Minggu lalu saya nonton midnight film hebat bertitel “Her”, pemenang sekaligus Golden Globe dan Oscar untuk skenario film terbaik. Film ini bercerita mengenai seorang pria kesepian yang jatuh cinta berat pada operating system (OS) komputer super cerdas yang mewujud dalam bentuk suara wanita bernama Samantha. Melalui sosok Samantha dengan suara yang seksi nan mendesah, program komputer ini berhasil menyihir si pria hingga ia kepincut setengah mati pada si sosok wanita yang diisi suaranya oleh artis seksi Scarlett Johansson.
Kenapa bisa begitu? Rupanya program komputer ini dilengkapi dengan teknologi artificial intelligence yang memungkinkannya bisa membaca sifat, kepribadian, kebiasaan, bahkan suasana hati si pria kesepian. Samantha demikian hidup sehingga bisa menjadi teman ngobrol yang intim dan penuh pengertian. Setiap curhat si pria selalu didengar dengan sabar dan telaten, dan setiap keluh-kesahnya diberikan solusi cespleng. Interaksi intim inilah yang kemudian menumbuhkan bibit cinta antar keduanya.
Film ini menjadi komedi satir, karena kisah asmara yang mengharu-biru itu bukannya terjadi antar dua insan manusia, tetapi antar si pria kesepian dengan mesin alias program komputer. Karena lucu menggelikan, tak heran jika film ini masuk dalam nominasi film terbaik komedi/musikal baik di ajang Golden Globe maupun Oscar.
Revolusi Big Data
Saya tergelitik oleh film ini bukan karena film besutan sutradara Spike Jonze ini hebat hingga memborong 5 nominasi Oscar. Saya tertarik justru karena penasaran bagaimana si Samantha bisa “membaca” watak dan isi hati si pria kesepian. Karena film ini menggunakan setting waktu tahun 2025, maka saya pun berandai-andai, teknologi apa gerangan yang digunakan OS super canggih tersebut.
Kebetulan setahun terakhir ini saya sedang getol-getolnya membaca buku ataupun artikel mengenai “Big Data”, sebuah terminologi yang kini sedang menjadi buzz di dunia riset dan analitik data. Secara awam, Big Data adalah fenomena melimpah-ruahnya jumlah data (dalam bentuk digital) yang kini bisa diambil (storing) dan diolah menjadi informasi yang sangat berharga untuk berbagai tujuan.
Data melimpah di world wide web (www) dalam bentuk teks di Facebook, gambar di Flickr, video di Youtube, data lokasi kita di Foursquare atau Google Map, data suhu di thermostat lemari es atau AC, hingga data hasil sensor kamera CCTV, semuanya kini bisa ditangkap dan diolah menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk kehidupan umat manusia. Karena data yang diambil dari berbagai tools tersebut berasal dari miliaran orang, maka bisa dibayangkan berapa besar jumlah data yang terkumpul. Itulah Big Data.
Ambil contoh simpel, twit di Twitter atau “likes” di Facebook. Tahun 2012 lalu para tweeps telah ngetwit sebanyak lebih dari 400 juta sehari dengan pertumbuhan mencapai 800% setahun. Di tahun yang sama, setidaknya kita “nge-Likes” di Facebook sebanyak lebih dari tiga miliar kali sehari. Itu baru sehari, bayangkan jumlahnya kalau data-data itu dikumpulkan sebulan, setahun, atau bahkan bertahun-tahun.
Google saat ini mengolah sebanyak sekitar 24 petabytes (Petabytes = 1 juta gigabytes) data setiap harinya. Salah satunya adalah search query kita yang jumlahnya ratusan juta seharinya. Jumlah data ini mencengangkan karena kira-kira setara dengan ribuan kali jumlah seluruh dokumen cetak yang dimiliki Library of Congress hingga saat ini.
Nah, semua data di atas kini bisa diambil dan diolah menjadi “emas” bernilai bisnis miliaran dolar. Inilah bisnis masa depan: bisnis Big Data. Ambil contoh seluruh twit-twit kita di Twitter, status update kita di Facebook, atau search query kita di mesin pencari Google. Data-data yang “diinput” ratusan juta pengguna Twitter, Facebook, dan Google secara real time selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu tersebut kini bisa diambil dan diolah untuk memotret perilaku, hobi, kebiasaan kita kita sehari-hari. Bahkan dalam kurun waktu lama data-data tersebut bisa memetakan sifat dan karakter kita.
Memetakan Sifat dan Perilaku
Kembali ke film “Her”. Walaupun tidak diceritakan di film, saya berandai-andai, sifat-sifat si pria kesepian dalam film tersebut bisa dipetakan oleh OS (“si seksi Samantha”) karena OS tersebut mengumpulkan seluruh isi email-email si pria kesepian, twit-twitnya di Twitter, status updates di Facebook, search query di Google, data kamera di laptop dan CCTV di sudut-sudut rumahnya, dan data apapun mengenai si pria kesepian. Ingat di tahun 2025 nanti setiap gerak-gerik kita akan bisa “ditangkap” datanya, dan seluruh data itu sudah dalam bentuk digital.
Karena sudah tersedia dalam bentuk digital, maka tentu saja data personal yang sangat kaya tersebut (yesss… Big Data!!!) bisa diolah dalam waktu super singkat dalam ukuran detik bahkan mikro-detik (ingat kemampuan komputer di tahun 2025 juga akan ratusan bahkan ribuan kali lipat dari kemampuan komputer saat ini). Itu sebabnya, Samantha bisa “membaca” setiap perubahan suasana hati, perilaku dan sifat si pria kesepian setiap jam, menit, bahkan detik.
Bagaimana pengolahan dan analisa data individu itu dilakukan? Yang melakukan itu semua bukanlah manusia, tapi mesin. Bagaimana mesin melakukan? Mesin melakukannya secara otomatis menggunakan apa yang disebut algoritma. Seluruh data dari seluruh aktivitas si pria kesepian dikumpulkan kemudian dipetakan polanya dengan algoritma tertentu. Dengan teknik komputasi canggih (seperti “machine learning” atau “neural networking”) maka komputer bisa memberikan respons yang tepat dan presisi kepada si pria kesepian mengacu pada data-data tadi.
Itulah powerful-nya algoritma. Nantinya seluruh aktivitas dan kehidupan kita akan “diotomasi” oleh sebuah teknik yang bernama algoritma. Seperti ditunjukkan film “Her”, algoritma bisa menghasilkan “mahluk hidup baru”, sosok seperti Samantha yang sangat hidup, sangat natural, cerdas, sekaligus sangat manusiawi.
Tak mengherankan jika Chirstopher Steiner, penulis buku Automate This: How Algorithms Came to Rule Our World mengatakan bahwa nantinya algoritma akan mengatur seluruh hidup kita: “Algorithms are taking over everuthing… it is the tools we use to shape our planet, our lives, and even our culture.”
Habis nonton film “Her” terus terang saya menjadi resah luar biasa dan berharap-harap cemas. Saya berharap di tahun 2025 saya sudah pensiun dari profesi sebagai konsultan pemasaran. Apa sih sesungguhnya pekerjaan konsultan pemasaran? Pekerjaannya mengolah data konsumen dan kemudian menganalisisnya hingga menjadi strategi pemasaran yang cespleng. Saya resah karena di tahun 2025 profesi saya raib dibumihanguskan oleh algoritma. Sebagai konsultan pemasaran saya pasti kalah bersaing melawan “mbak Samantha”. Kwkwkwkkkk…