Hari Kamis (27/3) lalu saya diminta berbicara di ajang Otomotif Award 2014, sebuah ajang penghargaan kepada para pelaku industri otomotif yang diselenggarakan oleh Majalah Otomotif, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Hadir juga di situ Wagub Basuki Tjahaja Purnama karena beroleh penghargaan News Maker of the Year sekaligus memberikan sambutan.
Saya diminta memaparkan revolusi kelas menengah di Indonesia dan dampaknya di industri otomotif nasional. Topik yang saya ambil: “The 5 Big Consumer Trends in Auto Industry”. Seperti diketahui sejak tahun 2010 untuk pertama kalinya Indonesia menembus ambang batas GDP perkapita USD 3000, yang sekaligus diikuti munculnya fenomena revolusi konsumen kelas menengah. Konsumen kelas menengah Indonesia (pengeluaran sehari sebesar USD 2-20) tumbuh dengan pesat mencapai jumlah 140 juta penduduk dengan pertumbuhan 8-9 juta orang pertahunnya.
Mass Luxurization
Lalu apa dampaknya di industri otomotif. Pengaruh yang paling mencolok adalah munculnya apa yang saya sebut “mass luxurization”, dimana seiring dengan meningkatknya kemakmuran, mobil kini sudah tidak merupakan barang mewah lagi. Mungkin masih dianggap barang mewah, namun semua kalangan sudah memilikinya, tak terbatas kalangan kaya tertentu.
Dulu waktu SD dan SMP, saya sering menonton film-film seri di TVRI (my favorites: Mannix, Starsky and Hutch, The A Team, Hawai Five-O). Dari tayangan film-film tersebut saya gumun (terheran-heran), kok bisa ya hampir semua keluarga di Amerika punya mobil. Waktu itu memang di Tanah Air masih segelintir keluarga yang memiliki mobil, bahkan di kampung saya tak satupun yang punya mobil.
Fenomena “semua keluarga punya mobil” seperti saya herankan sekitar 30 tahun lalu itu kini kejadian di Tanah Air. Keluarga-keluarga baru kelas menangah kini mulai punya mobil keluarga karena daya beli mereka yang kian memadai. Fenomena ini direspons sangat baik oleh pelaku industri otomotif dengan meluncurkan secara besar-besaran model mobil dengan harga terjangkau.
Pionirnya tentu saja Avanza-Xenia yang dikenal sebagai “mobil sejuta umat”, kemudian Nissan Levina dan Suzuki Ertiga, dan terakhir yang bakal menjadi kuda hitam Honda Mobilio (menang di ajang Otomotif Award 2014 sebagai “Car of the Year”). Bahkan sejak setahun lalu para produsen mobil secara ambisius mulai muncul model mobil murah (LCGC: low cost, green car) dengan harga di bawah 100 juta perak.
Tak hanya itu, membeli mobil sekarang juga gampang karena beragam produk kredit pembiayaan mobil dari bank maupun perusahaan pembiayaan ngantri siap membantu. Tak heran jika banyak keluarga seumur-umur nggak pernah pegang BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) karena harus “disekolahin” dulu ke perusahaan pembiayaan.
Shorter Lifecycle
Fenomena menarik lain yang saya tangkap adalah makin pendeknya siklus konsumen kelas menengah membeli mobil dan kemudian menjualnya kembali. Dulu orang membeli mobil dengan tujuan untuk memiliki dalam jangka lama, sekitar 5 tahun atau lebih. Kini waktunya menjadi lebih pendek sekitar 3 tahun bahkan lebih pendek lagi tergantung sering tidaknya merek-merek mobil baru yang keluar di pasaran.
Pada sebagian konsumen bahkan membeli mobil kini sudah seperti membeli gadget, terus berganti-ganti mengikuti mobil model baru yang keluar di pasar. Semakin sering model baru yang keluar, maka semakin sering dan pendek juga mereka ganti mobil.
Ambil contoh sekarang ini. Saya melihat di bulan-bulan terakhir ini banyak keluarga yang kebelet untuk membeli mobil gress Honda Mobilio, padahal mereka baru membeli Suzuki Ertiga tahun lalu. Seperti kita tahu, tahun lalu Ertiga merupakan “kuda hitam” yang berhasil mencuri hati keluarga-keluarga Indonesia, dan begitu ambisius mematahkan dominasi Avanza-Xenia. Hasrat berganti mobil hanya dalam beberapa bulan ini tentu tak lepas dari iklan gencar dan word of mouth mengenai mobil keluaran terbaru yang ampuh menggoda nafsu membeli.
Kalau lifecycle berganti mobil menjadi kian pendek, lalu apa dampak ikutannya? Yang jelas pasar mobil bekas (used car) menjadi lebih marak dari sebelum-sebelumnya. Pasar ini dimanfaatkan dengan cerdas oleh konsumen kelas menengah yang memiliki daya beli yang lebih rendah. Kata mereka: “Mobil boleh bekas, tapi model tetap keluaran terbaru”. Itu sebabnya saya berani mengatakan bahwa, pasar mobil bekas adalah “the next big thing” dalam industri otomotif di Indonesia.
Go Online
By default konsumen kelas menengah kita cerdas. Itu sebabnya untuk pembelian produk-produk yang high investment dan high involvement seperti mobil mereka berpikir seribu kali sebelum membeli. Sebelum membeli mereka akan mengumpulkan informasi mengenai fitur-fitur mobil, meminta pendapat ke teman atau expert mengenai kehebatan mobil, atau mengumpulkan pendapat orang-orang yang memiliki pengalaman menggunakan mobil yang akan mereka beli.
Nah, cara paling cepat dan gampang untuk mendapatkan semua informasi itu dari mana? Tanya “Mbah Google” alias “go online”. Karena itu saya memprediksi, mesin pencari Google, blog-blog pakar otomotif, komunitas-komunitas online pecinta otomotif, atau obrolan-obrolan di Facebook, Twitter, hingga BBM akan menjadi sumber informasi terfavorit bagi konsumen kelas menengah dalam memutuskan pembelian mobil.
Akibatnya, setiap kali ke dealer membeli mobil, mereka datang dengan isi kepala penuh. Informasi A sampai Z mengenai mobil yang akan mereka beli sudah di kepala, keputusan mobil apa yang akan mereka beli pun sudah ada di tangan. Bujuk-rayu salesman yang nerocos meyakinkan konsumen menjadi tidak mempan lagi. Salesman hanya diam manis menunggu instruksi si konsumen.
Kalau demikian adanya lalu bagaimana dengan fungsi salesman di dealer? Perjuangan salesman meyakinkan konsumen untuk memilih mobil yang akan dibeli bukan lagi dilakukan di dealer. Kenapa? Karena sudah terlambat, begitu sampai di dealer si konsumen sudah mengantongi keputusan. So, perjuangan meyakinkan konsumen harus dilakukan oleh salesman di ranah online (di Google, di Detik.com, di blog-blog, di Facebook, di Twitter, di BBM, di milis-milis otomotif, dll).
Karena alasan itulah saya kemudian menganjurkan kepada para salesman mobil untuk ngeblog dan rajin menyambangi komunitas-komunitas otomotif di ranah online. Istilah kerennya: selling through blogging atau selling through community. Di situlah Anda berjuang sampai titik darah penghabisan untuk meyakinkan konsumen memilih dealer Anda.
Kalau sudah begini, bisa jadi nantinya blogging akan menjadi faktor paling kunci kesuksesan seorang salesman mobil. Semboyannya: “Blogging or die!!!”