Akhirnya hari yang ditunggu itu datang juga. Kamis 15 April lalu untuk pertama kalinya Google Glass dijual ke publik. Setelah penasaran menunggu selama dua tahun, kaca mata canggih berkemampuan smartphone tersebut minggu ini bisa didapatkan konsumen Amerika walaupun harganya masih selangit sekitar 17 juta perak. Celakanya, penjualan secara online itu hanya berlangsung sehari. So, rasa penasaran konsumen masih terus diulur-ulur layaknya layang-layang terbang jauh di awan.
Inilah hebatnya para marketers di Google. Sengaja extraordinary product ini “digoreng-goreng” sampai matang betul layaknya harga saham, agar word of mouth dan viralnya terus menjalar di kalangan konsumen di seluruh penjuru dunia. Sengaja konsumen “disiksa” (di dunia marketing sering disebut: “tormenting the customer”) dengan rasa penasaran yang panjang, sehingga pada saatnya nanti di hari H peluncuran, produk tersebut betul-betul meledak: Boom!!!”
Beginilah jurus jitu marketer untuk meledakkan sebuah produk luar biasa yang sebelumnya tak pernah ada di pasar. Caranya menggunakan word of mouth marketing dengan memanfaatkan viral dari satu konsumen ke konsumen lain secara massif. Kita tahu, ketika social/sharing tools seperti Twitter, Facebook, atau YouTube tersedia secara massif, maka viral yang dihasilkan pun menjadi sangat luar biasa. Cara yang persis sama dilakukan oleh Apple dengan dua blockbuster products-nya iPod dan iPad beberapa tahun lalu. Inilah cara pemasaran paling efektif sepanjang sejarah umat manusia hingga detik ini.
Bagaimana cara Google menyebarkan viral Google Glass ke seluruh penjuru bumi dalam hitungan detik? Elemen dasarnya adalah apa yang saya sebut first-time user sensations. Apa itu?
Sensational Experience
First-time user sensations adalah sensasi menggunakan produk untuk pertama kali. Untuk produk yang sudah ada sebelumnya, maka sensasi itu tentu biasa saja. Namun untuk produk yang lahir untuk pertama kali dan memang sebelumnya belum pernah ada seperti iPad atau Google Glass, maka sensasinya tentu akan luar biasa. Sensasi inilah yang memiliki nilai sangat tinggi di mata si pengguna.
Saya masih ingat dulu pada saat iPhone pertama kali muncul, pada waktu itu penggunaan layar sentuh dan virtual keyboard merupakan sesuatu yang cool dan menghasilkan sensasi yang luar biasa. Begitu pula pada saat Instagram pertama kali keluar, pengalaman menjadi pengguna pertama Instagram untuk mengolah foto hasil jepretan, lalu men-share foto tersebut di Twitter atau Facebook merupakan sesuatu yang memiliki gengsi sosial di kalangan teman-teman kita.
Lalu apa first-time user sensations untuk Google Glass? Tak kalah sensasional dibanding iPod, iPad, atau Instagram. Misalnya sensasi memotret dengan hanya menggunakan perintah suara. Cukup bilang “Ok Glass, take a picture,” maka sekejap kemudian si kaca mata pintar menjepret objek yang kita lihat. Atau sensasi mengakses email, mengambil informasi dari web, dan mencari jalan/alamat dengan bantuan navigasi Google Glass. Semua aktivitas itu dilakukan dengan perintah suara menggunakan interface berupa layar prisma kecil yang diletakkan sedikit di atas mata kanan kita. Very cool!
Menyebarkan Sensasi
Kembali ke pertanyaan semula, bagaimana Google menyebarkan viral Google Glass ke seluruh penjuru dunia? Inilah kekuatan sensasi. Yang dilakukan oleh Google adalah mendorong para evangelist untuk menyebarkan sensasi yang mereka alami saat menggunakan Google Glass untuk pertama kali. Mereka menyebarkan pengalaman tersebut melalui tweets di Twitter, status update di Facebook, posting di blog, atau video di YouTube. Melalui medium-medium social sharing itulah viral Google Glass menyebar layaknya wabah flu burung yang ganas merajalela.
Tahun lalu misalnya, Google mengirimkan Glass Explorer Edition versi awal ke 8.000 individu terpilih untuk mengikuti program Glass Xplorer. Mereka diberi kesempatan emas menjajal kehebatan Google Glass versi beta sekaligus menjadikan mereka sebagai para evangelists pertama untuk menyebarkan viral positif mengenai Google Glass. Tentu saja para evangelists ini tidak dilepaskan begitu saja dalam menyebarkan viral. Agar tercapai positive word of mouth, maka Google menskenariokannya.
Caranya gimana? Pertama tentu memastikan bahwa produk versi beta tersebut betul-betul menghasilkan sensasi positif di kalangan para evangelists pertama. Artinya, produk versi beta tersebut harus sudah dalam kondisi nyaris sempurna. Kedua, Google terlebih dulu mensosialisasikan sensasi positif yang diinginkannya melalui berbagai media yang ia rencanakan. Kepastian terwujudkan sensasi positif ini penting, karena kalau sampai yang terjadi adalah sebaliknya, maka yang diraup bukannya good mouth, tapi bad mouth. Kalau terakhir ini yang terjadi, maka bisa dipastikan produk gagal total.
Saya sering mengatakan bahwa pendekatan pemasaran paling cespleng hingga saat ini adalah word of mouth, alias menjadikan konsumen sebagai marketer utama (“Your best marketers are your customers”). Tapi harus diingat, Jangan kira pendekatan ini gampang. Seperti kita lihat pada kasus Google Glass di atas, rupanya word of marketing tak sesederhana menyebarkan pesan positif lewat jejaring sosial. Yang justru paling sulit adalah bagaimana menghasilkan extraordinary product yang mempu menghasilkan extraordinary sensations di kalangan para evangelist.
Hai para marketer di Tanah Air, silahkan mencoba resep Google Glass di atas bagi produk Anda. Rule of tumb-nya gampang: pertama, ciptakan extraordinary product; kedua, ciptakan first-time user sensations di kalangan evangelist pertama; dan ketiga, sebarkan sensasi tersebut layaknya virus yang menjalar ganas.