapai penerbangan ditinggalkan penumpang, taksi dan ojek online tiarap, bis-bis antarkota berhenti beroperasi. Bisnis money changer di Kuta pun ikutan terdampak gara-gara turis dari seluruh dunia tak bisa masuk ke Bali.
Kasus-kasus pembunuhan produk, bisnis, dan kebiasaan lama oleh Corona di atas bisa direntang lebih panjang lagi.
Corona tak hanya membuhuh manusia, tapi juga produk, bisnis, dan kebiasaan lama. Corona Kills Everything.
Corona is a serial killers.
(Insya Allah buku ini akan terbit awal Maret 2021 ini, tunggu tanggal mainnya)