Tidak seperti biasa, kolom saya kali ini saya tulis dengan sangat emosional. Sudah satu setengah ember air mata saya terkuras. Ya, karena hati saya remuk, pilu, marah, hopeless melihat begitu amburadulnya para pemimpin negeri ini. Hati saya menangis.
Anggota DPR korupsi, anak anggota DPR korupsi, ketua partai korupsi, anggota partai korupsi, ketua MK korupsi, anggota MA korupsi, hakim-jaksa korupsi, menteri korupsi, dirjen korupsi, ketua DPRD korupsi, gubernur korupsi, adik gubernur korupsi, walikota korupsi, bupati korupsi, keponakan bupati korupsi, camat korupsi, lurah korupsi, pengusaha kakap korupsi, pengusaha abal-abal korupsi, pengusaha kelas teri korupsi. Pemimpin negeri ini bangkrut moral oleh korupsi.
Saking hopeless-nya, sampai-sampai saya bergumam dan mengumpat: “Kok ada bangsa seamburadul ini!!!”
Role Model
Saya sedih bukan menyayangkan perilaku biadab para pemimpin itu. Mereka mau dipenjara seumur hidup, dihukum mati, masuk neraka, saya tak peduli. Yang saya sedihkan adalah suasana hati rakyat kecil yang melihat pemimpin-pemimpin mereka yang gemblung, keblinger, lupa daratan, gila kekuasaan, sakit jiwa, raib nurani, bobrok hati (…dan entah sebutan biadab apalagi yang pantas bagi mereka).
Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang harusnya berhati mulia dan menjadi teladan bagi rakyat kecil: petani, nelayan, guru, pedagang pasar, wirausahawan UMKM, pegawai negeri, para profesional, dosen, peneliti, pelajar, mahasiswa, kuli bangunan, pemulung. Mereka harusnya menjadi role model yang pantas dicontoh rakyat kecil. Perilaku mereka harusnya menjadi standar perilaku dan tuntunan bagi rakyat kecil dalam berbuat dan bertindak. Semua itu abai mereka lakukan.
Para pemimpin itu harusnya punya peran maha besar untuk membentuk karakter, nilai-nilai, perilaku, semangat juang, ketahanan mental, keteguhan bagi seluruh rakyat kecil agar bangsa ini menjadi bangsa besar (ingat, tahun 2030 Indonesia menjadi kekuatan ekonomi ke-7 terbesar di dunia).
Namun, ketika para pemimpin itu menampilkan diri sebagai sosok pemimpin yang gemblung, keblinger, lupa daratan, gila kekuasaan, sakit jiwa, raib nurani, bobrok hati (kalau Vicky membaca kolom ini, tolong ditambahkan koleksi istilahnya lagi), maka mau jadi apa rakyat kecil kita ini. Ketika sosok pemimpin yang kelam itu dipanggungkan demikian massif dan telanjang di talkshow-talkshow TV (tentu saja demi rating), di halaman-halaman koran, di laman-laman media online, atau di ocehan-ocehan Twitter/Facebook, mau jadi apa rakyat kecil kita ini.
Sekali lagi, saya tak peduli mau diapakan para pemimpin biadab itu. Yang saya pedulikan adalah kalau rakyat kecil kita ikutan-ikutan jadi maling, jadi serigala, jadi gemblung, jadi keblinger, jadi sakit jiwa, jadi raib nurani, jadi bobrok hati oleh aksi role modeling para pemimpin yang kelam tersebut. Yang saya pedulikan adalah kalau rakyat kecil jadi hopeless (seperti saya), nglokro hati, mlempem jiwa (saya terasuki Vicky), minder, dan patah arang di tengah tantangan AEC (Asean Economic Community), liberalisasi APEC, hingga serbuan brand-brand global, sekali lagi karena ulah role modeling pemimpin kita yang kusam di atas.
Leaderless Society
Tapi saya tak mau terus merintih dan mengumpat. “The show must go on!!!” Bangsa ini harus tetap melaju kencang menjadi kekuatan ekonomi ke-7 di tahun 2030; bangsa ini harus survive menghadapi AEC 2015; bangsa ini harus menjadi tuan rumah di tengah gempuran brand-brand asing; bangsa ini harus gemah rimpah loh jinawi di tengah APEC. Semua itu harus kita wujudkan walaupun pemimpin telah raib di negeri ini.
True, pemimpin telah raib di negeri ini, dicuri oleh “setan korupsi” yang bergentayangan di seantero negeri. Kalau pemimpin telah raib, lalu siapa yang harus memimpin negeri ini? Mau tak mau rakyat kecil harus mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri.
Saya percaya bahwa sejak awal sesungguhnya rakyat kecil adalah sosok yang paling mandiri. Mereka bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Mereka tekun dan disiplin untuk mengejar kehidupan yang lebih baik. Mereka produktif dan tahan banting dalam mewujudkan mimpi-mimpi yang besar. Mereka memiliki daya survival yang luar biasa untuk lolos dari himpitan krisis ekonomi. Mereka bisa menjaga hati untuk tidak bohong dan berperilaku culas. Sesungguhnya mereka memiliki kearifan yang luar biasa untuk mencapai sukses yang mulia. Saya percaya mereka mampu menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri.
Karena itu, mari rakyat kecil jadilah pemimpin bagi diri sendiri. Tetap semangat membangun negeri ini. Tak usah muluk-muluk, mulailah dari diri masing-masing. Kerja keras dan ketekunan dari seorang rakyat kecil memang tak berarti. Namun kalau kerja keras dari 200-an juta rakyat kecil dikumpulkan, maka ia akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi bangsa ini.
Para pengrajin tempe tak usah mengeluh harga kedelai meroket. Para wirausahawan UKM tak usah mengeluh kena sunat pajak. Para nelayan tak usah mengeluh solar mahal. Dengan kerja keras, keuletan, optimisme, fokus, dan bersih hati semua masalah itu pasti bisa terlewati.
Terakhir, jangan banyak nonton talkshow-talkshow TV atau baca halaman-halaman koran yang berisi akrobat para pemimpin culas dan bobrok hati. Karena itu bisa melumerkan semangat perjuangan membesarkan negeri.
Entah kenapa kini saya semakin yakin bahwa bangsa ini bisa maju dan menjadi negara besar bukan karena DPR, bukan karena MA-MK-KY, bukan karena presiden, bukan karena menteri-menteri, bukan karena dirjen-dirjen, bukan karena komisi-komisi, bukan karena departemen-departemen, bukan karena gubernur-bupati, bukan karena camat-lurah.
Bangsa ini maju dan menjadi negara besar karena jutaan rakyat kecil yang tekun bekerja, optimis, berpikiran positif, produktif, berkarakter, dan bersih hati. Mereka tak butuh pemimpin. Hidup rakyat kecil.