Quantcast
Channel: yuswohady.com
Viewing all 363 articles
Browse latest View live

Rakyat Memimpin Diri Sendiri

$
0
0

Tidak seperti biasa, kolom saya kali ini saya tulis dengan sangat emosional. Sudah satu setengah ember air mata saya terkuras. Ya, karena hati saya remuk, pilu, marah, hopeless melihat begitu amburadulnya para pemimpin negeri ini. Hati saya menangis.

Anggota DPR korupsi, anak anggota DPR korupsi, ketua partai korupsi, anggota partai korupsi, ketua MK korupsi, anggota MA korupsi, hakim-jaksa korupsi, menteri korupsi, dirjen korupsi, ketua DPRD korupsi, gubernur korupsi, adik gubernur korupsi, walikota korupsi, bupati korupsi, keponakan bupati korupsi, camat korupsi, lurah korupsi, pengusaha kakap korupsi, pengusaha abal-abal korupsi, pengusaha kelas teri korupsi. Pemimpin negeri ini bangkrut moral oleh korupsi.

Saking hopeless-nya, sampai-sampai saya bergumam dan mengumpat: “Kok ada bangsa seamburadul ini!!!”

Role Model
Saya sedih bukan menyayangkan perilaku biadab para pemimpin itu. Mereka mau dipenjara seumur hidup, dihukum mati, masuk neraka, saya tak peduli. Yang saya sedihkan adalah suasana hati rakyat kecil yang melihat pemimpin-pemimpin mereka yang gemblung, keblinger, lupa daratan, gila kekuasaan, sakit jiwa, raib nurani, bobrok hati (…dan entah sebutan biadab apalagi yang pantas bagi mereka).

Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang harusnya berhati mulia dan menjadi teladan bagi rakyat kecil: petani, nelayan, guru, pedagang pasar, wirausahawan UMKM, pegawai negeri, para profesional, dosen, peneliti, pelajar, mahasiswa, kuli bangunan, pemulung. Mereka harusnya menjadi role model yang pantas dicontoh rakyat kecil. Perilaku mereka harusnya menjadi standar perilaku dan tuntunan bagi rakyat kecil dalam berbuat dan bertindak. Semua itu abai mereka lakukan.

Para pemimpin itu harusnya punya peran maha besar untuk membentuk karakter, nilai-nilai, perilaku, semangat juang, ketahanan mental, keteguhan bagi seluruh rakyat kecil agar bangsa ini menjadi bangsa besar (ingat, tahun 2030 Indonesia menjadi kekuatan ekonomi ke-7 terbesar di dunia).

Namun, ketika para pemimpin itu menampilkan diri sebagai sosok pemimpin yang gemblung, keblinger, lupa daratan, gila kekuasaan, sakit jiwa, raib nurani, bobrok hati (kalau Vicky membaca kolom ini, tolong ditambahkan koleksi istilahnya lagi), maka mau jadi apa rakyat kecil kita ini. Ketika sosok pemimpin yang kelam itu dipanggungkan demikian massif dan telanjang di talkshow-talkshow TV (tentu saja demi rating), di halaman-halaman koran, di laman-laman media online, atau di ocehan-ocehan Twitter/Facebook, mau jadi apa rakyat kecil kita ini.

Sekali lagi, saya tak peduli mau diapakan para pemimpin biadab itu. Yang saya pedulikan adalah kalau rakyat kecil kita ikutan-ikutan jadi maling, jadi serigala, jadi gemblung, jadi keblinger, jadi sakit jiwa, jadi raib nurani, jadi bobrok hati oleh aksi role modeling para pemimpin yang kelam tersebut. Yang saya pedulikan adalah kalau rakyat kecil jadi hopeless (seperti saya), nglokro hati, mlempem jiwa (saya terasuki Vicky), minder, dan patah arang di tengah tantangan AEC (Asean Economic Community), liberalisasi APEC, hingga serbuan brand-brand global, sekali lagi karena ulah role modeling pemimpin kita yang kusam di atas.

Leaderless Society
Tapi saya tak mau terus merintih dan mengumpat. “The show must go on!!!” Bangsa ini harus tetap melaju kencang menjadi kekuatan ekonomi ke-7 di tahun 2030; bangsa ini harus survive menghadapi AEC 2015; bangsa ini harus menjadi tuan rumah di tengah gempuran brand-brand asing; bangsa ini harus gemah rimpah loh jinawi di tengah APEC. Semua itu harus kita wujudkan walaupun pemimpin telah raib di negeri ini.

True, pemimpin telah raib di negeri ini, dicuri oleh “setan korupsi” yang bergentayangan di seantero negeri. Kalau pemimpin telah raib, lalu siapa yang harus memimpin negeri ini? Mau tak mau rakyat kecil harus mampu menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri.

Saya percaya bahwa sejak awal sesungguhnya rakyat kecil adalah sosok yang paling mandiri. Mereka bekerja keras untuk bisa bertahan hidup. Mereka tekun dan disiplin untuk mengejar kehidupan yang lebih baik. Mereka produktif dan tahan banting dalam mewujudkan mimpi-mimpi yang besar. Mereka memiliki daya survival yang luar biasa untuk lolos dari himpitan krisis ekonomi. Mereka bisa menjaga hati untuk tidak bohong dan berperilaku culas. Sesungguhnya mereka memiliki kearifan yang luar biasa untuk mencapai sukses yang mulia. Saya percaya mereka mampu menjadi pemimpin bagi diri mereka sendiri.

Karena itu, mari rakyat kecil jadilah pemimpin bagi diri sendiri. Tetap semangat membangun negeri ini. Tak usah muluk-muluk, mulailah dari diri masing-masing. Kerja keras dan ketekunan dari seorang rakyat kecil memang tak berarti. Namun kalau kerja keras dari 200-an juta rakyat kecil dikumpulkan, maka ia akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi bangsa ini.

Para pengrajin tempe tak usah mengeluh harga kedelai meroket. Para wirausahawan UKM tak usah mengeluh kena sunat pajak. Para nelayan tak usah mengeluh solar mahal. Dengan kerja keras, keuletan, optimisme, fokus, dan bersih hati semua masalah itu pasti bisa terlewati.

Terakhir, jangan banyak nonton talkshow-talkshow TV atau baca halaman-halaman koran yang berisi akrobat para pemimpin culas dan bobrok hati. Karena itu bisa melumerkan semangat perjuangan membesarkan negeri.

Entah kenapa kini saya semakin yakin bahwa bangsa ini bisa maju dan menjadi negara besar bukan karena DPR, bukan karena MA-MK-KY, bukan karena presiden, bukan karena menteri-menteri, bukan karena dirjen-dirjen, bukan karena komisi-komisi, bukan karena departemen-departemen, bukan karena gubernur-bupati, bukan karena camat-lurah.

Bangsa ini maju dan menjadi negara besar karena jutaan rakyat kecil yang tekun bekerja, optimis, berpikiran positif, produktif, berkarakter, dan bersih hati. Mereka tak butuh pemimpin. Hidup rakyat kecil.


Cashless & Mobile

$
0
0

Kantor saya Inventure melalui lembaga think tank-nya CMCS (Center for Middle Class Consumer Studies) barusan merampungkan riset di 6 kota utama Tanah Air (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Medan, Makassar). Riset tersebut mencoba mengungkap perilaku konsumen kelas menengah bank dan layanan keuangan (termasuk asuransi). Hasil riset tersebut akan diterbitkan dalam bentuk sebuah laporan Indonesia Middle Class Banking Consumer Report: “Getting Cashless and Mobile” dalam beberapa minggu ke depan.

Riset tersebut menarik karena menghasilkan banyak temuan yang mencengangkan. Namun saya hanya akan sharing tiga di antaranya.

The Hot: “Konsumtif + Ngutang”
Konsumen kelas menengah kita kian konsumtif. Sekitar ¾ pengeluran rumah tangga kelas menengah dialokasikan untuk konsumsi mulai dari kebutuhan sehari-hari (41%), mencicil hutang (12%), berkomunikasi seperti telepon dan berinternet (9%), dan menikmati hiburan (7%). Hanya seperempat dari pendapatan ditabung (16%) dan diinvesasikan (3%). Yang menarik, kelas menengah kita sudah cukup sadar asuransi karena sekitar 7% pengeluaran dialokasikan untuk asuransi.

Konsumen kelas menengah kita juga mulai terbiasa berhutang, bahkan kecanduan menyicil. Beli motor dicicil, beli sofa dicicil, beli gadget ponsel dicicil. Ketika mereka ditanya apakah menyicil itu positif, sekitar 89% responden mengatakan baik, sangat baik, dan sangat baik sekali. Saya sering mengatakan, sifat konsumtif dan budaya berhutang ini layaknya percik api dan bensin.

Budaya konsumtif kelas menengah ini tak mengherankan karena massifnya terjangan iklan-iklan menggiurkan di TV, koran/majalah, Twitter/Facebook, dan tentu saja diskon-diskon yang terus merayu di mal-mal. Gaya konsumtif juga membudaya karena pengaruh tetangga atau teman yang bergaya hidup konsumtif. Ingat, konsumtivisme memang bak wabah penyakit yang menular supercepat.

Alokasi Pengeluaran Rumah Tangga (%)

The Obsolette: “Kantor Cabang Kian Tak Menarik”
Fenomena lain yang menarik adalah semakin tak menariknya kantor cabang sebagai tempat untuk bertransaksi perbankan. Sebagai gantinya, konsumen kelas menengah mulai intensif menggunakan cara bertransaksi elektronik seperti menggunakan kartu kredit, kartu debit, internet banking, mobile banking, dan sebagainya. Dengan tren ini kelas menengah Indonesia siap menyongsong era branchless banking.

Dari total responden sebanyak 1532 orang, sekitar sepertiga (33%) sudah tidak tertarik lagi bertransaksi di kantor cabang bank. Alasannya macam-macam, tapi yang utama karena antrean yang panjang dan mereka bisa melakukannya menggunakan ATM, kartu kredit, atau intenet banking. Memang mereka tetap belum bisa meninggalkan kantor cabang karena masih memerlukannya untuk mencetak buku tabungan dan menyetor dana.

Ketertarikan Bertransaksi di Kantor Cabang (%)

The Techy: Cashless Consumer
Yang membanggakan adalah bahwa konsumen kelas menengah kita makin techy dalam bertransaksi perbankan dengan memanfaatkan layanan transaksi elektronik seperti ATM, kartu debit, kartu kredit, internet banking, mobile banking, dan e-money. Mereka makin cashless dan mobile. Temuan ini mengonfirmasi hipotesis bahwa konsumen kelas menengah adalah konsumen yang berpengetahuan (knowledgeable) dan melek teknologi (techy).

Seperti tampak pada gambar, untuk belanja online cukup siknifikan konsumen yang menggunakan kartu debit (24%), internet banking (23%), dan  kartu kredit (13%). Untuk keperluan makan di luar rumah, kian siknifikan konsumen kelas menengah yang menggunakan kartu debit (21%) dan kartu kredit (14%). Sementara untuk tagihan kartu debit (25%), kartu kredit (10%), dan internet banking (8%) mulai siknifikan mereka gunakan.

Alat Transaksi Pembayaran (%)

Yang membuat saya bungah, adalah adanya kenyataan  bahwa konsumen kelas menengah Indonesia sangat optimis dengan nasib dan masa depannya. Sekitar 90% dari responden merasa optimis, sangat optimis, dan sangat optimis sekali dengan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Optimisme inilah yang menjadi modal tak ternilai bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa besar.

Pesan terbesar kolom ini sederhana, bahwa konsumen kelas menengah kita berubah sangat cepat. Para bankir tak bisa tidak harus merespons sama cepatnya. “Change or die!

Ngutang

$
0
0

Budaya konsumtif dan budaya berhutang adalah dua “penyakit” yang kini kian akut menjangkiti konsumen kelas menengah kita. Keduanya bak percik-percik api dan bulir-bulir cairan bensin yang bisa menyulut kebakaran hebat saat bertemu. Klop betul. Tak hanya itu, keduanya juga seperti layaknya virus flu burung yang menjalar begitu cepat dari satu orang ke orang lain secara massif.

Semuanya diawali saat daya beli kelas menengah kita meningkat pesat. Ketika daya meningkat, maka hasrat untuk mengumbar nafsu konsumsi meroket: memborong barang diskon, membeli gadget, makan enak di mal, liburan ke Singapura, hingga memanjakan badan di spa. Celakanya konsumsi yang membara itu dibiayai dengan hutang. Bisa karena memang tak punya duit, atau punya duit tapi sudah terlanjur kecanduan berhutang. So, the show must go on. Dan gampang ditebak, senjata pamungkasnya adalah kartu kredit atau layanan kredit konsumsi. Pokoknya main hantam kromo: beli dulu, bayarnya belakangan.

Itulah kesan umum yang saya tangkap dari survei yang saya lakukan bersama tim di CMCS (Center for Middle-Class Consumer Studies) beberapa waktu lalu. Survei ini dilakukan di 6 kota utama Tanah Air (Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, Medan, Makassar) dengan jumlah total responden konsumen kelas menengah sebanyak 1532 orang. Survei ini dituangkan dalam sebuah laporan berjudul: Indonesia Middle Class Banking Consumer Report: “Getting Cashless and Mobile”

Buy Now, Pay Later
Ketika saya menanyakan kepada responden apakah membeli produk dengan cara berhutang dan mencicil itu baik atau buruk, maka jawaban yang saya dapat sungguh mencengangkan. Sekitar 77% dari total responden mengatakan baik, 10% baik sekali, dan 2% sangat baik sekali. Jadi total jendral 89% dari mereka mengatakan bahwa berhutang/menyicil itu baik hingga sangat baik sekali. Hanya minoritas (sekitar 10%) dari mereka yang mengatakan bahwa berhutang/menyicil itu buruk. Wow!!!

Kegandrungan konsumen kelas menengah kita dalam berhutang juga tercermin dari kepemilikan atas produk-produk perbankan  saat ini. Seperti tampak pada bagan, kepemilikan atas layanan kredit kendaraan bermotor (KKB) dan kartu kredit menempati posisi kedua dan ketiga setelah produk tabungan. Angkanya pun cukup besar, yaitu masing-masing 56% dan 41% dari seluruh respoden. Walapun berada di posisi kelima, kepemilikan atas kredit kepemilikan rumah (KPR) juga cukup besar sekitar 28%.

Yang menarik adalah kalau secara khusus kita lihat, produk apa saja yang paling banyak mereka beli dengan menggunakan kartu kredit. Di urutan pertama adalah produk-produk rumah tangga seperti kulkas atau AC (lebih dari 32%); perangkat elektronik seperti TV, HiFi, atau home theatre (23%); furniture (11%), baru kemudian disusul smartphone dan notebook . Melihat komposisi ini, tersirat bahwa ibu sebagai “menteri keuangan” di dalam keluarga menempati posisi dominan sebagai pemegang keputusan pembelian.

Bagan: Kepemilikan Produk-Produk Perbankan Kelas Menengah

Kelonggaran Finansial
Kalau konsumen kelas menengah kita sudah kerasukan penyakit ngutang semacam ini, pertanyaannya kemudian adalah: positifkah ini? Tergantung. Bisa positif, bisa negatif. Positif kalau kita bisa mengelolanya dengan baik. Negatif jika kita salah urus dalam mengatur keuangan di tengah risiko gagal bayar alias default.

Konsumen yang sudah kecanduan ngutang umumnya selalu merasakan adanya “kelonggaran finansial” berkat adanya fasilitas kredit konsumsi yang selama ini mereka nikmati. Mereka akan selalu memiliki perasaan (baca: obsesi) bahwa duit akan selalu tersedia untuk memenuhi dan melepaskan nafsu konsumsi yang selalu tak kuasa mereka tahan. Perasaan kelonggaran inilah yang menjadi biang tumbuh suburnya perilaku konsumtifisme yang terus berpusar kian dalam.

Ketika konsumtifisme ini  menjadi-jadi hingga ke suatu titik dimana kemampuan keuangan mereka sudah tidak mampu lagi menopangnya, maka bahaya default menganga di depan mata. Namun celakanya, perasaan kelonggaran finansial di atas seringkali membutakan mata mereka akan biaya default tersebut. Akibatnya, default pun tak terhindarkan lagi.

Pertumbuhan pesat kelompok konsumen kelas menengah di Brasil misalnya, serta-merta diikuti dengan maraknya gaya hidup konsumtifisme yang difasilitasi ole kredit konsumsi dari bank. Hal inilah yang kemudian memicu maraknya konsumen kelas menengah di negara tersebut yang terjebak default.

Itu skenario buruknya. Kalau si konsumen mampu mengelola hutangnya dengan baik dengan terus menyelaraskan laju konsumsi sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimiliki, maka hal tersebut tentu akan baik-baik saja. Perlu diingat Indonesia adalah consumption-driven economy di mana konsumsi masyarakat memegang peran sangat siknifikan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi kita.

Saya sering mengatakan bahwa salah satu ciri konsumen kelas menengah kita adalah knowledgeable, berpengetahuan, berwawasan, dan melek informasi. Nah, kabar gembira ditunjukkan oleh hasil riset saya yang lain. Ketika ditanya, apakah mereka memiliki perencanaan keuangan (financial planning) dalam mengelola kuangan? Jawabnya tak kalah mencengangkan, 86% responden mengatakan “ya”.

Indonesia Semangaaat!!!

$
0
0

Ada yang membuat saya bungah mencermati hasil survei yang dilakukan oleh Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS), lembaga think-tank yang saya bentuk. Survei yang dituangkan dalam laporan bertajuk Indonesia Middle-Class Banking Consumer Report: Getting Cashless and Mobile ini mencoba mengungkap aspirasi dan perilaku konsumen kelas menengah (pengeluaran Rp.4-17 juta perbulan, jumlah responden 1532) di industri perbankan, consumer finance, dan asuransi di enam kota utama Indonesia.

Yang membuat saya berbunga-bunga adalah kenyataan bahwa konsumen kelas menengah kita kini sedang dalam posisi hot-hotnya untuk mencapai kesuksesan dan naik kelas secara sosial-ekonomi. Dengan sangat optimis mereka meyakini bahwa dengan kerja keras, kehidupan mereka akan makin membaik di masa-masa mendatang. Itu sebabnya Sevel atau McCafe dipenuhi para profesional yang sibuk bekerja dengan laptop atau meeting dengan kolega. Mereka bekerja hingga dini hari untuk menggapai impian mewujudkan kehidupan ekonomi yang lebih baik.

Semangat dan optimisme yang luar biasa inilah yang menjadikan saya yakin negeri ini akan makin mengeliat menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan di dunia. Semangat dan optimisme ini merupakan aset berharga bagi bangsa ini untuk bangkit menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia seperti diramalkan oleh McKinsey Global Institute. Saya hanya bisa berdoa semoga semangat dan optimisme ini bisa dipertahankan hingga mimpi kita semua tersebut bisa terwujud.

Optimis
Ketika ditanya apakah mereka bahagia dengan kondisi kehidupan yang mereka jalani saat ini, jawaban mereka membesarkan hati. Responden yang menyatakan cukup bahagia sebesar 11%, bahagia 63,6%, sangat bahagia 18%, dan sangat bahagia sekali sekitar 3%. Kalau ditotal jendral, maka angkanya cukup fantastis, 97%. Itu artinya sebagian sangat besar dari kelas menengah kita bahagia dan puas dengan kondisi kehidupan yang mereka nikmati saat ini.

Kalau ditanya lebih lanjut, apakah kehidupan mereka lebih baik dari kehidupan 10 tahun yang lalu, jawaban mereka juga menentramkan. Sekitar 63% dari responden menyatakan kehidupan mereka menjadi lebih baik, 27% lebih baik sekali, dan 4% sangat lebih baik sekali. Kalau ditotal angkanya sangat tinggi mencapai 94%. It’s ok, saya kira angka ini wajar.

Lalu kalau lebih jauh ditanyakan ke mereka, apakah Indonesia 5 tahun lagi akan menjadi lebih baik, maka jawaban mereka sangat optimis. Sekitar 64% dari responden menyatakan Indonesia akan lebih baik, 24% lebih baik sekali, dan 3% sangat lebih baik sekali. Ditotal angkanya mencapai sekitar 90%.

Figur yang sama akan kita dapati ketika mereka ditanya, apakah dalam jangka panjang ekonomi Indonesia akan menjadi lebih baik. Sekitar 75% responden menyatakan optimis, 13% sangat optimis, dan 2% sangat optimis sekali. Total-jendral, kelas menengah yang optimis pada ekonomi Indonesia dalam jangka panjang mencapai sekitar 90%. Ruarrr biasa.

Sukses, Kaya, Kebebasan Finansial
Untuk melengkapi studi kuantitatif tersebut CMCS mencoba melakukan studi kualitatif (focus group discussion) untuk menelusur lebih jauh optimisme kelas menengah dalam mewujudkan kehidupan yag lebih baik. Dari studi tersebut keluar tiga kata kunci yang menjadi impian mereka, yaitu: “sukses”, “kaya”, dan “kebebasan finansial”.

Dari studi tersebut didapat gambaran bahwa, umumnya kelas menengah merasa belum berada pada tingkat “sukses”, “kaya”, dan “kebebasan finansial”. Maksudnya, mereka masih dalam tahapan proses menuju ketiga hal tersebut. Nah, ambisi untuk mewujudkan tiga hal itulah yang menjadi “energi luar biasa” sekaligus menjadi penyemangat bagi mereka dalam menjalani kehidupan yang begitu challenging. Bagi mereka, perburuan untuk mencapai kesuksesan, kekayaan, dan kebebasan finansial adalah sebuah journey yang sangat challenging.

Salah satu impian yang dimiliki oleh banyak kelas menengah kita adalah obsesi untuk mencapai kebebasan finansial. Mereka mengartikan kebebasan finansial sebagai kondisi dimana kita bukan lagi bekerja untuk mendapatkan uang, tapi uanglah yang bekerja untuk kita. Mereka emoh menjadi robot yang harus bangun pagi untuk berangkat ke kantor, menjadi bawahan, menyelesaikan pekerjaan sampai larut malam untuk mendapatkan gaji.

Maunya mereka ongkang-ongkang kaki sementara saldo di rekening terus bertambah dari keuntungan bisnis atau investasi yang mereka jalankan. Dengan kata lain, mereka bermimpi memiliki passive income yang bisa bertambah sendiri. Dengan begitu, kapanpun ingin berbelanja barang-barang yang diinginkan, mereka tidak khawatir kehabisan uang karena persediaan uang terus menggelembung. Amboi nikmatnya!

Obsesi untuk mencapai kebebasan finansial inilah yang men-trigger mereka untuk bekerja siang malam membanting-tulang untuk “mengumpulkan modal” yang siap mereka investasikan ke berbagai instrumen (emas, properti, deposito, saham, reksadana, dll.) untuk mewujudkan “dana abadi” yang bisa membiayai konsumsi mereka.

Hot Climber & Performer!
Geliat kelas menengah untuk mewujudkan hidup yang lebih baik juga tercermin dari besaran segmen kelas menengah Indonesia. CMCS membagi kelas menengah di Indonesia ke dalam 8 segmen yaitu: Aspirator, Performer, Expert, Climber, Trend-Setter, Follower, Settler, dan Flo-wer. CMCS juga menghitung berapa ukuran dari masing-masing segmen tersebut. Ada satu temuan menarik dari besaran masing-masing segmen tersebut.

Seperti tampak pada bagan, segmen Climber dan Performer mendominasi jumlah kelas menengah kita. Climber mencapai 21% dari total kelas menengah kita, sementara Performer mencapai 18%. Siapa itu Climber? Tak lain adalah kelompok kelas menengah yang sedang berjuang keras membanting-tulang untuk menaikkan status ekonomi. Mereka bekerja siang-malam untuk mendongkrak karir dan menaikkan taraf kehidupan menjadi lebih baik.

Lalu siapa itu Performer? Mereka adalah kelompok kelas menengah dari kalangan professional dan entrepreneur yang memiliki ambisi luar biasa untuk membangun kompetensi diri dalam rangka mewujudkan prestasi tertinggi. Mereka membekali diri dengan  meng-update informasi, mengadopsi teknologi, dan terus belajar meng-improve diri untuk mencapai kinerja terbaik dalam karir dan bisnis.


Bagan: persentase konsumen kelas menengah Indonesia (CMCS, 2012)

Apa kesimpulan yang kita peroleh dari gambaran di atas? Kesan saya, kelas menengah Indonesia saat ini sedang semangat-semangatnya membangun ekonomi dan kehidupan yang lebih baik. Seperti saya utarakan di depan, ini merupakan aset berharga bagi bangsa ini untuk menggeliat menjadi raksasa ekonomi baru dunia. Semoga semangat dan optimisme ini bisa dipertahankan sehingga bisa mengantarkan Indonesia menjadi negara hebat di dunia. Indonesia optimis!!! Indonesia semangaaat!!!

Cashless Society dan Konsumtivisme

$
0
0

Minggu ini saya masih akan membahas hasil survei Center for Middle-Class Consumer Studies (CMCS, lembaga think-tank yang saya bentuk) mengenai perilaku nasabah bank kelas menengah di Indonesia. Biangnya, karena ada satu temuan survei tersebut yang membuat saya galau. Salah satu temuan menarik dari survei bertajuk Indonesia Middle Class Banking Consumer Report 2014: “Getting Cashless and Mobile” tersebut adalah kenyataan bahwa nasabah kelas menengah kita kian siap meyongsong era cashless society.

Survei tersebut menunjukkan, sudah cukup banyak nasabah kelas menengah kita yang menggunakan transaksi non-tunai (cashless) dengan memanfaatkan layanan transaksi elektronik seperti ATM, kartu debit, kartu kredit, internet banking, mobile banking, dan e-money. Setelah lebih dari 10 tahun terakhir struggling “belajar” menggunakan berbagai layanan transaksi elektronik tersebut, kini mereka mulai merasa convenient dan biasa. Karena itu saya memperkirakan cashless society di kalangan kelas menengah kita kian menemukan critical mass-nya.

Seperti tampak pada gambar, untuk belanja online, kian siknifikan konsumen kelas menengah kita yang menggunakan kartu debit (24%), internet banking (23%), dan  kartu kredit (13%). Untuk keperluan makan di luar rumah, cukup besar mereka yang menggunakan kartu debit (21%) dan kartu kredit (14%). Sementara untuk berbagai tagihan (listrik, air, telepon, TV kabel, dll.) mereka juga mulai convenient menggunakan kartu debit (25%), kartu kredit (10%), dan internet banking (8%).

Konsumtivisme
Yang membuat saya galau adalah adanya kenyataan bahwa semakin cashless mereka, maka semakin royal pula mereka. Kian banyak konsumen kelas menengah yang membeli secara non-tunai, maka semakin besar pula kecenderungan mereka membelanjakan uangnya lebih banyak lagi. Atau gampangnya, semakin banyak konsumen menggunakan kartu kredit, kartu debit, internet banking, atau mobile banking, maka makin konsumtif mereka. Karena itu tak bisa dipungkiri, layanan non-tunai telah menjadi salah satu biang kian konsumtifnya konsumen kelas menengah kita. Mereka menjadi kian kurang berhemat dan kurang menabung. Wow!!!

Sebuah survei menarik yang dilakukan di Amerika menemukan, orang yang memiliki lebih banyak kartu kredit di dompetnya akan cenderung membelanjakan uangnya lebih besar untuk setiap mal yang dikunjunginya. Kehadiran layanan transaksi non-tunai menyebabkan willingness to pay terkatrol menjulang tinggi. “Willingness to pay konsumen bisa meroket 50% hingga 200% oleh adanya layanan transaksi non-tunai,” demikian kesimpulan dari survei tersebut.

Survei lain mengatakan, orang yang membayar secara non-tunai di restoran cenderung memberikan tips kepada pelayan jauh lebih besar dibanding konsumen yang membayarnya secara tunai. Di sini kian jelas, bahwa ketika pembayaran dilakukan secara non-tunai kita cenderung lebih royal dalam mengeluarkan uang.

Menariknya, ketika ditanya beberapa hari kemudian, orang yang membayar secara non-tunai cenderung tidak ingat persis jumlah uang yang mereka bayarkan saat membeli. Itu artinya, berapa besar duit yang kita bayarkan saat bertransaksi secara non-tunai tak begitu masuk dalam radar kesadaran kita. Itulah sebabnya, sering kali orang mengalami “self-control problem” alias tak kuasa mengendalikan diri untuk berbelanja saat kartu kredit atau debit tergenggam di tangan.

Pain of paying
Pertanyaannya, kenapa kita menjadi begitu gampang konsumtif saat terbiasa dan dimanjakan oleh layanan pembayaran non-tunai? Pertama, karena tersedianya layanan ini akan memicu terciptanya apa yang disebut “mental decoupling”, yaitu proses “keterpisahan” antara membeli barang dan membayar. Maksudnya, membelinya sekarang, membayarnya bulan depan (“buy now, pay later”). Keterpisahan inilah yang menjadikan kita cenderung oportunistik: “pokoknya hantam kromo beli dulu sekarang, bayarnya dipikirkan belakangan.”

Kedua, orang yang membeli secara non-tunai cenderung memiliki pain of paying yang rendah. Apa itu pain of paying? Ketika kita membayar dengan menggunakan uang kertas atau koin (tangible) maka secara psikologis kita akan merasakan “sakit” saat uang kertas atau koin itu berpindah dari tangan kita ke tangan penjual.

Kenapa sakit? Ya, karena untuk mendapatkan sejumlah uang tersebut diperlukan pengorbanan yang seringkali “menyakitkan” (berangkat ke kantor subuh pulang larut malam, kerja keras banting tulang, tetap tegar dimarahi bos tiap hari, dsb). Jadi kalau kita menggunakan uang yang tangible maka perasaan “sakit” dan “kehilangan” akan menerpa kita.

Nah, ketika kita melakukan pembayaran secara non-tunai (intangible alias tidak kongkrit berbentuk kertas atau logam), maka perasaan “sakit” dan “kehilangan” itu seperti sirna entah ke mana (“tanyakan pada rumput yang bergoyang,” kata Ebiet G. Ade). Jadi intangibility dari transaksi non-tunai telah membuat uang kita begitu sepele melayang. Itu pula sebabnya kenapa kita gampang lupa berapa besar uang yang kita bayarkan saat kita membeli secara non-tunai.

Mari kita songsong era cashless society. Mari kita jelang era konsumtivisme. Uppsss…

Manekin Keluarga

$
0
0

Manekin umumnya ada di mal atau department store. Tapi kini mulai banyak saya temui di rumah-rumah di seluruh penjuru Tanah Air. Coba saja lihat tipikal suasana keluarga kelas menengah Jakarta di Sabtu pagi yang cerah. Di ruang keluarga, di situ tercermin kedekatan sebuah keluarga muda yang begitu indah. Di ruangan itu ada si bapak, si ibu, dan si anak yang usianya belum genap tujuh tahun. Mereka sama-sama di depan TV ruang keluarga, duduk di satu sofa yang sama, wajahnya berseri-seri penuh kebahagiaan. Melihat kedekatan mereka terlintas potret sebuah keluarga yang ideal.

Tapi tunggu dulu. Di balik kedekatan tersebut sesungguhnya ada satu hal yang nggak beres. Coba kita lihat apa yang mereka masing-masing lakukan. Si bapak duduk di sofa sibuk dengan laptopnya mengutak-atik presentasi Powerpoint yang hari Seninnya harus dipresentasikan ke bos di kantor. Di samping mengerjakan presentasinya, tentu saja ia tetap multifungsi, dengan begitu lincah membagi perhatianya pada akun Twitter, Youtube, dan layar televisi yang ada persis di depannya

Ibu ngapain? Duduk di sofa sampingan dengan sang ayah, si ibu sedang semedi dengan Galaxi Tab di tangan. Setali tiga uang dengan si ayah, si ibu pun begitu piawai memainkan layar sentuh tablet-nya dari Twitter ke Facebook ke Instagram ke Gmail ke Twitter lagi ke blog ke Play Store berburu apps ke Facebook balik lagi ke Instagram dan seterusnya. Jangan lupa, di tangan kiri si ibu muda nan trendi dan techy ini juga terpegang Blackberry yang terus meraung-raung. Obrolan teman-teman BB group pagi itu demikian seru sehingga sayang dilewatkan. Tak heran jika di tengah-tengah kekhusukan bersemedi, sesekali si ibu senyum-senyum sendiri, kadang geli.

Nah sekarang si anak lagi ngapain? Tentu saja si anak nonton TV. Sesekali ia pencet-pencet tombol remote untuk memindah-mindah channel dari Cartoon Network ke Disney Channel ke Nickelodeon. Rupanya menonton TV adalah aktivitas sambilan si anak. Aktivitas utamanya adalah fokus pada layar smartphone Android yang tak pernah lepas dari tanganya. Eh jangan salah, anak-anak sekarang di usia dini pegangan-nya sudah gadget nan canggih. Beragam aplikasi games satu persatu ia jajal. Saking serunya itu games, sesekali si anak berteriak keras, mengumpat “sialan!!!” saat kalah bermain, atau menggoyang-goyang tubuhnya yang tambun.

Disconnection
So, di balik potret kedekatan keluarga yang kasat mata terlihat menyejukkan hati itu sesungguhnya terjadi sebuah tragedi keluarga yang dahsyat. Sebuat saja itu sebagai “tragedi keluarga terbesar abad ini”. Tragedi apa gerangan? Bahwa hubungan kita dengan istri kita, suami kita, dan anak kita sedang dalam masalah besar. Coba saja lihat, walaupun secara fisik si bapak, si ibu, dan si anak berada di sofa yang sama, namun selama tiga jam kebersamaan mereka di pagi yang cerah itu, praktis mereka tak saling bicara. Mereka telah menjadi “manekin” yang dingin tak banyak bicara.

Mereka menjadi manekin mini-kata karena perhatian mereka terhisap oleh gadget mereka. Dunia di dalam gadget demikian indah dan memabukkan sehingga mengalahkan perhatian pada suami, istri, dan anak. Sesekali memang mereka saling bicara, namun mata dan hati mereka tak pernah bisa lepas dari layar sentuh gadget.

Perhatian kepada suami, istri, dan anak kemudian menjadi “prioritas kedua, ketiga, atau keempat”, terkalahkan oleh prioritas pertama menyeburkan diri dalam dunia indah di dalam gadget mereka. Tak mengherankan jika kini muncul tren suami bicara ke istri, bapak bicara ke anak, atau anak bicara ke ibu dilakukan secara “sambil lalu”. Mereka bicara tanpa “mata ketemu mata”. Mereka ngobrol “tanpa hati ketemu hati”. Seringkali mereka bicara ungkur-ungkuran alias saling membelakangi tanpa kehadiran hati dan perhatian. Ujung-ujungnya, komunikasi mereka menjadi emotionally-disconnected.

Itulah dunia. Selalu pekat diwarnai oleh paradoks. Ketika kita begitu massif terkoneksi satu sama lain oleh Twitter, Facebook, atau Instagram, pada saat yang bersamaan kita juga mengalami diskoneksi (disconnection). Yang membuat saya prihatin adalah, korban paling mengenaskan dari dunia yang kian terkoneksi (hyperconnected world) saat ini justru adalah keluarga.

Ketika bapak, ibu, dan anak masing-masing terkoneksi dengan lingkungannya sendiri, maka pada saat yang bersamaan antar mereka justru saling terdiskoneksi. Serta-merta ada jurang menganga dalam komunikasi antar mereka. “Connected world (also) means disconnected family”. Kalau sudah begitu, komunikasi authentic yang melibatkan hati, emosi, dan cinta di antara anggota keluarga menjadi kian mahal.

Awalnya hal ini tak biasa, tapi lama-lama menjadi biasa. Awalnya  hal ini pinggiran, tapi kemudian menjadi mainstream. Terus terang satu hal yang sangat saya takutkan adalah: kalau sampai komunikasi tanpa kehadiran hati, emosi, dan cinta ini menjadi mainstream dalam keluarga kita.

Orang Tua Kedua
Penelitian di Amerika menunjukkan gambaran yang suram mengenai diskoneksi di dalam keluarga ini. Jumlah keluarga yang mengaku kian kurang waktunya untuk keluarga oleh adanya kesibukan berinternet-ria naik lebih tiga kali lipat dari 11% pada tahun 2006 menjadi 28% pada tahun 2011. Waktu yang mereka alokasikan untuk keluarga juga berkurang drastis dari 26 jam sebulan menjadi hanya 18 jam oleh karena kesibukan berinternet. Celakanya lagi, anggota keluarga yang merasa “terabaikan” oleh bapak atau ibu yang sibuk berasyik-masyuk dengan gadget-nya naik tajam 40%.

Walaupun di Indonesia belum ada risetnya, saya berkeyakinan bahwa gambaran yang kurang lebih sama terjadi di negeri ini terutama di kota-kota besar. Lalu apa jadinya kalau bapak-ibu lebih sibuk dengan gadget-nya ketimbang anak-anaknya seperti tergambar di awal tulisan ini? Catherine Steiner-Adair seorang psikolog mengatakan bahwa gadget kita tak hanya piawai “menghisap” kita, ia juga menjalankan peran co-parenting alias “orang tua kedua” bagi anak-anak kita.

Melalui dunia indah yang ada di dalamnya, smartphone atau tablet memberi anak-anak kita pengetahuan yang demikian kaya; memberi hiburan di kala mereka sedih; membesarkan hati saat mereka galau dengan menghubungkannya ke teman-teman Facebook mereka; bahkan melalui “pergaulan maya” yang ada di dalamnya smartphone dan tablet bisa membentuk nilai-nilai dan perilaku anak kita.

Kalau demikian adanya, lalu apa bedanya gadget dengan orang tua? Smartphone dan tablet bisa menjadi orang tua kedua bagi anak-anak kita dan begitu sigap menggantikan saat kita raib dan tak cukup memberikan perhatian kepada mereka.

Mari bapak-bapak dan ibu-ibu, bersama-sama saya bersumpah: “Kami tak mau menjadi manekin”.

*Manekin dari bahasa Inggris: “mannequin,” patung peraga biasanya untuk busana.

Kunjungan ke Froggy Floating Castle

$
0
0

“Untuk menjadi pemimpin besar, anak-anak Indonesia harus bermimpi besar dan menggantungkan cita-cita setinggi langit.” Itulah keyakinan dari Fernando Iskandar yang kemudian membawanya membangun sebuah bangunan hebat, Froggy Floating Castle, yang diharapkan menjadi salah satu landmark Indonesia yang mendunia.

Bangunan di kawasan BSD City setinggi 58 meter yang seolah melayang setinggi 10 meter di malam hari ini bagi Fernando merupakan representasi dari impian anak-anak Indonesia untuk menjadi orang besar. Di gedung yang oleh MURI dicatat sebagai gedung floating castle pertama di dunia ini pula Fernando menciptakan Froggy Edutography, sebuah program pengembangan multiple intelligence anak yang inovatif dan breakthrough.

Melalui program Edutography Goal Setting ia mengajak anak berani memiliki cita-cita dan mewujudkan cita-cita tersebut menjadi keberhasilan yang mencengangkan dunia. Di akhir program ini si anak diminta mendeklarasikan cita-citanya di hadapan orang tua dan teman-temannya sesuai dengan kartu impian yang telah dibuatnya. Kartu impian itu akan dilihatnya kembali belasan tahun kemudian saat ia telah besar.

Teman-teman Komunitas Memberi, kita akan berkunjung ke Froggy Floating Castle dan berdiskusi dengan pak Fernando Iskandar untuk mendapatkan pencerahan mengenai visi dan ide-ide besarnya. Kunjungan akan dilakukan:

Hari: Kamis, 14 November 2013, pk.15.00
Tempat: Froggy Floating Castle, Cluster Commercial Park Barat No.1, BSD City, Tangerang Selatan. Tel. (021) 5315 8300.
Pembicara: Fernando Iskandar, Founder, Froggy Edutography

Ayooo temen-temen ikutan…

Kita akan belajar dan mendapatkan inspirasi luar biasa dari sosok hebat Fernando Iskandar. Bagi temen-temen UKM, dari kunjungan ini kita akan mendapatkan pelajaran bagaimana berpikir kreatif dan menciptakan ide-ide bisnis yang out of the box. Acara ini gratis, tapi harus daftar dulu ya ke: www.memberi.org

Spiritual Company

$
0
0

Akhir Oktober lalu buku terbaru yang saya editori keluar juga. Buku berjudul Great Spirit, Grand Strategy (Gramedia Pustaka Utama, 2013) ini ditulis oleh Arief Yahya, Direktur Utama Telkom. Buku ini berisi platform strategi yang menjadi landasan pak AY (begitu ia biasa dipanggil di internal Telkom) dalam memanajemeni Telkom.

Pak AY bukanlah orang baru bagi saya. Saya sudah kenal sekitar 10 tahun lalu saat ia menjadi Kepala Divisi Regional (Kadivre) Telkom di Balikpapan. Kita pertama kali ketemu saat saya mewawancarainya dalam rangka riset buku saya. Karena kenal cukup lama dan intens berinteraksi, saya tahu betul butir-butir pemikiran manajemennya. Salah satu butir pemikiran yang saya sukai adalah mengenai peran spiritualism dalam membangun organisasi.

Karakter
Pak AY percaya  bahwa faktor paling esensial penopang kesuksesan organisasi adalah karakter mulia dari orang-orang di dalam organisasi tersebut. “Character building adalah pekerjaan pertama dan paling utama bagi setiap pemimpin, apakah itu pemimpin perusahaan ataupun negara,” ujarnya.

Pertanyaannya kemudian, karakter macam apa yang harus kita bangun? Nah, pak AY melihat bahwa Indonesia memiliki keunikan yang tak banyak di miliki oleh negara lain, yaitu bahwa bangsa ini adalah bangsa religius. Sekitar 240 juta rakyat Indonesia adalah orang-orang yang memiliki keyakinan kokoh dan patuh menjalankan ibadah kepada Tuhan menurut agama mereka masing-masing, apakah Islam, Kristen, Hindu atau Budha.

Karena itu ia berprinsip bahwa karakter yang dibangun di dalam perusahaan haruslah dilandasi dan bersumber pada nilai-nilai spiritual yang agung dan mulia. Untuk dapat membangun budaya perusahaan yang kokoh maka setiap organisasi haruslah menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi sentral dan menjadi roh keberlangsungan organisasi tersebut.

Ia berkeyakinan, apabila nilai-nilai spiritual melandasi tugas dan pekerjaan setiap karyawan, maka ini akan menjadi sebuah power yang luar biasa. Ketika setiap karyawan memiliki keyakinan bahwa setiap pekerjaan yang mereka lakukan bernilai ibadah kepada Tuhan, maka pasti mereka akan mempersembahkan yang terbaik kepada perusahaan. “Ketika karyawan menyikapi pekerjaan-pekerjaannya di kantor sebagai perwujudan ibadah kepada Tuhan, maka tentu saja hasil akhir pekerjaan mereka akan luar biasa,” tambahnya.

Ketika sebuah perusahaan bisa menyatukan/menyelaraskan dua misi karyawannya: pertama, misi profesional memajukan perusahaan; dan kedua misi personal/spiritual beribadah kepada-Nya; maka bisa dipastikan perusahaan tersebut akan mampu tumbuh luar biasa, tak hanya menjadi good company tapi juga great company.

Spiritualitas
Ketika spiritualitas menjadi “roh” terwujudnya kinerja luar biasa, maka setiap organisasi haruslah membangunnya. Pertanyaannya, bagaimana membangun spiritualitas sebuah organisasi?

Menurut pak AY membangun spiritualitas organisasi tak lain adalah membangun karakter karyawan yang berbasis spiritual. Yaitu karakter yang mengacu dan berlandaskan nilai-nilai luhur universal yang terkandung dalam ajaran agama-agama, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Karena nilai-nilai kebaikan yang luhur ini bersifat universal maka ia ada di semua agama dan tak bertentangan satu sama lain.

Jika sebuah organisasi terbangun oleh karyawan-karyawan yang berkarakter mulia dan karakter itu bersumber pada nilai-nilai universal agama, maka karakter mulia itu akan bermuara pada terwujudnya kinerja organisasi yang luar  biasa. Jadi dengan menumbuh-suburkan karyawan-karyawan berkarakter spiritual, maka akan terwujud kinerja bisnis yang luar biasa. Di Telkom, hal ini dikenal dengan ungkapan: “From Character to Commerce”.

Bagi pak AY setiap organisasi haruslah mengemban misi spiritual untuk membawa kemanfaatan kepada segenap umat manusia (“rahmatan lil alamin“) dalam rangka ibadah dan pengabdian kepada Tuhan. Jika segenap karyawannya meyakini bahwa misi spiritual organisasi tersebut selaras (align) dengan misi spiritual si karyawan secara individual, maka dengan sendirinya si karyawan akan menyikapi pekerjaan yang mereka lakukan sebagai bentuk ibadah dan pengabdian kepada Tuhan.

1000% saya sependapat dengan pak AY, bahwa spirit kecintaaan kepada Tuhan yang tertanam di hati-sanubari karyawan memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Spirit kecintaan kepada Tuhan akan melahirkan militansi karyawan untuk mewujudkan mahakarya bagi konsumen, negara, dan umat manusia. Semua itu hanya terwujud jika setiap karyawan memiliki karakter spiritual.

Pikiran saya menerawang, alangkah indahnya jika seluruh perusahaan yang ada di negeri ini kecil, menengah, maupun besar, bisa menjadi organisasi seperti yang dipikirkan pak AY. Kalau itu terjadi, 1000% saya percaya Indonesia akan gampang melibas Amerika atau China untuk menjadi kekuatan ekonomi paling hebat di dunia.


Social Proof

$
0
0

Saat saya liburan bareng istri dan anak-anak ke luar kota, ada kiat jitu yang kami pakai untuk memilih tempat makan yang tidak kami ketahui apakah sajiannya enak atau nggak. Biasanya kami muter-muter, kami telusuri satu-persatu warung atau restauran yang ada di kota itu, lalu kami cari mana dari warung atau restoran itu yang dikerumuni pengunjung. Kiat jitu itu adalah, memilih warung atau restoran mana yang paling ramai. Makin ramai, makin kami pilih.

Dari pengalaman kami, memang kiat itu terbukti jitu. Dari kasus-kasus yang kami alami, memang terbukti sebagian besar memang sajiannya enak. Tapi, pertanyaannya, apakah warung yang dikunjungi banyak orang itu pasti enak? Tentu tidak!

Fast Thinking
Itulah fenomena yang di kalangan pakar psikososial disebut sebagai “social proof”. Intinya, kita akan merasa bersikap dan berperilaku benar jika kita bertindak sama dengan kebanyakan orang lain. Itu artinya, semakin banyak tindakan atau ide diikuti orang, maka semakin baik dan benar tindakan atau ide tersebut. Apakah pernyataan terakhir ini benar? Absolutely not!

Itulah bias dan kerancuan yang melekat dalam pikiran kita. Itulah kekeliruan yang secara konsisten kita lakukan sehingga penilaian (judgement), pilihan (choice), atau keputusan (decision) yang kita ambil menjadi melenceng dari koridor rasionalitas dan obyektivitas.

Saya punya contoh lain. Suatu saat Anda jalan ke kantor, asik sambil bersiul-siul. Lalu Anda mendapati ada sepuluh orang berdiri di pinggir jalan. Kesepuluh orang itu semuanya menengadahkan muka dan melihat ke langit. Melihat hal tersebut, apa yang akan Anda lakukan. Spontan Anda pasti ikutan-ikutan melihat ke langit, tanpa mikir terlebih dahulu kenapa ke sepuluh orang itu melihat ke langit.

Contoh lain lagi. Pada saat terjadi krisis tahun 1998 kita menyaksikan orang-orang panik menarik dananya dari ATM. Bagaimana awalnya rush itu terjadi? Awalnya ada segelintir orang menarik dananya dari mesin ATM. Lalu aksi segelintir orang itu diikuti beberapa orang lain. Kemudian makin banyak lagi orang yang ikutan menarik dana. Dan sampai akhirnya seluruh penduduk kota ikutan-ikutan panik menarik dananya.

Inilah yang disebut Daniel Kahneman, pemenang nobel ekonomi dalam buku legendarisnya Thinking, Fast and Slow, sebagai “pikiran cepat” (fast thinking) sedang menguasai “pikiran lambat” (slow thinking). Ketika kita melihat ke langit mengikuti sepuluh orang di pinggir jalan; atau kita memilih restoran yang paling ramai dikunjungi; atau saat kita panik menarik dana dari ATM; maka sesungguhnya pada saat itu slow thinking kita yang rasional seperti “ditawan” oleh fast thinking kita yang emosional, gegabah, dan hantam kromo.

Taktik Pemasaran
Karena saya menyukai dan menekuni dunia pemasaran, maka saya mencoba mengaitkan kerancuan pikiran manusia itu ke dalam konteks pemasaran, yaitu aspek perilaku konsumen. Dengan kejelian memanfaatkan kelemahan melekat yang ada pada pikiran manusia tersebut, sesungguhnya marketer bisa memanfaatkannya untuk menjalankan taktik pemasaran jitu.

Sejak lama para produser acara TV serial komedi rupanya sudah piawai menggunakan trik ini. Untuk apa? Untuk memicu penonton tertawa. Caranya gimana? Coba lihat serial TV Friends atau Mr. Bean di YouTube. Dalam adegan-adegan tertentu yang menurut sang sutradara lucu, ia menyelipkan suara orang-orang tertawa. Tujuannya tak lain agar Anda para penonton juga ikutan tertawa.

Kalau Anda adalah pembicara seminar yang sedang mencari popularitas, ikutilah kiat jitu ini. Anda tempatkan dua atau tiga orang Anda di kerumunan peserta. Lalu atur agar dua-tiga orang itu berurutan bertepuk tangan setiap kali Anda memaparkan hal-hal yang menarik. Maka dua tiga tepukan itu akan memicu seluruh peserta untuk juga ikutan bertepuk tangan, tanpa berpikir kenapa mereka bertepuk tangan.

Dalam dunia penerbitan stempel “best seller” adalah nyawa pemasaran sebuah buku. Ya, karena saat kita berkunjung ke toko buku, seringkali pertimbangan utama kita adalah membeli buku-buku dengan stempel best seller. Artinya, ketika kebanyakan orang lain telah membaca buku itu, maka itu lebih dari cukup untuk menjadi pembenaran bagi kita untuk membelinya. Apakah buku-buku best seller itu memang bagus? Dalam kasus buku-buku terbitan Indonesia, seringkali saya temui justru buku-buku best seller itu lemah dalam hal kualitas isi.

Mizone cerdik menggunakan social proof untuk membesut kampanye viral dengan menggunakan medium flash mob di Bunderan HI beberapa waktu lalu. Caranya, sengaja Mizone menempatkan beberapa orang untuk menari flash mob di tengah kerumunan orang saat car-free day. Mizone juga menempatkan beberapa orang berikutnya untuk menirukan flash mob. Maka tanpa diminta orang-orang yang tumplek-blek di Bunderan HI pun serta-merta ikut-ikutan menari flash mob.

Sukses 7-Eleven menjadi tempat nongkrong anak-anak  muda juga tak lepas dari kejeliannya memanfaatkan bias dan kerancuan pikiran kita. Sengaja Sevel menyediakan meja-kursi (plus colokan listrik dan wifi) di depan gerainya agar para anak muda dan mahasiswa betah kongko-kongko di situ. Sevel juga menyediakan halamannya untuk parkir kendaraan, khususnya sepeda motor agar muat banyak. Dengan “modal” kerumunan anak-anak nongkrong dan kerumunan sepeda motor di halaman, Sevel membiarkan efek social proof bekerja. Hasilnya, dari waktu ke waktu Sevel tak pernah sepi. Orang berduyun-duyun latah nongkrong di Sevel.

So, pelajaran apa yang bisa Anda peroleh dari fenomena perilaku konsumen yang menarik ini? Kalau Anda adalah marketer cerdik, maka Anda harus piawai memanfaatkan efek social proof yang saya uraikan di atas untuk menyukseskan brand Anda. Let’s try!!!

“Biotech for UKM”– Bio Farma Visit

$
0
0

Biotekologi selalu identik dengan sesuatu yang canggih, mahal dan hanya bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Tapi itu tak betul! Prinsip-prinsip bioteknologi rupanya juga bisa diterapkan untuk UKM. Buktinya PT Bio Farma, salah satu perusahaan bioteknologi produsen vaksin terbesar di Asia, melakukannya dengan sukses kepada para petani ikan koi di Sukabumi.

Bio Farma melakukan pembinaan ke kelompok tani Mizumi Koi desa Cisitu Sukabumi untuk pembudidayaan ikan koi dengan menggunakan teknik biosecurity yang sederhana dan tepat guna. Hasilnya, berat dan kualitas ikan koi meningkat, sehingga Mizumi Koi mampu mendapatkan harga premium di pasar. Bahkan tahun lalu Mizumi Koi mendapatkan penghargaan Best Breeder (pembibit terbaik) dalam ajang All Indonesia Breeder Koi Show. Di samping untuk ikan koi, teknik yang sama tentu saja juga bisa diterapkan untuk bidang pertanian dan peternakan yang lain.

Nah, kali ini Komunitas Memberi ingin mengajak rekan-rekan wirausahawan UKM khususnya yang bergerak di agro (yang bidang lain juga boleh) untuk mendapatkan sharing dari Direktur Utama Bio Farma pak Iskandar bersama tim, mengenai bagaimana pemanfaatan bioteknologi secara tepat guna untuk menjalankan bisnis UKM. Tentu saja kita juga akan jalan-jalan santai melihat fasilitas R&D dan produksi vaksin Bio Farma yang merupakan salah satu fasilitas terbaik di dunia. Acaranya akan digelar pada:

Hari: Rabu, 27 November 2013, pk.11 -15 WIB
Tempat: Kantor Pusat Bio Farma, Jl. Pasteur No. 28 Bandung
Tema: “Biotech for UKM” by Bio Farma Team

Mengingat acara dilaksanakan di Bandung, pihak panitia menyediakan bus untuk transportasi ke Bandung dan kembali ke Jakarta. Rekan-rekan bisa berkumpul di kantor Bio Farma Jakarta, Gedung Arthaloka, Jl. Jend. Sudirman Kav. 2, Jakarta pada pukul 07.00 (pagi).

Yuk ikutaaaaan… gratissssss….

Yang berminat ikutan konfirmasi ya dengan mention @memberiID via Twitter ya. Penting nih untuk inventarisasi peserta.

Petani Global

$
0
0

Hari rabu (26/11) lalu saya bersama Komunitas Memberi dan teman-teman UKM (Usaha Kecil Menengah) berkunjung ke Bio Farma, salah satu biotech company kebanggaan Merah Putih. Beramai-ramai kami “berburu ilmu + relasi” mendengarkan ceramah pak Iskandar, Dirut Bio Farma bersama tim bertopik “Biotech for UKM”. Seru abis, karena sebelumnya teman-teman UKM tak bisa membayangkan bahwa biotechnology yang canggih, padat modal,  dan hanya bisa dilakukan perusahaan raksasa ternyata bisa diterapkan untuk bisnis UKM.

Yang belum tahu, Komunitas Memberi adalah sebuah komunitas yang punya misi mulia mendorong UKM untuk menjadi berkelas dunia dan secara sistematis membangun merek (building brand). Karena itu banyak kegiatan komunitas ini mengajak UKM untuk berkunjung menimba ilmu ke perusahaan-perusahaan besar yang telah terbukti memiliki kemampuan kelas dunia. Tujuannya tentu agar mereka terbuka wawasannya untuk menjadi perusahaan liliput berkelas dunia.

Selama berkunjung di Bio Farma, kami diajak berkeliling ke fasilitas riset dan produksi vaksin dan antisera nan canggih dan berstandar dunia. Saya mendapatkan cerita dari pak Iskandar bahwa di dunia hanya ada 23 perusahaan vaksin yang lolos sertifikasi WHO dimana salah satunya adalah Bio Farma. Perlu diketahui, Bill & Melinda Gates Foundation adalah konsumen vaksin terbesar di dunia yang merupakan salah satu pelanggan setia Bio Farma. Tak heran jika pak Iskandar sering ketemu ikon Microsoft ini.

Komunitas MemberiID in action!!!…  Narsis United!!!

Tepat Guna
Melihat fasilitas riset dan produksi Bio Farma nan canggih memang menarik, namun yang justru membuat kami surprise adalah saat mendengarkan ceramah testimoni dari pak Asep Syamsul, ketua kelompok tani Mizumi Koi, desa Cisitu Sukabumi binaan Bio Farma. Pak Asep bercerita panjang lebar bagaimana kelompok taninya melakukan budidaya dan pemuliaan ikan koi dengan menggunakan teknik biosecure yang dikembangkan oleh tim peneliti Bio Farma. Pembinaan ini dilakukan melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).

Pasti Anda membayangkan, biosecure adalah teknologi “rocket science”, super rumit, mahal, dan hanya mampu dilakukan perusahaan besar. Anda salah besar. Biosecure adalah teknologi tepat guna, murah, dan siapapun petani bisa melaksanakannya. Buktinya, pak Asep dan kelompok taninya sukses sejak 3 tahun terakhir menerapkan teknologi ini untuk menghasilkan ikan-ikan koi berkualitas tinggi, berharga premium, dan bisa laris-manis di pasar global. Tahun 2014 mereka menargetkan masuk ke pasar ekspor.

Teknik biosecure adalah salah satu kompetensi yang dimiliki oleh Bio Farma untuk menjaga produk-produk vaksinnya tetap steril tak tercemar, dari saat vaksin dikembangkan, diproduksi, hingga sampai di pelanggan di seluruh dunia (produk Bio Farma saat ini ada di lebih dari 120 negara). Nah, teknik yang sama kemudian diterapkan untuk budidaya ikan koi secara sederhana dan murah. “Contohnya, jangan pernah memasukan tangan ke kolam untuk menangkap ikan koi,” ujar pak Asep mengenai beberapa teknik biosecure yang dijalankannya.

Mengunjungi fasilitas riset nan canggih abis…

Kolaborasi Indah
Bagi saya kasus Bio Farma dengan kelompok tani Mizumi Koi nya adalah contoh kolaborasi yang indah antara si besar dan si liliput. Sebuah kolaborasi yang bisa membawa si liliput menjadi hebat dan memiliki daya saing di kancah global. Yang membuat saya salut adalah, bahwa Bio Farma melakukan pembinaan ke UKM secara fokus, sistematis-berkelanjutan, dan dikaitkan dengan kompetensi teknologi yang dimilikinya. Di situ tercermin hubungan si besar dan si liliput sudah seperti hubungan bapak dan anak yang penuh perhatian dan empati. Di situ tercermin spirit of giving.

Saya terkadang sedih melihat banyak BUMN kita yang menjalankan program PKBL secara gampangan dan mengkerdilkan maknanya. Mereka berpikir program PKBL hanya semata menyisihkan sekian persen dari profit untuk membantu UKM. Secara kerdil mereka berpikir bahwa PKBL adalah program menyumbang duit. Setelah sekian miliar rupiah digelontorkan, lalu dengan gagah mereka menulis di koran-koran: “Kami telah menyisihkan sekian miliar rupiah untuk membantu UKM”. Atau “Kami telah membina sekian ribu UKM.” Tujuannya selfish banget: “untuk mendongkrak citra perusahaan”. Menyedihkan.

Seperti terjadi dalam kasus Bio Farma dan kelompok tani Mizumi, secara besaran rupiah mungkin tidak besar, namun yang justru paling bernilai adalah keseriusan, perhatian, empati, dan tanggung jawab atas kesuksesan si UKM binaan dalam jangka panjang. Beginilah seharusnya PKBL dijalankan. Karena itu saya kemudian jadi teringat kata-kata indah ibu Teresa: “It’s not how much we give but how much love we put into giving.” Yang penting bukanlah seberapa miliar rupiah yang kita berikan, tapi seberapa banyak “cinta” di setiap rupiah yang kita berikan.

Petani Go Global
Dalam banyak kesempatan saya sering mengatakan bahwa “long tail” (ribuan bahkan jutaan UKM), “locality” (potensi lokal), dan “diversity” (keanekaragaman hayati dan budaya) merupakan tiga pilar yang menjadi modal Indonesia untuk memenangkan kompetisi ekonomi global.

Long tail, karena kita memiliki 50-an juta UKM (mencapai 99% dari total pelaku usaha) dengan potensi penyerapan tenaga kerja luar biasa. Locality, karena dengan pemahaman local wisdom kita bisa mengamankan potensi pasar dalam negeri bahkan berekspansi ke pasar global. Dan diversity, karena kita memiliki keanekaragaman kekayaan alam dan budaya luar biasa yang bisa dimanfaatkan oleh jutaan UKM kita.

Nah, dalam konteks inilah petani sebagai pelaku UKM memainkan peran super penting. Harus diingat, dari sekitar 50 juta pelaku UKM kita, sekitar setengahnya adalah pelaku UKM yang berlatar belakang petani. Kalau para UKM pertanian itu memiliki standar kelas dunia dalam produk, teknologi, cara pengolahan, atau manajemen pemasaran seperti kelompok tani Mizumi Koi, maka ini akan menjadi sebuah kekuatan ekonomi rakyat yang maha dahsyat.

Karena itu melalui Komunitas Memberi saya bersama teman-teman akan terus berjuang untuk mendorong petani kita menjadi petani global. Yaitu petani yang mampu building brand karena memiliki produk, teknologi pengolahan, manajemen operasi, ataupun teknik pemasaran berkelas dunia, sehingga mampu bersaing di kancah global.

Indonesia akan betul-betul menjadi negara hebat hanya jika ekonominya ditopang oleh jutaan UKM dengan kemampuan penyerapan tenaga kerja yang luar biasa. Ketika itu terwujud, maka aset ekonomi tak hanya dikuasai kapitalis kaya, tapi terdistribusi ke seluruh masyarakat, termasuk ke mereka yang tak beruntung karena kurang berketrampilan… wow indahnya. Mari kita perjuangkan Indonesia Indah.

One-Day Workshop: “Marketing Plan for UKM”

$
0
0

Tahun 2014 sudah di depan mata. Kini saatnya temen-temen wirausahawan UKM “masuk gua” untuk berpikir sejenak. Berolah pikir meninjau kondisi ekonomi, politik, pasar, dan persaingan di tahun depan untuk mendapatkan arah kemana strategi pemasaran mau dijalankan. Di akhir tahun seperti inilah Anda harus cut-off sejenak untuk melakukan perencanaan strategi/taktik/program di tahun depan.

Untuk itu Komunitas Memberi bersama JNE Inspirasi akan menggelar #KelasKetrampilan berupa workshop sehari penyusunan marketing plan untuk teman-teman wirausahawan UKM. Dalam workshop ini peserta akan dipandu secara step-by-step untuk menyusun marketing plan (mulai dari kajian lingkungan bisnis, SWOT analysis, hingga penyusunan strategi dan program) dengan menggunakan template yang sudah dipersiapkan (peserta diwajibkan membawa laptop).

Workshop akan dilangsungkan pada:

Hari: Sabtu, 21 Desembar 2013
Tempat: Gedung Learning Center PT. JNE, Jl. Tomang Raya 11, Jakarta Barat
Topik: One-Day Workshop: “Marketing Plan for UKM”
Fasilitator: Yuswohady, Marketing expert

Program ini gratis tapi peserta dibatasi hanya 30 orang. Peserta adalah manajer atau pemilik UKM yang minimal sudah beroperasi tiga tahun. Silahkan teman-teman mendaftar di blog: www.memberi.org dengan  mengisi form yang tersedia. Kami akan melakukan seleksi apabila jumlah peserta melebihi 30 orang.

Yuk UKM terus belajar!!!

#KelasInspirasi “Membranding Kopi Lokal”

$
0
0

“Kopi adalah salah satu produk paling kompleks untuk bisa menjadi yang terbaik dihidangkan di meja,” ujar Priyantono Rudito, Direktur Human Capital Management (HCM) PT.Telkom. Ya, karena kopi memiliki banyak ragam dan rasa. Untuk menjadikannya the best coffee diperlukan tahapan-tahapan kompleks untuk mengolah dan meraciknya dari dipetik di kebun hingga terhidang di meja kafe atau ruang tamu kita. Kepiawaian dalam mengolah dan meracik kopi inilah yang menjadikan secangkir kopi bisa cuma dihargai Rp.4000 tapi bisa juga berharga Rp.40.000, bahkan ratusan ribu.

Menurut penyandang gelar barista (peracik kopi) internasional sekaligus PhD marketing jebolan RMIT University Australia ini, Indonesia adalah salah satu pemilik biji kopi terbaik di dunia mulai dari kopi lampung, Toraja, Ungaran, Medan, hingga Aceh.  Karena kenyataan ini, membranding kopi lokal menjadi sangat strategis bagi Indonesia. Kalau biji kopi unggul Indonesia tersebut bisa diolah dan diracik dengan teknik canggih menjadi latte, cappucinno, atau espresso bercitra global dan kemudian dibranding secara modern, maka secangkir kopi kita bisa laku puluhan bahkan ratusan ribu di pasar.

Nah, temen-temen Komunitas Memberi, kali ini kita akan mendapat berkah ilmu dari pak Pri yang pakar kopi sekaligus pakar marketing. Ia akan memberikan pencerahan dalam #KelasInspirasi kita mengenai bagaimana membranding kopi lokal kita agar memiliki daya saing di kancah global. Temen-temen wirausahawan UKM yang bergerak di bidang perkopian harus ikutan. Acaranya dilaksanakan:

Hari: Jumat, 6 Desember 2013, pk.16-18 WIB
Tempat: Director Lounge, PT.Telkom, Jl. Gatot Subroto, Jakarta
Tema: “Membranding Kopi Lokal”
Pemateri: Priyantono Rudito, Ph.D.

Istimewanya, nanti kita akan dijamu dengan kopi racikan istimewa pak Pri. Anyway, temen-temen mohon maaf, mengingat ruangan terbatas, peserta hanya dibatasi 30 orang. So, cepet daftar ya. Caranya, cukup follow dan mention @memberiID. Gratisss!!!

Branding Kopi

$
0
0

Hari Jumat sore (6/12) lalu saya mendapat berkah ilmu dari pak Priyantono Rudito dalam sebuah acara sesi sharing dengan Komunitas @memberiID. Dia adalah teman lama yang sejak 1,5 tahun lalu menjadi direktur SDM PT.Telkom. Lebih setahun lalu saat membaca di koran Pak Pri diangkat menjadi direktur SDM, saya kaget nggak percaya. Ya, karena setahu saya Pak Pri adalah pakar marketing, karena sejak hampir sepuluh tahun lalu kita sering mengajar bareng mengenai marcomm (marketing communication).

Sejak dia mengambil kuliah master dan doktor di Australia hubungan kami terputus. Sekitar lima tahunan kami tidak bersua, eh tiba-tiba baca di koran ia menjadi direktur SDM. Padahal master dan doktornya (dari Universitas RMIT) adalah marketing dan kini ia mengajar di sekolah bisnis ITB pun untuk mata kuliah marketing.

Beberapa bulan terakhir saya intens ketemu pak Pri karena berencana menulis buku bareng mengenai marketing untuk industri telekomunikasi. Nah, dari banyak ngobrol belakangan saya tahu ia adalah seorang pakar kopi juga. Tidak main-main, ia adalah pemegang sertifikasi barista (peracik kopi) internasional. Karena alasan itulah kemudian muncul ide saya mengajak ia berbagi ilmu mengenai bagaimana membranding kopi lokal Indonesia.

Nilai Tambah
“Kopi adalah salah satu produk paling kompleks untuk bisa menjadi yang terbaik dihidangkan di meja,” ujar Pak Pri, Ya, karena kopi memiliki banyak ragam dan rasa. Untuk menjadikannya the best coffee, diperlukan tahapan-tahapan kompleks untuk mengolah dan meraciknya dari biji kopi hingga terhidang di meja kafe atau ruang tamu kita.

Pak Pri bercerita, setidaknya ada 7 langkah yang harus dijalankan dengan sangat teliti dan disiplin untuk menghasilkan secangkir kopi terbaik. Di mulai dari memetik biji kopi di kebun, mengeringkan dan menyimpan, memanggang (roasting), menggiling (grinding), mengekstrasi (extracting) untuk mengasilkan espresso, menguapkan susu (frothing) untuk membuat latte atau cappuccino, hingga menuangkan ke cangkir (latte art).

“Kopi itu manja, sedikit saja kita salah memperlakukannya, maka rasa dan aromanya akan berbeda,” ujarnya. Menyimpan biji kopi misalnya, tidak bisa sembarang suhu. Atau, menggiling kopi, tak bisa asal giling. Begitu pula menguapkan susu atau frothing harus dilakukan dalam rentang waktu yang presisi. Semua itu ada tekniknya. Nah, kepiawaian dalam mengolah dan meracik kopi inilah yang menjadikan secangkir kopi bisa cuma dihargai Rp.4000, ada yang Rp.40.000, atau bahkan ada yang Rp.400.000.

Kopi Branded
Mengetahui betapa proses pembuatan secangkir kopi demikian “canggih”, saya kemudian sadar bahwa pengusaha kopi kita (khususnya UKM) haruslah menguasai ilmu ini. Indonesia dikenal memiliki modal kekayaan biji kopi yang luar biasa mulai dari kopi Lampung, Ungaran, Toraja, Medan, hingga kopi Gayo Aceh. Sedihnya, biji-biji kopi hebat itu hanya diolah dengan cara tradisional. Walhasil, di warung paling banter laku lima ribu perak. Kalau biji-biji kopi berkualitas dunia itu diolah dan diracik dengan teknik-teknik modern, maka ia akan menghasilkan “kopi branded” yang bisa mendunia dengan harga puluhan bahkan ratusan ribu per cangkir.

Pak Pri membandingkan, “Di negara-negara Skandinavia, mereka tidak punya pohon kopi seperti kita. Tapi mereka menguasai teknik meracik kopi untuk menghasilkan espresso, latte, atau cappucinno paling enak di dunia. Akibatnya, mereka bisa mendapatkan marjin sangat tinggi.” Kita sebaliknya, memiliki biji kopi hebat, tapi tidak punya knowledge untuk  mengolah dan meraciknya. Akibatnya kita puas hanya menjual kopi tubruk 3-5 ribu perak secangkirnya.

Diversity, Locality, Equality
Ada satu kalimat Pak Pri yang membuat saya kepikiran terus sepanjang malam. “Coffee is the most trade commodity after oil,” ujarnya. Di seluruh dunia kopi itu laris-manis dan meningkat terus konsumsinya. Potensi pasar dari secangkir kopi itu luar biasa besar dan tak ada matinya, apalagi kalau sudah di-blended dengan gaya hidup (lifestyle) seperti yang dilakukan Starbucks.

Karena itu saya berpikir, seharusnya kopi bisa menjadi senjata ampuh ekonomi kita dalam bersaing di pasar global (ingat, Asean Economic community di depan mata). Syaratnya satu, bukan sekedar jualan komoditas biji kopi, tapi jualan “kopi branded” yang sudah mengalami teknik pengolahan/peracikan modern, yang  kemudian di-blended dengan unsur lifestyle si konsumennya.

Upaya mengembangkan warung kopi branded merupakan pilihan pengembangan brand nasional yang tepat karena beberapa alasan. Pertama, seperti saya uraikan di depan, kita memiliki modal luar biasa berupa diversitas (diversity) biji kopi yang banyak dengan kualitas unggul kelas dunia. Kedua, bisnis ini bisa dilakukan oleh UKM kreatif dalam jumlah yang sangat besar dengan kekuatan ciri lokalnya (locality). Ketiga, bisnis ini juga padat karya, sehingga berpotensi memeratakan kemakmuran (equality).

Dengan begitu, saya lebih setuju ekonomi kita ditopang ribuan UKM yang mampu menghasilkan ribuan warung kopi branded yang padat karya, ketimbang satu industri mobil, kapal, atau pesawat yang padat modal/teknologi. Saya lebih setuju ekonomi kita menciptakan ribuan brand “warung kopi branded nasional” yang memeratakan kemakmuran, ketimbang satu brand “mobil nasional”, “kapal nasional”, atau “pesawat terbang nasional”, yang bisa memicu kesenjangan kemakmuran.

PPM Book Talk: Great Spirit, Grand Strategy

$
0
0

Arief Yahya adalah business leader yang percaya 1000% bahwa karakter mulia adalah sumber hakiki kesuksesan jangka panjang perusahaan. “Character building adalah pekerjaan pertama dan paling utama bagi setiap pemimpin, apakah itu pemimpin perusahaan ataupun negara,” ujarnya.

Itu sebabnya, begitu menjabat direktur utama Telkom satu setengah tahun yang lalu, Pak AY, begitu ia biasa di panggil, langsung melakukan gebrakan-gebrakan yang fokusnya adalah membangun SDM berkarakter. Ia berupaya mentransformasi Telkom menjadi sebuah spiritual organization; membentuk Telkom Corporate University (Corpu); hingga menginisiasi global talent program (GTP) untuk mengembangkan talent pool berkelas dunia.

Pak AY berprinsip bahwa karakter yang dibangun di dalam perusahaan haruslah dilandasi dan bersumber pada nilai-nilai spiritual yang agung dan mulia. Untuk dapat membangun budaya perusahaan yang kokoh maka setiap organisasi haruslah menempatkan nilai-nilai spiritual pada posisi sentral dan menjadi roh keberlangsungan organisasi tersebut.

Ia berkeyakinan, apabila nilai-nilai spiritual melandasi tugas dan pekerjaan setiap karyawan, maka ini akan menjadi sebuah power yang luar biasa. “Ketika karyawan menyikapi pekerjaan-pekerjaannya di kantor sebagai perwujudan ibadah kepada Tuhan, maka tentu saja hasil akhir pekerjaan mereka akan luar biasa,” tambahnya.

Bagi pak AY karakter mulia haruslah mengacu dan berlandaskan nilai-nilai luhur universal yang terkandung dalam ajaran agama-agama, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Karena nilai-nilai kebaikan yang luhur ini bersifat universal maka ia ada di semua agama dan tak bertentangan satu sama lain. Karakter mulia itulah yan kemudian diterjemahkan menjadi kinerja bisnis yang luar biasa. Inilah yang ia sebut sebagai “From Character to Commerce”.

Dengan prinsip “from character to commerce”, maka misi sebuah organisasi memiliki misis spiritual yang mulia yaitu  membawa kemanfaatan kepada segenap umat manusia (rahmatan lil alamin) dalam rangka ibadah dan pengabdian kepada Tuhan. Wow… begitu indahnya.

Temen-temen mau tahu butir-butir pemikiran bisnis pak AY yang terangkum dalam buku terbarunya Great Spirit, Grand Strategy (Gramedia Pustaka Utama, 2013, kebetulan buku ini saya editori, hehehe..)? Yuk ikutan bedah bukunya pada:

Hari/Tanggal: Kamis, 19 Desember 2013, pk.14-17 WIB
Tempat: Kampus PPM, Jl. Menteng Raya 9, Jakarta
Tema: Great Spirit, Grand Strategy
Nara Sumber: Arief Yahya, Dirut Telkom
Pembahas: Yuswohady

Yuk serbuuuuu… gratis!!!

Temen-temen yang ikutan mention akun Twitter: @memberiID ya…


2014: Menyalip di Tikungan

$
0
0

Tahun 2014 yang akan segera kita masuki adalah tahun yang penuh ranjau. Di bidang politik kita tahu Pemilu (lengkap dengan money politic-nya) bakal memicu instabilitas dan gerahnya suhu politik nasional. Dengan kondisi yang kurang menentu, pelaku bisnis akan cenderung “wait and see” untuk mengurangi risiko usaha, setidaknya hingga akhir tahun.

Di bidang ekonomi ranjaunya tak kalah gawat. Kita tahu rupiah terus terjun bebas, hingga akhir tahun ini sudah menembus ambang batas Rp.12.000. Biangnya struktural, karena impor kita yang jauh lebih perkasa ketimbang ekspor. Sudah 27 bulan kita mengalami defisit neraca transaksi berjalan (saat ini 3,78% dari PDB), sebuah rekor dalam sejarah perekonomian Tanah Air. Celakanya, perekonomian AS kian menggeliat (AS mulai meluncurkan kebijakan tappering off) sehingga dolar kian kokoh.

Untuk merespons melemahnya rupiah, BI rate pun terus didongkrak, setidaknya hingga ke level 8% tahun depan. Kalau sudah demikian maka semua sektor industri akan terpukul. Ekspansi kredit akan diredam dan pertumbuhan ekonomi tak seperkasa tahun-tahun sebelumnya (diperkirakan tak sampai 6%). Itu artinya, tahun depan adalah tahun pengencangan ikat pinggang. Tahun prihatin. Tahun tiarap bagi para pebisnis.

Bagaimana menghadapi tahun depan yang bakal diwarnai ketidakmenentuan (uncertainty) dan dihantui pelemahan ekonomi (economic downturn)? Ketika gambaran bisnis tahun depan demikian suram, pertanyaannya, apakah kita para marketer harus ikutan suram dan pesimis? No way! Berikut ini adalah kiat-kiat untuk survive di tahun depan.

Paradox Thinking
Di tengah kondisi bisnis yang penuh risiko saya justru menganjurkan para marketer untuk berani take risk dengan berpikir terbalik (paradox thinking), alias berpikir berlawanan dengan arus pemikiran yang diambil oleh kebanyakan pemain lain.

Maksudnya, kalau para pemain lain cenderung “wait and see” menghadapi kondisi bisnis yang tak menentu akibat gerah politik, Anda justru harus proaktif merespons pasar dengan gerakan-gerakan yang agresif dan menggebrak pasar. Kalau pemain lain cenderung tiarap, mengurangi bujet pemasaran untuk menghindari risiko, Anda justru menaikkan bujet untuk memanfaatkan momentum pasar yang sedang sepi oleh gerak pesaing. Ingat, gerakan Anda yang agresif di tengah pemain lain yang diam akan menghasilkan dampak kinerja yang jauh lebih impactful.

Kalau dianalogikan dengan balapan MotoGP di sirkuit, saya menggambarkan tahun 2014 sebagai “tahun di tikungan” yang penuh risiko. Ketika umumnya pemain bermain aman dengan mengerem laju kendaraan, kita justru ngegas agar bisa menyalip pesaing di tikungan. Ingat, pembalap umumnya bisa menyalip pesaing bebuyutannya justru ketika berada di tikungan, bukan di jalanan sirkuit yang lurus.

Low Budget, High Impact
Ketika keadaan serba sulit, maka efektivitas/produktivitas kampanye pemasaran menjadi demikian krusial untuk memenangkan persaingan. Karena itu setiap rupiah yang Anda keluarkan untuk membangun strategi haruslah menghasilkan dampak yang powerful. Karena itu kreativitas untuk menghasilkan program-program pemasaran yang low budget high impact menjadi faktor penentu kemenangan.

Berbicara mengenai low budget high impact, maka marketer harus mengusung konsep program yang nyleneh dan out of the box, dengan memanfaatkan media-media yang murah (owned dan earned media) seperti media sosial, komunitas, atau digital. Karena itu di tahun depan, konsep kampanye pemasaran yang berbasis word of mouth (WOM), buzz, atau viral di media sosial akan marak dan menjadi pilihan yang kian diminati marketer.

Melihat kenyataan ini saya berharap tahun 2014 merupakan momentum penting bergesernya orientasi marketer kita dari promosi menggunakan paid media (TV, koran, billboard) yang mahal, ke owned/earned media (website, blog, Twitter, Facebook, mobile site) yang lebih murah dan efektif.

Value for Money
Di tengah kondisi ekonomi yang sulit (rupiah melemah, BBM naik, inflasi tinggi, harga-harga naik, gaji jalan di tempat), maka daya beli konsumen akan kian tergerus. Kalau sudah demikian, maka konsumen akan mengurangi konsumsi atau bergeser membeli merek-merek yang lebih murah dengan kualitas yang lebih rendah (brand shifting). Ini adalah perubahan perilaku konsumen yang umum terjadi ketika ekonomi sedang lesu dan dirundung resesi.

Dalam kondisi seperti itu, maka konsep value for money menjadi senjata ampuh untuk memenangkan hati konsumen. Ketika kondisi ekonomi sulit, maka konsumen menjadi lebih rasional dan kian njlimet membandingkan fitur/manfaat produk dengan harga yang ditawarkan. Mereka akan memilih produk yang memberikan best value, yaitu produk yang memberikan manfaat tertinggi dengan harga termurah (yup, midnight sale atau late nite sale bakal tambah marak nih!).

Karena itu, mulai saat ini para marketer harus memeras otak untuk menghasilkan value formula terbaik untuk dapat menaklukkan hati konsumen yang sangat value-oriented di atas. Anda harus agresif menciptakan varian produk/layanan baru yang memberikan best value kepada konsumen yang sudah berubah tersebut.

Mari kita masuki “tahun di tikungan” dengan semangat empat lima! Manfaatkan dengan cerdas setiap “tikungan” yang ada untuk menyalip pesaing bebuyutan Anda. Selamat tahun baru 2014.

Muntah

$
0
0

Tak tahu ujung-pangkalnya, memasuki pergantian tahun ini sekonyong-konyong saya punya keluhan yang saya rasakan kian mengganggu, yaitu muntah. Muntah biasanya disebabkan oleh karena diare, alergi, keracunan makanan, atau kebanyakan makan. Tapi muntah saya ini aneh bin ajaib karena tidak diketahui juntrungannya. Datang dan pergi sak enak wudele dewe.

Misalnya, sedang leyeh-leyeh nonton TV, tiba-tiba wueeek!!! Muntah. Sedang menyusuri jalanan Jakarta yang kini agak lengang ditinggal penghuninya, tiba-tiba wueeek!!! Muntah. Lagi asyik ngetwit, tiba-tiba wueeek!!! Muntah. Terus terang, menyongsong indahnya malam pergantian tahun ini saya sudah seperti layaknya ibu hamil yang KO tak berdaya oleh gempuran muntah yang datang bertubi-tubi.

Muntah ini selalu dimulai dengan mual-mual yang begitu hebat. Saat mual-mual menghantam biasanya isi perut seperti diaduk-aduk. Kalau sudah begitu, dalam ukuran detik gudeg krecek, tempe bacem, dan es dawet yang saya lahap tadi pagi bersorak-sorai minta keluar.

Gejala muntah ini bermula persis seminggu lalu. Saat itu saya sedang lungkrah sambil nonton televisi setelah seharian mengukur jalanan Jakarta. Acara favorit saya menjelang tengah malam tentu saja adalah film action Hollywood. Saat seru-serunya si jagoan protagonis beraksi, tiba-tiba iklan semprul nylonong.

Sekonyong-konyong satu persatu kader sebuah partai besar peserta Pemilu 2014 tampil sumringah di layar kaca mengucapkan kata-kata bijak Natal yang begitu meneduhkan hati. Di ujung iklan, ketua partai yang juga calon presiden (capres) seperti tak mau ketinggalan, begitu arif bijaksana menuturkan himbauan-himbauan spiritual-inspiratif indah yang ditutup ucapan menentramkan “…selamat tahun baru 2014”.

Nah, sekelebat kemudian, perut saya mual-mual hebat, isi perut seperti diaduk-aduk, dan dalam ukuran detik seluruh makanan enak dalam lambung saya bersorak-sorai minta keluar. Wueeek!!! Saya muntah.

Dua hari berselang, saya nyetir mobil pagi hari untuk sebuah janji ketemu dengan klien. Mobil saya tertahan lampu merah di salah satu perempatan di bilangan Rawamangun. Karena lampu merah lama minta ampun, dua bola mata saya merayap menyambangi sebuah poster yang tertempel di dinding pagar pinggir jalan.

Poster yang dipasang ngasal dan merusak pandangan ini berisi foto close-up sosok embak cantik-jelita dengan jilbabnya nan trendi. Wajah full make-up, mata mengerling, senyum tergerai. Selintas wajah si embak mirip bintang sinetron atau penyanyi dangdut nasional, tapi celaka, saya lupa ia main di sinetron yang mana atau menyanyi di album apa.

Di bagian bawah poster tertulis nama si embak: “Hj. bla bla bla, SE. SH. MM. Calon Anggota DPR-RI Dapil DKI Jakarta bla bla bla…” Di bagian tengah poster tertulis besar-besar: “JUJUR, MENGAYOMI, MERAKYAT”. Di sudut kanan-atas tertera lambang partai tempat si embak berbakti. Dan tak ketinggalan di bagian kiri-atas, foto ketua umum partai tempat si embak bernaung mengenakan jaket kebesaran partai, kopiah nangkring di kepala, wajah serius, dan dengan tangan mengepal.

Melihat poster si embak, sekelebat kemudian perut saya mual-mual hebat, isi perut seperti diaduk-aduk, dan dalam ukuran detik seluruh makanan enak dalam lambung saya bersorak-sorai minta keluar. Wueeek!!! Saya muntah.

Saya mencoba menghubungi dokter untuk mencari tahu penyakit apa gerangan yang menyerang saya. Anehnya, dokter tak menemukan virus, keracunan, atau alergi apapun. “Everything is ok pak Siwo,” ujar si dokter mantap. Tapi tetap saja, dengan semangat empat-lima muntah-muntah terus menggempur saya hari-hari berikutnya.

Terakhir tiga hari lalu. Selepas makan siang di kantin dekat kantor saya iseng membuka-buka koran. Sejurus kemudian saya menemukan berita polah-tingkah para peserta konvensi salah satu partai besar di negeri ini. Ada yang blusukkan ke kampung-kampung kumuh dan berfoto bersama para gembel (sambil membawa wartawan untuk konferensi pers tentu); ada yang memanfaatkan iklan layanan kementrian (kebetulan si capres saat ini adalah menteri); Ada yang memperbanyak seminar, wawancara wartawan, melakukan talk show di TV-TV, atau melakukan roadshow menggunakan bus untuk mencari perhatian.

Belum sempat habis membaca seluruh berita tersebut, perut saya mual-mual hebat. Isi perut seperti diaduk-aduk. Dan dalam ukuran detik, soto mie, mendoan, dan es blewah yang barusan saya santap serta-merta bersorak-sorai minta keluar. Wueeek!!! Saya muntah.

Tadi malam saya nonton film Soekarno. Flashback menelusuri perjuangan Bung Karno merintis dan memperjuangkan kemerdekaan memberikan ketentraman luar biasa bagi sanubari saya. Keikhlasan Bung Karno merebut kemerdekaan dari penjajah dengan taruhan nyawa meneduhkan lambung saya yang beberapa hari terakhir babak belur. Dan memang benar adanya, setelah nonton film tersebut tiga hari ini lambung saya sekokoh baja, muntah pun sirna.

Penyakit muntah sirna, malam ini saya bisa tenang tidur di kasur empuk, wow senangnya. Namun belum lama saya merebahkan badan, “bib..bib..bib..”, Blackberry saya meraung-raung. Seorang teman memberi mention di Twitter: “Mari tweeps, perjuangkan rakyat kecil!!! Berantas korupsi!!! Wujudkan keadilan!!!” Saya apes. Rupanya itu adalah twit salah satu capres unggulan yang kondang di seantero negeri yang wajahnya nongol tiap hari di TV-TV.

Dan gampang ditebak, berkat twit tersebut perut saya mendadak-sontak mual-mual. Isi perut seperti diaduk-aduk. Dan dalam ukuran detik, seluruh makanan enak dalam lambung saya bersorak-sorai minta keluar. Wueeek!!! Saya muntah.

Sampai titik ini saya pun hopeless. Penyakit muntah-muntah yang kian mendera tak mungkin bisa saya tolak. Tapi kali ini ada kabar baiknya, saya menemukan obat penawarnya, yaitu: mengingat Bung Karno. Begitu muntah-muntah, saya langsung mengingat Bung Karno, dan secepat kilat lambung saya menjadi sekokoh baja.

Memasuki tahun yang baru ini bisa dipastikan saya akan makin banyak muntah-muntah. Tapi saya bersyukur saja. Semakin banyak saya muntah, semakin banyak saya mengingat Bung Karno. Saya akan semakin banyak mengingat kata-kata ampuh bapak bangsa ini: “Kutitipkan bangsa dan negera ini padamu”.

Selamat tahun baru 2014. Semoga 2014 memberikan kebaikan bagi Indonesia.

Best Business Book 2013: My Picks

$
0
0

Kita sudah berada di penghujung tahun 2013, menjemput tahun 2014. Untuk refleksi memasuki tahun yang baru, ada baiknya kita melihat kembali buku-buku bagus di tahun 2013 yang harus kita baca dan ambil manfaatnya. Berikut ini adalah buku-buku pilihan saya di tahun 2013, semoga bisa menjadi inspirasi Anda di tahun yang baru.

1. Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think
by Viktor Mayer-Schönberger and Kenneth Cukier
(Houghton Mifflin Harcourt, 2013)

Ketika data demikian melimpah ruah dalam format digital (ada di Google, Facebook, Twitter, blog, di jagad internet) dan kita bisa mengambilnya dengan mudah, maka kini kita bicara “populasi” tidak lagi “sampling”; kita bicara “korelasi” (correlation) tidak lagi mencari tahu “sebab-musabab” (causality); kita bicara “what” tidak lagi “why” dalam melakukan riset konsumen. Sebuah landmark book yang akan merevolusi dunia pemasaran dan bisnis. Kalau Anda marketer, Anda harus membaca buku ini kalau tidak mau kehilangan pekerjaan, karena mungkin profesi Anda tergantikan oleh mesin. Must-read!!!

2. The Everything Store: Jeff Bezos and the Age of Amazon
By Brad Stone
(Little, Brown and Company, 2013)

Cerita di balik perjalanan bisnis Jeff Bezos, sosok brilian yang merevolusi dunia ritel seiring munculnya tsunami digital dua dekade terkhir. Dengan kepemimpinan bisnis yang visioner Bezos mampu membawa Amazon menjadi peritel yang tumbuh paling cepat dalam sejarah umat manusia. Amazon yang selama Natal 2013 mampu menjual 426 item tiap detiknya ini ditakuti pesaing karena telah menjadi “vacum cleaner” yang menyedot bisnis ritel apapun yang ada di muka bumi. Kisah heroik Bezos dalam buku ini tak kalah menarik dibanding si flamboyan Steve Jobs.

3. Lean In: Women, Work, and the Will to Lead
By Sheryl Sandberg and Nell Scovell
(Knopf, 2013)

Bacaan wajib untuk para working women. Ketika kini wanita mulai memainkan peran siknifikan dalam dunia pendidikan, karir, sosial, bahkan politik dan pemerintahan, tetap saja suara mereka terdiskriminasi. Sandberg yang merupakan salah satu eksekutif puncak di Facebook ini mengurai akar masalahnya, dan kemudian memberikan solusi cespleng untuk mewujudkan kepemimpinan wanita yang lebih baik. Menggunakan hard data, studi literatur mendalam, serta bumbu anekdot menggelitik membuat buku ini tetap renyah dibaca.

4. David & Goliath: Underdogs, Misfits and the Art of Battling Giants
By Malcolm Gladwell
(Little, Brown and Company, 2013)

Conventional wisdom yang berlaku selama ini mengatakan bahwa kecil itu hambatan, ketidakmampuan, dan kelemahan. Melalui buku ini Malcolm Gladwell mengajak kita untuk mengubah mindset itu. Kecil (“David”) bisa menjadi sebuah advantage yan luar biasa, begitu pula sebaliknya besar (“Goliath”) justru menjadi disadvantage yang membahayakan. Seperti buku Gladwell sebelum-sebelumnya, buku ini diwarnai contoh-contah kaya di berbagai lapangan seperti sejarah, psikologi, pendidikan, yang diramu dengan gaya storytelling khas Gladwell.

5. Simple: Conquering the Crisis of Complexity
by Alan Siegel and Irene  Etzkorn
(Twelve, 2013)

Simplicity bisa menjadi senjata ampuh yang mendekatkan perusahaan dengan konsumennya, rumah sakit dengan pasiennya, atau pemerintah dan rakyatnya. Dan tak hanya itu simplicity bisa menjadi elemen sustainable result bagi bisnis Anda. Kedua penulis melihat bahwa saat ini kita sedang mengalami crisis of complexity yang akut: di bisnis, di pemerintahan, dan dalam kehidupan kita secara umum. Dalam kondisi seperti simplicity menjadi “currency” yang kian krusial. “Simplicity will be the next big idea in business,” kata mereka.

6. Creative Confidence: Unleashing the Creative Potential Within Us All
by Tom Kelley, David Kelley
(Crown Business, 2013)

Akhirnya buku dari bapak inovasi, disain, dan kreativitas ini keluar. Setelah dalam karya sebelumnya (“The Art of Innovation” dan “The Ten Faces of Innovation”) Tom Kelley (kini bersama saudaranya David) mencoba mengeksplorasi inovasi dan kreativitas dari sisi “how to”-nya, maka kini ia masuk lebih dalam lagi dari aspek kualitas personal si individunya. Mereka berpendapat bahwa inovasi dan kreativitas adalah milik semua orang bukan domain segelintir sosok kreatif saja. Melalui buku ini Kelley bersaudara mencoba mengungkap creative potential yang kita miliki dan kemudian menuntun kita bagaimana mewujudkannya.

7. Give and Take: A Revolutionary Approach to Success
by Adam M. Grant Ph.D.
Viking Adult, 2013)

Selama ini kita selalu melihat bahwa sumber kesuksesan bisnis datang dari kualitas personal si businessman yang cenderung egois (self-centered) seperti: passion, kerja keras, tahan banting, kompetensi, hoki, dsb. Buku ini berpendapat lain. Penulis justru melihat, kesuksesan datang dari bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. Buku ini menganjurkan bahwa setiap bisnis haruslah fokus untuk ikhlas berkontribusi kepada orang lain tanpa mengharapkan kembalian (return). Pepatah bijak: “the more you give, the more you get” pun kemudian menjadi panglima.

8. Dogfight: How Apple and Google Went to War and Started a Revolution
by Fred Vogelstein.
(Sarah Crichton Books, 2013)

Apple vs Google adalah peperangan paling akbar untuk memperebutkan dominasi kekuasaan bisnis di abad digital ini. Peperangan ini tak hanya menyangkut device yang akan kita pakai, tapi juga konten yang akan mendominasi di dalamnya. Peperangan ini tak hanya memperebutkan dominasi produk/layanan, tapi juga ecosystem yang akan mendikte hidup kita kelak. Penulis menelusuri peperangan tesebut selama satu dekade terakhir dan menarik pelajaran-pelajaran berharga.

9. Playing to Win: How Strategy Really Works Hardcover
by A.G. Lafley, Roger L. Martin
(Harvard Business School Press, 2013)

Inilah strategi yang digunakan Lafley (CEO dari 2000-2009) untuk meroketkan kinerja P&G yang luar biasa: omset naik dua kali, laba naik empat kali, dan nilai pasar menembus $100 miliar. Selama 9 tahun menduduki posisi puncak, Lafley sukses memandu P&G dalam memilih bisnis-bisnis prospektif dan memenangkannya: “where to play and how to win”.

10. Contagious: Why Things Catch On
by Jonah Berger
(Simon & Schuster, 2013)

Ingat, konsumen sudah tak lagi mendengarkan iklan, mereka mendengarkan teman-temannya. Karena itu word of mouth marketing kini begitu hot dan ampuh. Pertanyaannya, bagaimana pesan-pesan produk Anda bisa menjalar dari satu teman ke teman berikutnya secara massif? Buku ini memberikan jawabannya. Melalui riset mendalam, penulis yang merupakan profesor pemasaran dari Wharton, memberikan enam prinsip dasar menjalarkan pesan dari produk Anda.

Selamat tahun baru 2014

Keep reading, keep writing, keep inspiring…

Chief Destruction Officer

$
0
0

“DESTRUCTION IS JOB NO.1”
(before the competition does it to you).

Itu adalah kata-kata provokatif dari Tom Peters, pakar manajemen yang visioner, sekitar 10 tahun lalu. “Tugas utama pemimpin bisnis adalah MERUSAK bisnis.” Sekilas pernyataan itu gendheng. Tapi coba kita lihat, pernyataan Tom satu dekade lalu itu kini terbukti benar adanya.

Persis seperti dibilang Tom, kini seorang pemimpin bisnis memang tak cukup lagi hanya piawai membangun bisnis, ia juga harus piawai “MERUSAK” bisnis. Steve Jobs piawai “merusak” Apple dari Apple 1.0 yang hampir bangkrut menjadi Apple 2.0 yang gagah perkasa dengan iPod, iPhone, atau App Store-nya. Di Indonesia kita punya Ignatius Jonan yang piawai “merusak” KAI 1.0 yang lelet menjadi KAI 2.0 yang gesit.

Sebaliknya perusahaan-perusahaan yang dulu hebat seperti Kodak, GM, Nokia, atau Sony terus-menerus babak-belur mengalami kemunduran karena tak kunjung menemukan CEO yang mampu “merusak” fondasi model bisnis yang kini sudah tak relevan lagi. Karena itu seorang CDO (“Chief Destruction Officer”) kini adalah sosok yang paling diburu perusahaan-perusahaan di seantero jagat raya.

Yang sering kita dengar salama ini tentu adalah Chief Executive Officer, Chief Financial Officer, Chief Operating Officer, atau Chief Marketing Officer. Eh… kini ada binatang baru lagi namanya Chief Destruction Officer.

Dari arti harafiahnya saja sangat aneh dan “nggak nyambung”. Destruction artinya “perusakan” atau “penghancuran”. Jadi, kalau CEO bertugas mengelola seluruh strategi dan operasi perusahaan; CFO mengelola keuangan perusahaan; CMO membangun strategi pemasaran; lha si CDO ini tugasnya “menghancurkan” perusahaan.

Sekilas memang gendheng. Tapi jangan salah! Itu semua bukanlah celotehan main-main. Bukan pula gurauan siang bolong para kernet angkot yang sedang menunggu penumpang. Mari pelan-pelang kita coba mencernanya.

Lanskap bisnis sekarang ini bergerak dengan kecepatan tinggi secepat kecepatan cahaya: “chaotic”, “radical”, “turbulent”, volatile”, “uncertain”, “unpredictable”, dan masih banyak lagi istilah yang digunakan untuk menggambarkannya. Lanskap bisnis yang bergerak dengan kecepatan cahaya ini bukannya tanpa resiko dan bahaya. Bahayanya sangat-sangat besar.

Mau contoh? Layanan pos “mati” dimakan killer app baru seperti email, SMS, dan ATM. Kodak yang lebih seratus tahun perkasa kemudian “dihabisi” oleh layanan photo sharing yang diberikan perusahaan start-up kemarin sore seperti Instagram. Toko kaset legendaris Aquarius Mahakan di Blok M tutup “dibunuh” platform baru seperti iPod-App Store (“wow… sedihnya”).

Untuk bisa survive di tengah perubahan yang kaotik tersebut kuncinya terletak pada satu kata: “PENGHANCURAN”. Untuk sukses di era light-speed changes Anda tak boleh segan-segan menghancurkan sendi-sendi kesuksesan masa lalu Anda: “break with the immediate past”. Kenapa? Karena barangkali formula dan sendi-sendi kesuksesan tersebut sudah tak relevan lagi sekarang.

Bahkan kalau perlu, Anda harus bengis “membunuh” organisasi Anda, dan kemudian membangunnya kembali menjadi organisasi yang sama sekali baru. Anda tak perlu ragu untuk “menghabisi” model bisnis lama yang sudah tak relevan lagi dengan yang lebih baru dan fresh. Kapanpun, Anda harus siap dan tak segan-segan melakukan creative destruction… penghancuran secara kreatif.

Kalau krisis bisa kapan pun datang dan terus “mengintai”, tanpa sinyal, tanpa pemberitahuan, maka creative destruction haruslah menjadi “keseharian” operasi perusahaan Anda. Organisasi Anda, orang Anda, sistem yang Anda bangun, budaya perusahaan Anda, haruslah memiliki kapasitas dan kepiawaian untuk melakukan creative destruction.

Organisasi Anda haruslah memiliki “alert system” untuk mengendus munculnya krisis, dan kemudian dengan agilitas yang tinggi organisasi Anda harus mampu mereseponsnya dengan creative destruction yang terkelola secara baik.

Kalau sudah demikian, menjadi jelas bahwa, “winning in the light-speed change era is about survival”. Dan daya survival organisasi Anda akan ditentukan oleh kapasitasnya melakukan creative destruction.

Dan kalau kita sepakat bahwa keberlangsungan (sustainability) organisasi adalah tujuan paripurna kesuksesan bisnis, maka kesuksesan itu tak lain adalah sebuah perjalanan panjang dimana kita melompat dari satu creative destruction ke creative destruction yang lain. Persis yang dilakukan Apple, atau Google, atau Amazon.

Ingat, sustainability is a  journey of destructions; it is a destruction safari for long-term survival.

Untuk sukses melakukan destruction safari Anda butuh seorang CEO yang juga seorang CDO. Anda butuh seseorang di pucuk pimpinan yang punya satu dedikasi untuk menghancurkan status quo lama, dan membangun “kerajaan baru” di atas puing-puing kehancuran itu, sebuah organisasi yang barangkali sama sekali baru dan fresh.

Anyway.. kini saya setuju 1000% dengan Tom Peters: “DESTRUCTION IS YOUR JOB NO. 1”.

2014: Tahun Si Kecil

$
0
0

Sudah menjadi ritual tahunan, setiap akhir tahun saya merapel baca buku. Ini sekaligus untuk “menghapus dosa” diri yang berbulan-bulan sebelumnya terus beralasan nggak punya waktu membaca. Biasanya di awal bulan Desember saya list sejumlah buku yang menurut saya “the best book of the year”. Lalu dilihat mana-mana yang belum terbaca dan kemudian dikebut baca agar sebelum pergantian tahun buku-buku itu kelar seluruhnya.

Salah satu buku terbitan tahun lalu yang mencuri perhatian saya adalah David and Goliath tulisan Malcolm Gladwell. Buku ini menarik, karena membukakan mata saya bahwa kecil itu tak selalu mesti harus menjadi kelemahan, begitupun besar tak selalu kekuatan.  Bahkan justru kecil bisa menjadi kekuatan (“the advantages of disadvantages”), sebaliknya besar bisa menjadi kelemahan (“disadvantage of advantages“).

Ciptakan Rule of the Game
Conventional wisdom akan mengatakan bahwa Goliath berada di atas angin dan gampang sekali mengalahkan David karena tubuhnya yang besar, ototnya yang kekar, dan pedangnya yang setajam petir. Namun apa yang terjadi? Goliath justru tumbang dan kepalanya terpotong oleh pedang miliknya.

Kenapa bisa begitu? Karena David tak mau bertarung ala Goliath. Ia menciptakan rule of the game-nya sendiri, kemudian mendikte dan mendominasi rule of the game tersebut untuk menumbangkan Goliath. David tahu bahwa di balik kelebihan tubuh besarnya Goliath memiliki kelemahan fatal: gerak yang lamban, manuver yang terbatas, dan matanya yang rabun sehingga tak bisa melihat jarak jauh.

Dengan cerdas David membalik kelemahannya yaitu tubuh yang kecil, menjadi kekuatan mematikan: kecepatan gerak dan kelincahan bermanuver. Tahu bahwa mata Goliath rabun, David pun tak mau bertarung jarak dekat sehingga Goliath sulit mengamati gerak cepat David. Dengan pergerakan tubuh yang cepat, kelincahan bermanuver, dan ketepel di tangan, David pun siap mengendalikan pertarungan.

Dengan tidak terpancing melakukan pertarungan jarak dekat, David mengambil posisi yang tepat, dan dalam sekejap mata… “darrr!!!” peluru ketepelnya tepat mendarat di jidat dan serta-merta Goliath terkapar. Tak mau kehilangan kesempatan, secepat kilat David pun mengambil pedang terhunus dari tangan Goliath dan menggunakan untuk memotong lehernya.

Kenapa David bisa menang? Pertama, karena ia tahu betul kelemahan dan kekuatan dirinya, maupun kekuatan dan kelemahan lawan. Tak cuma itu, ia juga cerdas membalikkan kelemahan tersebut menjadi kekuatan untuk dijadikan senjata pamungkas memenangkan pertarungan.

Kedua,  ia menciptakan rule of the game-nya sendiri mengacu pada kekuatan yang dia miliki seperti: bertarung jarak jauh, menggunakan ketepel bukan kekuatan otot dan pedang, memaksimalkan manuver dan kecepatan. Ia tak mau sedikitpun terjebak pada rule of the game si besar Goliath. Inilah pelajaran terpenting pertarungan David vs Goliath.

Menyalip Ala David
Buku David and Goliath mengingatkan saya pada kondisi bisnis tahun 2014 yang penuh ranjau. Dua minggu lalu di rubrik ini saya menulis artikel mengenai marketing outlook 2014. Saya katakan di situ bahwa tahun 2014 merupakaan tahun berat karena berbagai perkembangan tak menguntungkan: rupiah terjun bebas, pertumbuhan ekonomi melambat, hingga gonjang-ganjing politik akibat pemilu.

Di artikel tersebut saya juga mengusulkan kepada para marketer untuk memanfaatkan momentum tahun berat untuk bisa “menyalip di tikungan”. Maksudnya memanfaatkan riak-riak perubahan yang terjadi untuk mengalahkan pesaing.

Nah, melalui artikel kali ini saya ingin mengatakan bahwa tahun 2014 adalah “Tahun si David”, alias “Tahun si Kecil” alias “Tahun si UKM”. Kenapa? Karena ontran-ontran ekonomi-politik 2014 seharusnya menjadi momentum peluang yang luar biasa bagi usaha kecil menengah (UKM) untuk bisa menyalip di tikungan. Ketika kondisi stabil, kecil kemungkinan UKM bisa beat the giant. Justru ketika bisnis sedang bergolak, kans untuk bisa menyalip di tikungan terbuka lebar.

Ada dua alasan kenapa UKM punya kans lebih besar untuk menyalip di tikungan. Pertama, seperti halnya David, karena kekecilannya UKM bisa lebih cepat bergerak, lebih lincah bermanuver, dan lebih fleksibel memainkan strategi untuk memenangkan persaingan. Di tengah kondisi bisnis yang bergolak, kecepatan, kelincahan, dan fleksibilitas merupakan harta karun tak ternilai.

Kedua, kita tahu kebanyakan UKM memiliki local content tinggi, bahkan 100%. Nah, ketika rupiah makin terpuruk digerus dolar, UKM akan lebih kompetitif dibandingkan perusahaan-perusahaan besar dan perusahaan asing yang kebanyakan bahan bakunya bergantung pada impor. Cost advantage yang dinikmati UKM ini seharusnya menjadi peluang emas untuk menyalip di tikungan.

Lalu bagaimana UKM bisa menyalip di tikungan? Kiatnya persis yang dilakukan David. Pertama-tama kenali kelemahan-kekuatan diri maupun lawan; balikkan kelemahan tersebut menjadi kekuatan; lalu ciptakan rule of the game Anda sendiri mengacu pada kekuatan tersebut.

Ingat, jangan sampai tergoda masuk pada jebakan rule of the game pemain besar. Karena kalau dilakukan, itu artinya Anda bunuh diri.

Selamat datang 2014. Selamat datang “Tahun si Kecil”.

Viewing all 363 articles
Browse latest View live