Quantcast
Channel: yuswohady.com
Viewing all 363 articles
Browse latest View live

Yuk Bangun Brand UKM Indonesia

$
0
0

UKM harus optimis menyambut 2014!!!
Walaupun 2014 adalah tahun penuh ranjau dan pergolakan (rupiah terjun bebas, ekonomi melambat, gonjang-ganjing pemilu), dengan berbekal kapabilitas berkelas dunia, UKM harus optimis bisa “menyalip di tikungan” dan memenangkan persaingan.

Komunitas Memberi (@memberiID) terpanggil untuk memberikan kontribusi memandu UKM nasional dalam membangun brand melalui capacity building. Misinya jelas, membangun kapabilitas UKM kita agar memiliki standar berkelas dunia (world-class best practices) untuk menyongsong Asean Economic Community (AEC 2015) dan globalisasi.

Kegiatan capacity building tersebut dikemas dalam tiga format yaitu: #KelasInspirasi (inspiration sharing), #KelasPengetahuan (knowledge development), dan #KelasKeterampilan (skill building). #KelasInspirasi bertujuan memberikan inspirasi kepada pelaku UKM biasanya berupa company visit (2-3 jam) sehingga bersifat experiential dan fun. #KelasPengetahuan bertujuan memberikan pengetahuan dalam bentuk seminar (2-3 jam). Sedang #KelasKetrampilan memberikan ketrampilan teknis dalam bentuk workshop (1-3 hari). Kegiatannya dilakukan untuk berbagai bidang yang terkait dengan operasi UKM mulai dari marketing, sales, keuangan, manajemen SDM, customer service, operasi, hukum, dsb.

Di tahun 2014 ini, di samping #KelasInspirasi berupa kunjungan ke perusahaan-perusahaan kelas dunia yang dibesut tiap bulan, Komunitas Memberi akan berkonsentrasi menggelar #KelasPengetahuan dan #KelasKeterampilan untuk membangun kapasitas manajemen UKM kita. Secara umum agenda ke-dua kelas tersebut selama setahun (12 bulan) terlihat pada tabel.

Agenda #KelasPengetahuan dan #KelasKeterampilan 2014 (agenda masih bisa berubah secara dinamis)

Program selama setahun tersebut bisa diikuti oleh owner/manajer UKM secara gratis dengan mendaftar di blog www.memberi.org. Mengingat sumber daya yang terbatas, tahun ini kami akan menyeleksi para pendaftar dan menetapkan sekitar 80 UKM yang bisa mengikuti program selama setahun tersebut. Kriteria umumnya adalah, UKM harus sudah beroperasi minimal selama 3 (tiga) tahun, mengingat di level tersebut UKM mulai membutuhkan kemampuan manajemen yang solid dan sistematis.

Kami mengundang teman-teman owner/manajer UKM untuk berpartisipasi dalam program ini dan berkomitmen membangun brand UKM Indonesia yang kokoh sehingga mampu berkompetisi di pasar regional-global. Nasib dan kejayaan bangsa ini ada di tanganmu, mari bangun Indonesia yang kekar di kancah dunia.

Kami percaya Indonesia yang hebat akan bisa terbangun oleh ribuan bahkan jutaan UKM yang hebat.

Viva UKM!!! Viva Indonesia!!!
Ayuuuk!!! Cepetan daftar di: www.memberi.org


“Conquering Global Market”: The Inaco Story

$
0
0

Inaco adalah brand lokal yang dalam buku saya Beat the Giant saya sebut sebagai “Global Chaser” yaitu pemain lokal yang piawai mencipta produk kelas dunia dan kemudian tangguh menembus pasar global. Memulai usaha tahun 1990, produsen healthy dessert food (nata de coco, jelly, dan aloe vera) ini kini sudah menembus pasar-pasar superkompetitif seperti Amerika, Kanada, Australia, bahkan Timur Tengah. Yesss… ini brand kebanggaan Indonesia!!!

Kembali, Komunitas Memberi (www.memberi.org) mengajak temen-temen pelaku UKM untuk melakukan company visit ke lokasi pabrik Inaco Food sambil mendengarkan inspiring sharing dari owner pak Erijanto dalam #kelasInspirasi bulan Januari 2014. Pak Erijanto akan berbagi cerita mengenai kiat-kiat brand lokal menembus pasar global mulai dari mencipta worl-class product, menemukan pasar-pasar lukratif di seluruh dunia, hingga membangun jaringan pemasaran.

Visit kali ini juga akan experiential karena produsen merek-merek hebat seperti Inaco, Yogjell, dan YOI ini akan mengajarkan pada para pelaku UKM (terutama UKM kuliner) mengenai bagaimana mengolah bahan makanan yang benar tanpa bahan pengawet. Tak hanya itu, Inaco juga akan berbagi kiat kepada UKM mengenai bagaimana membuat makanan dari bahan nata de coco, aluivera, dan jelly.

Menariknya, produsen yang menggunakan tagline “Jajanan Sehat Untuk Anak Indonesia” ini juga membuka kesempatan kepada UKM yang ingin menjalin kerjasama kemitraan sebagai penyuplai aluivera dan bahan makanan lainnya.

Wahhh… kesempatan emas nih… yuk tangkap!!!

Tema: “Conquering Global Market: The Inaco Story”
Pembicara: Erijanto, Owner dan CEO Inaco Food
Waktu: Rabu, 15 Januari, 2014. Pk.14.00 – Selesai
Tempat: Kantor Pusat/Pabrik Inaco Food, Jl. Raya Bekasi Tambun KM 39,5, Bekasi. Tel.021-8807222. Web: www.inacofood.com

Ayuk temen-temen UKM, terutama yang bergerak di bisnis makanan/minuman, pada datang untuk dapat ilmu sekaligus relasi. Cukup follow dan mention @memberiID di Twitter ya, karena peserta hanya dibatasi 60 orang.

Viva UKM go global!!!

Pesantren UKM

$
0
0

Seminggu ini melalui email, saya kebanjiran kiriman dokumen Marketing Plan 2014 dari temen-temen pelaku usaha kecil menengah (UKM). Ini adalah dokumen marketing plan yang merupakan tugas yang harus dikerjakan oleh teman-teman pelaku UKM peserta #KelasKetrampilan yang diadakan oleh Komunitas Memberi (@memberiID) seminggu sebelumnya (18/1).

Yang belum tahu, Komunitas Memberi (www.memberi.org) adalah komunitas yang saya bentuk bersama teman-teman relawan yang peduli pada upaya membangun merek (brand building) UKM Indonesia. Tujuannya, membawa mereka memiliki kapasitas dan kemampuan kelas dunia, ingat AEC (Asean Economic Community) kita masuki tahun depan.

#KelasKetrampilan berbentuk workshop dimana seluruh peserta saya pandu menyusun marketing plan untuk usaha mereka. Dengan template yang telah disiapkan, secara hands-on mereka menyusun dokumen marketing plan dimulai dari melakukan review lingkungan bisnis, melakukan analisis SWOT (strength, weakness, opportunity, threat) dan strategi, hingga penyusunan program selama setahun. Setelah tahu caranya, mereka diberi waktu selama seminggu untuk menyelesaikan dokumen tersebut dan mengirimkannya ke saya via email untuk dievalusi.

Seminggu lalu saya trenyuh melihat antusiasme mereka dalam mengikuti workshop dari pagi hingga malam bagda Isya. Mereka begitu passionate mengikuti workshop, mengerjakan langkah demi langkah pengisian template marketing plan walaupun pengerjaan itu sarat memeras otak. Nah, kemarin malam saat menerima hasil dokumen marketing plan yang mereka kirimkan, sekali lagi saya trenyuh melihat keseriusan mereka mengerjakan dokumen tersebut. Bahkan saya mendengar beberapa dari mereka secara khusus berkumpul sampai larut malam (hehehe.. kayak belajar kelompok aja) untuk mengerjakannya secara bersama-sama.

Sekonyong-konyong optimisme saya membuncah. Sajurus kemudian hati saya bergumam, “Kalau saja seluruh pelaku UKM kita memiliki great spirit dalam belajar macam ini, maka 1000% saya percaya mereka akan menjadi pilar ketangguhan ekonomi yang menjadikan Indonesia bangsa besar dan disegani bangsa lain.”

Capacity Building
Sekitar 80 teman-teman pelaku UKM yang mengikuti #kelasKetrampilan di atas adalah angkatan pertama dari sebuah program yang diusung Komunitas Memberi untuk mempersiapkan mereka menjadi pelaku UKM berkelas dunia. Ukuran boleh kecil, tapi mimpi harus raksasa. Modal boleh cekak, namun kemampuan manajemen harus berstandar global. Skala boleh liliput, namun brand yang dihasilkan harus berkelas dunia. Itulah kira-kira misi yang ingin diwujudkan komunitas ini. “Small is beautiful”. Untuk itulah diperlukan capacity building untuk membawa mereka menjadi berkelas dunia.

#KelasKetrampilan adalah salah satu upaya capacity building tersebut. Selain ketrampilan (skill) menyusun marketing plan, selama setahun penuh mereka akan digembleng untuk menguasai beragam kemampuan manajemen bisnis mulai dari branding, integrated marketing communications (IMC), human resource management, finance & accounting, customer service, sales management, menyusun standard operating procedure (SOP), hingga bagaimana memfranchise-kan bisnis mereka. Pokonya komplit A sampai Z, tapi customized untuk bisnis skala UKM. Dan materi yang diberikan adalah ketrampilan bisnis yang mengacu pada konsep-konsep manajemen kelas dunia.

Di samping #KelasKetrampilan, mereka juga bisa mengikuti #KelasPengetahuan yang diarahkan untuk mengasah pengetahuan (knowledge) mengenai praktek-praktek manajemen bisnis terbaru. Juga #KelasInspirasi yang bertujuan memberikan percik-percik inspirasi bisnis mengenai pengalaman perusahaan-perusahaan besar dalam mewujudkan capaian-capaian kelas dunia.

#KelasInspirasi ini fun karena biasanya berupa company visit perusahaan kelas dunia dan inspirational sharing dari CEO atau manajer perusahaan yang bersangkutan. Bulan Januari ini misalnya, kunjungan dilakukan di Inaco, produsen produk jelly dan nata de coco yang telah menjajah pasar Jepang, Australia, hingga USA. Tujuannya, tak lain adalah agar pelaku UKM “ketularan” seperti mereka memiliki global mindset. Walaupun usaha skala kecil, tapi pola pikir harus global, tidak boleh katak dalam tempurung.

Connecting the Dots
Kalau materi yang diberikan sudah berkelas dunia, maka tentu pengajarnya juga harus berkelas dunia. Caranya bagaimana? Nah di sinilah fungsi “connecting the dots” dari Komunitas Memberi diperlukan. Relawan komunitas ini mencoba menggerakkan para profesional dari perusahaan-perusahaan besar (baik nasional maupun global) yang memiliki kemampuan kelas dunia di bidang-bidang yang diajarkan di atas untuk mengajar.

Kebetulan untuk kelas marketing plan minggu lalu saya yang mengajar, untuk kelas-kelas berikutnya para relawan pengajar dari para profesional perusahaan-perusahaan hebat di negeri ini akan bergiliran mengajar. Melalui komunitas ini mereka diberi kesempatan untuk memberikan sumbangsihnya mengangkat kapasitas UKM Indonesia menjadi berkelas dunia.

Dengan open platform seperti ini maka akan terwujud mekanisme “yang besar memberi yang kecil”. Itu sebabnya kenapa komunitas ini diberi nama Komunitas Memberi. Indahnya, yang diberikan para profesional perusahaan besar kepada para pelaku UKM tersebut bukanlah uang atau fasilitas, tapi tiga hal yang saya sebut IPK: inspirasi (inspiration), pengetahuan (knowledge), dan ketrampilan (skill).

Saya berkeyakinan pemberian IPK dampaknya jauh lebih powerful ketimbang uang atau fasilitas. Kalau uang dan fasilitas bisa langsung habis begitu diberikan, tapi kalau IPK, sampai belasan bahkan puluhan tahun tak akan pernah habis bahkan terus beranak pinak. Saya berkeyakinan IPK-lah yang akan mengantarkan mereka menjadi world-class UKM.

Semua kelas-kelas capacity building di atas terselenggara secara ramping (lean) tanpa banyak birokrasi dan tanpa melibatkan dana besar, pendekatannya pun bottom-up. Bahkan ke-80 peserta di atas tak dipungut biaya sepeserpun untuk mendapatkan IPK yang bermanfaat bagi usaha mereka. Caranya gimana?

Untuk tempat pelatihan, Komunitas Memberi mengetuk hati perusahaan-perusahaan besar menyediakan ruangan-ruangan mereka. Untuk pengajar, mereka tidak dibayar sepeserpun. Sekali lagi, mereka mengajar sebagai bentuk sumbangsih untuk membesarkan UKM Indonesia, yang pahalanya seabrek jatuh dari Yang Di Atas. Sementara semua bentuk komunikasi dan penggalangan UKM dilakukan dengan blog dan media sosial yang gratis.. tisss.. tisss.

Pesantren
Saya bermimpi suatu saat Komunitas Memberi ini bisa menjadi “rumah belajar” bagi UKM kita di seluruh pelosok Tanah Air. Di situ mereka bisa belajar pengetahuan dan ketrampilan bisnis berkelas dunia. Di situ mereka bisa menemukan mentor-mentor kelas dunia yang bisa dimintai nasehat di tengah ketidaktahuan dan kegalauan mereka. Di situ mereka bisa membangun semangat (great spirit) dan ber-networking sesama mereka melalui platform komunitas.

Alangkah indahnya jika spirit yang melandasi rumah belajar ini adalah spirit cinta. Cinta pengajar kepada muridnya; cinta murid kepada pengajar; cinta relawan kepada pengajar-murid. Dan tentu saja cinta seluruh anggota komunitas ini (pengajar, murid, relawan) kepada Tanah Air Indonesia. Saya meyakini, dengan spirit cinta maka world-class UKM dalam jumlah besar bisa diwujudkan sehingga bisa menopang kejayaan negeri ini di kancah global.

Ujung-ujungnya, saya bermimpi komunitas ini menjadi Kawah Candradimuka bagi UKM-UKM kita dalam menempa kemampuannya menjadi world-class UKM. Tapi Kawah Candradimuka terlalu tinggi kali ya. Saya lebih senang menyebutnya: “Pesantren UKM” untuk mengasah kemampuan kelas dunia.

Jebakan Medioker

$
0
0

Inilah yang banyak terjadi. Anda ingin hebat di semua hal. Kualitas nomor satu, harga paling murah, servis bintang lima, pelayanan super cepat, bla.. bla.. bla!!!

Kalau betul Anda bisa semuanya maka yang terjadi kira-kira begini: kualitas Anda nomor 3; harga nggak murah-murah amat; servis so so… bagus nggak, jelek juga nggak; dan dari sisi kecepatan yang pasti layanan Anda bukan yang nomor satu.

Ujung-ujungnya produk Anda akan terjebak menjadi medioker alias produk rata-rata. Hebat nggak, tapi jelek juga nggak. Pasti Anda tak akan menjadi “The Great”, tapi juga bukan “The Bad”. Anda cukup puas dengan hanya menjadi “The Good”…  “The Mediocre”.

Trade-off
Ingat hukum alam: “you can’t be great at everything”. Kalau kualitas Anda nomor satu, maka bisa dipastikan harga yang bisa Anda tawarkan mahal. Ya, karena untuk menciptakan kualitas nomor satu Ada butuh ongkos untuk mewujudkannya, dan ongkos itu Anda bebankan ke konsumen. Itu sebabnya harga Anda tidak bisa murah. Selalu ada trade-off di antara keduanya.

Salah satu ciri pemain hebat adalah ia tak mau terjebak menjadi pemain medioker. Mereka tak mau terjebak untuk menjadi “hebat di SEMUA hal”. Mereka sadar, untuk berbeda mereka harus menjadi sangat hebat di satu atau dua hal, dengan konsekuensi buruk di hal-hal yang lain.

Excellence requires underperforming,” ujar Frances Frei, penulis buku hebat yang minggu ini sedang getol saya baca, Uncommon Service (HBSP, 2013). Intinya, Anda harus fokus mencapai kesempurnaan (excellence) di satu-dua hal yang konsumen betul-betul butuh. Dan di sisi lain, Anda harus legowo untuk berkinerja buruk di hal-hal lain yang konsumen tak begitu peduli. Itu kalau Anda tak mau terjebak menjadi medioker.

Fokus
Ambil contoh Soutwest Airlines yang di Asia model bisnisnya dijiplak habis oleh Air Asia. Maskapai penerbangan paling profitable di dunia ini sadar betul tak akan bisa hebat di semua hal. Karena itu ia memfokuskan diri di beberapa hal yang paling dibutuhkan target konsumennya. Apa itu? Yang paling utama adalah tiket murah dan tepat waktu… that’s it!

Untuk mencapai kesempurnaan layanan di dua hal tersebut maka Southwest harus merelakan hal-hal yang lain berkinerja buruk. Dalam hal sajian makanan-minuman, majalah atau film selama penerbangan, hingga airport lounge, kinerja Southwest bukan hanya buruk, bahkan ditiadakan sama sekali. Tujuannya satu, untuk menekan harga tiket hingga semurah mungkin.

Contoh lain IKEA. Gerai furnitur yang tahun ini bakal buka di Jakarta ini juga tahu persis bahwa ia tak akan bisa sempurna di semua hal. Ia sadar hanya bisa sempurna di satu-dua hal. Karena itu IKEA fokus hanya di beberapa atribut dimana ia berkinerja sempurna, yaitu: furnitur yang terjangkau, simple, dan fun karena konsumen bisa merakitnya sendiri (untuk berbagai varian model) tanpa bantuan tukang kayu.

Untuk bisa sempurna di atribut-atribut tersebut IKEA harus legowo untuk berkinerja buruk di atribut yang lain yang memang tidak ia fokuskan seperti: keawetan hingga bertahun-tahun (durability), sales assistance, lokasi gerai, dsb.

Impossible Triangle
Dalam industri konstruksi (membangun gedung, jembatan, dsb) dikenal apa yang disebut “segitiga kemustahilan” (“impossible triangle”). Sesuai namanya, segitiga ini mengandung tiga atribut yang saling trade-off satu sama lain, yaitu: kecepatan, kualitas, dan biaya.

Jika Anda membangun gedung, maka Anda bisa mencapai kualitas nomor satu, kecepatan super tinggi, tapi dengan konsekuensi harganya akan mahal. Ketika Anda mengharapkan gedung terbangun super cepat, dan harga semurah mungkin, maka konsekuensinya kualitas akan terkorbankan. Intinya, dari ketiga atribut itu Anda tidak akan mungkin mendapatkan ketiga-tiganya sekaligus.

Sengaja saya menggunakan ilustrasi “segitiga kemustahilan” untuk menunjukkan bahwa Anda tak boleh serakah memenangi semua atribut. Fokuslah di atribut-atribut tertentu dimana Anda excellent, dan lupakan yang lain. Percaya saya, ketika Anda serakah maka Anda akan gampang masuk dalam lubang jebakan medioker. Anda akan menjadi pemain rata-rata.

Ketika MacBook Air ingin excellent di ketipisan dan keringanan, maka ia legowo untuk jeblok di kapasitas memori. Ketika Volvo ingin excelent di keamanan berkendara, maka ia legowo untuk jeblok di desain yang sporty. Ketika Zara ingin excelent di fesyen yang trendy (model berubah cepat) dan harga terjangkau, maka ia legowo untuk jeblok di sisi keawetan bahan.

Dari pengalaman lebih dari 15 tahun membantu strategi perusahaan, bagian tersulit pekerjaan saya bukanlah mendorong klien untuk mencapai excellence, tapi justru meyakinkan mereka agar legowo untuk underperform.

Intinya Anda harus legowo agar tidak menjadi medioker.

#KelasInspirasi: Membedah “Garuda Indonesia Experience”

$
0
0

Dalam buku Beat the Giant, saya memasukkan Garuda Indonesia sebagai apa yang saya sebut “National Champion”. Kenapa? Karena Garuda menggunakan keunikan lokal sebagai senjata pamungkas untuk melawan raksasa global. Apa itu? “Pengalaman khas Indonesia yang tak terlupakan” atau secara singkat dikenal sebagai “Garuda Indonesia Experience”.

Konsep layanan unik yang oleh Garuda disebut sebagai “a new concept of service designed to allow passengers to experience Indonesia at its best” ini menjadi core differentiation bagi flag carrier ini dalam melanglang buana di pasar global. Konsep ini menyentuh 5 sense (sight, sound, scent, taste, and touch) dan 24 customer touch points (mulai dari pre-journey, pre-flight, post flight, hingga post-journey).

Photo source: Garuda Indonesia

Gampangnya, ketika Anda terbang bersama Garuda maka Anda akan disuguhi pengalaman khas Indonesia: sapa dan senyum khas Indonesia, makanan khas Indonesia, lagu daerah khas Indonesia dengan aransemen mutakhir Addie MS, dan sentuhan khas Indonesia. Dengan jurus ini Garuda sekaligus melakukan country branding, “menjual” keunikan Indonesia ke masyarakat dunia. Sebuah strategi branding yang tak hanya smart, tapi juga mulia.

Untuk temen-temen pelaku UKM, ini merupakan kesempatan emas belajar dari satu national brand hebat yang cerdas memanfaatkan kekayaan unik Nusantara sebagai senjata untuk menembus pasar global. Ingat temen-temen UKM, skala bisnis boleh kecil, tapi mimpi harus besuaarrr dan konsep/strategi harus kelas dunia!!! Untuk itu kita harus belajar dari perusahaan yang hebat seperti Garuda Indonesia.

Yuk pada datang ke markas Garuda Indonesia di Cengkareng untuk mendengarkan konsep layanan kelas dunia langsung dari arsiteknya Pak Faik Fahmi, Direktur Layanan Garuda Indonesia. Mari banjiri #KelasInspirasi Komunitas Memberi (www.memberi.org) pada:

Tanggal: Senin, 24 Februari 2014, 10.00-15.00 WIB
Tempat: Kantor Pusat Garuda Indonesia, Cengkareng
Tema: Membedah “Garuda Indonesia Experience”
Pembicara: Faik Fahmi, Direktur Layanan, Garuda Indonesia

Yang special, sebelum kita mendengar insightful sharing session dari pak Faik, kita diajak jalan-jalan di GMF (Garuda Maintenance Facility) dan ACS (Aerowisata Catering Service) untuk memahami seluk-beluk layanan penerbangan. “Wow… will be a priceless experience!!!”

Yuk datang… gratis!!! Silahkan temen-temen email ke: info@memberi.org untuk mendaftar. Buruan ya, karena tempat terbatas.

MemberiID #GoesToNusantara

$
0
0

Hingga saat ini #KelasInspirasi, #KelasPengetahuan, dan #KelasKeterampilan Komunitas Memberi (@memberiID) terbatas hanya dilaksanakan di Jakarta. Ya, sebabnya karena sumber daya yang masih terbatas, baik dari sisi pengajar, personil, maupun fasilitas pendukung. Namun, permintaan kelas dari seluruh penjuru Tanah Air mengalir deras. Mereka juga pengin kelas-kelas tersebut diadakan di luar Jakarta.

Saya pikir bener juga. Mosok #UKMgoGlobal hanya monopoli Jakarta. Boleh juga donk pelaku UKM dari berbagai kota lain meng-upgrade kapasitasnya agar mampu building brand berkelas dunia. Justru UKM-UKM dari kota-kota dengan SDM kreatif seperti Bandung, Yogya, atau Malang yang harusnya ditempa kemampuan branding-nya.

Nah, karena alasan itu, temen-temen relawan Komunitas Memberi kemudian mengusung program MemberiID #GoesToNusantara. Dalam program ini kita akan menggelar #KelasKeterampilan berupa workshop satu hari penuh bertajuk “Branding for UKM” yang langsung saya bawakan bersama tim, plus #KelasInspirasi berupa sesi “company visit & sharing” di berbagai kota yang dikunjungi.

Roadshow MemberiID #GoesToNusantara akan dimulai di Bandung 22 Februari 2014 yang kemudian berlanjut ke kota-kota:

- Denpasar, 15 Maret
- Surabaya, 12 April
- Yogyakarta, 17 Mei
- Malang, 14 Juni

Kota-kota lain, termasuk di luar Jawa, akan segera menyusul.

Temen-temen para para UKMers dari berbagai kota tersebut, silahkan daftar mulai sekarang ke blog: www.memberi.org. Cepetan ya, karena untuk setiap #KelasKeterampilan hanya akan dipilih sebanyak 40 peserta dan UKM yang mereka kelola minimal harus sudah beroperasi selam 3 tahun. Sementara untuk #KelasInspirasi siapapun boleh ikutan, tidak dibatasi.

Anyway, seperti biasa, #KelasKetrampilan dan #KelasInspirasi ini gratisss.. tisss… tisss… ya

CSV

$
0
0

Tak bisa disangkal lagi bahwa bisnis merupakan salah satu biang dari kian kurusnya bumi dan turunnya kualitas lingkungan; musabab segepok problem sosial dari kesehatan, pendidikan, hingga korupsi; juga kontributor persoalan-persoalan ekonomi dari kemiskinan hingga ketidakberdayaan masyarakat tertinggal.

Coba saja lihat “dosa-dosa” dunia bisnis. Yang bisnis minyak dan batu bara menguras kekayaan dari dalam bumi tanpa mengenal ampun. Yang bisnis rokok dan minuman bersoda menjadi biang kompleksitas masalah kesehatan. Yang bisnis properti membabi-buta membangun gedung dan perumahan yang menjadikan Jakarta tenggelam. Yang bisnis mobil-motor memicu kemacetan dan polusi yang bikin stres semua orang.

Ketika kini persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan merajalela di masyarakat, maka bisnis tak bisa cuci tangan menganggap semua persoalan itu adalah tanggung jawab pemerintah atau LSM. Bisnis haruslah menempatkannya di jantung operasinya: menjadi core activity-nya, bukan sekedar lipstik berkedok corporate responsibility.

Bahkan bisnis harus menjadikan pemecahan persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan sebagai “reason for being” dari operasinya. Kalau bisnis tak mampu memberi solusi bagi masyarakat lingkungannya, maka tak selayaknya ia hidup.

Saya berani mengatakan “by default, business must be an economic, social, and environmental problem solver.” Ini haruslah menjadi “Pancasila”-nya setiap pelaku bisnis. Kemalangan terbesar pelaku bisnis jika ia selfish mengeruk keuntungan tanpa mau tahu bahwa kemiskinan, kriminalitas, korupsi, degradasi lingkungan menjadi kanker mematikan di masyarakat lingkungannya. Kini bisnis tak bisa hidup di ruang vakum, ia harus peduli.

Meminjam ungkapan dalam Islam, bisnis haruslah mejadi “rahmatan lil alamin”, menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia; rahmat bagi sekalian alam.

CSV
Saya bungah luar biasa membaca artikel dari “mbahnya strategi” Michael Porter di Harvard Business Review berjudul “Creating Shared Value” tiga tahun lalu. Beberapa hari ini artikel tersebut saya baca-baca kembali karena kebetulan ada project assignment ke klien, dan sekali lagi saya bungah. Kenapa?

Ya, karena apa yang saya pikirkan bertahun-tahun mengenai redefenisi peran bisnis yang tak hanya sekedar economic animal dan profit-making entity rupanya juga dipikirkan dan dikaji oleh mbahnya strategi sekelas Michael Porter. Saya pun berandai-andai, ketika seorang Michael Porter saja sudah merumuskan peran mulia bisnis, maka saya berharap itu menjadi global movement, menjadi semangat jaman.

Creating Shared Value (CSV) adalah sebuah konsep yang mengharuskan perusahaan memainkan peran ganda menciptakan nilai ekonomi (economic value) dan nilai sosial (social value) secara bersama-sama (shared), tanpa salah satu diutamakan atau dikesampingkan. Memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan ekonomi, sosial, dan lingkungan bukanlah pekerjaan sampingan, tapi haruslah embedded di dalam jantung strategi perusahaan. Bukan sekedar lipstik.

The Body Shop menampung hasil petani di negara berkembang (community trade) bukanlah sekedar lipstik, tapi sudah menjadi jantung strateginya. Grameen Bank mengentaskan kaum papa melalui pembiayaan mikro bukanlah lipstik, tapi sudah menjadi core strategy-nya. Toms Shoes membagikan sepasang sepatu untuk anak-anak miskin di Brazil bukanlah sekedar lipstik, tapi sudah menjadi reason for being bagi keberadaannya.

Bukan CSR
CSV bukanlah CSR (corporate social responsibility). Praktek yang umum berlangsung hingga saat ini, CSR diarahkan untuk menciptakan citra dan reputasi perusahaan agar kinclong bersinar. Celakanya, banyak perusahaan-perusahaan yang sesungguhnya tidak kinclong dipoles sedemikian rupa hingga terlihat kinclong. Banyak perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan, merusak kesehatan masyarakat, atau menjadi biang persoalan sosial, menutupinya dengan kedok corporate responsibility, philantrophy, atau sustainability.

CSV sebaliknya, dilaksanakan dengan niatan mulia untuk memecahkan persoalan-persoalan sosial yang selaras dengan upaya untuk menghasilkan profit. Kata Porter, “companies can create economic value by creating societal value”. Jadi penyelesaian persoalan sosial tidak ditempatkan sebagai aktivitas sampingan, tapi dilaksanakan sepenuh hati sebagai bagian dari misi dan eksistensi perusahaan.

Praktek CSR yang selama ini masih banyak terjadi adalah, perusahaan menyisihkan sebagian kecil dari profitnya (2-5%) untuk membantu bencana gempa atau banjir, memberdayakan UKM (di BUMN melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan: PKBL), atau menyelenggarakan beragam award di bidang sosial-kemasyarakatan yang menyentuh kalbu.

Nah, yang penting bagi perusahaan bukanlah kegiatan-kegiatan itu dan bagaimana kegiatan itu menghasilkan solusi terhadap persoalan sosial. Yang terpenting justru liputan dan foto-foto kegiatan tersebut terpampang di halaman-halaman advertorial koran. Tujuannya jelas untuk membagun corporate image tadi. Dengan polesan di sana-sini, maka borok-borok dan bisul-bisul pun wes ewesss ewess.. bablasss. CSV tidak selfish macam begini.

Bisnis di Indonesia harus mulai berbuat baik (“do good”) dan menebar kebaikan (“spreading goodness”). Berbuat baik bukan hasil dari polesan dan kepura-puraan; tapi yang betul-betul authentic dan muncul dari nurani yang paling dalam. Demi kebaikan Indonesia, demi kejayaan Indonesia.

Itu artinya… bisnis di Indonesia harus mulai meredefinisi aktivitas CSR menjadi CSV.

Global Talent

$
0
0

Selama enam bulan terakhir ini saya konsentrasi melakukan riset untuk penulisan buku terbaru Crafting Global Talents mengenai upaya Telkom melakukan go global. Upaya ini ditandai oleh dua mega program yaitu Internasional Expansion (disingkat InEx) dan Global Talent Program (disingkat GTP). Yang terakhir ini adalah sebuah program mencetak SDM berkualifikasi kelas dunia (global talent) melalui job assignment selama 3 bulan di luar negeri untuk mendapatkan global exposure dan global experience.

Insya Allah buku ini terbit akhir bulan Februari ini. Seperti biasa, setiap kali buku mau “keluar dari kandungan”, saya selalu memberikan bocoran untuk dibagikan ke teman-teman pembaca.

Ambisius
InEx dan GTP punya posisi sangat istimewa dalam sejarah perjalanan bisnis Telkom. Kenapa? Karena inilah untuk pertama kalinya BUMN papan atas ini membesut inisiatif go global secara super serius, super ambisius, dan super besar. Upaya go global ini kini menjadi inisiatif utama (disebut “Mahakarya untuk Indonesia”) dimana pak Arief Yahya sebagai CEO langsung pegang kendali menjadi komandan lapangan memimpin prajuritnya. Mimpinya tak kecil, untuk menjadi “leading TIMES (telecommunication, information, media, edutainment, services) player in the region”.

Mau tahu betapa ambisiusnya gebrakan ini? Ambil contoh sepanjang tahun 2013, Telkom secara ambisius menetapkan 10 footprints (negara target) untuk dimasuki yaitu: Singapura, Hong Kong, Malaysia, Timor Leste, Myanmar, Australia, Korea Selatan, Macau, dan Arab Saudi. Di 10 negara tersebut Telkom mulai menancapkan tonggak bisnisnya untuk bisa mencuri pangsa pasar di pasar TIMES yang lukratif.

Di Hong Kong dan Malaysia misalnya, Telkom konfiden melenggang dengan bisnis mobile virtual network operator (MVNO). Di Timor Leste Telkomsel (anak perusahaan Telkom) siap meraup ranumnya bisnis seluler di negara yang pernah menjadi provinsi NKRI ini melalui keunggulan infrastruktur jaringan. Atau di Australia Telkom mulai merintis solusi business process outsorcing (BPO) seperti call center atau document management yang sangat kompetitif.

Itu dari sisi negara yang dimasuki. Di sisi global talent yang dicetak, capaiannya lebih fantastis lagi. Dalam kurun waktu hanya satu tahun sepanjang 2013 kemarin GTP berhasil mencetak SDM “global ready” dalam jumlah yang fantastis, yaitu 1000 orang. 1000 orang itu bergiliran bekerja membuka pasar, merintis operasi bisnis, menjual untuk mendapatkan pelanggan, dsb selama masing-masing 3 di 10 footprints negara yang telah di tetapkan di atas.

Mencetak 1000 global talent dalam setahun itu bukan pekerjaan gampang lho. Coba saja hitung, dalam setahun ada 365 hari. Itu artinya dalam satu hari Telkom harus mencetak hampir 3 orang global talents. Atau kalau mau dihitung dalam sebulan, setidaknya harus mencetak hampir 100 orang. Harap diketahui, untuk bisa berangkat mengikuti GTP, mereka harus melakukan pengajuan diri, menjalani proses assessment, mengikuti seleksi, dan akhirnya melakukan pembekalan sebelum mereka siap berangkat melakukan job assignment ke luar negeri.

Follow People… Follow Money
Satu hal yang menurut saya paling menarik dari upaya go global yang dilakukan Telkom adalah dalam hal strategi masuk (entry strategy) ke negara target. Di Telkom dikenal dua entry strategy utama. Pak AY, demikian Arief Yahya biasa dipanggil, menyebutnya dengan strategi “business follow the people” dan “business follow the money”.

Intinya, kalau strategi yang pertama Telkom menyasar negara-negara dimana cukup banyak orang Indonesia seperti Malaysia, Hong Kong, atau Arab Saudi. Sementara strategi kedua, Telkom menyasar negara-negara yang banyak uangnya, terutama karena tingkat kemakmuran mereka jauh lebih tinggi seperti Australia atau Amerika.

Dalam pendekatan “business follow the people”, di negara tujuan terdapat komunitas Indonesian yang jumlahnya signifikan atau komunitas tersebut interaksinya sangat intens dengan orang-orang di Indonesia. Di Hong Kong misalnya, sebagian besar pasar yang digarap adalah para buruh migran Indonesia serta para turis/pengunjung dari Indonesia yang jumlah totalnya mencapai 200-an ribu orang.

Di negara pulau ini pada akhir tahun 2013 ini pelanggan seluler Telkomsel ditargetkan mencapai 100 ribu pelanggan dengan ARPU (average revenue per user) cukup besar sekitar 20 USD. Para buruh migran dan turis/pengunjung yang intens berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia ini merupakan peluang luar biasa yang ditangkap dengan pendekatan “business follow the people”.

Sementara strategi “business folow the money” memanfaatkan perbedaan tingkat kemakmuran dan nilai tukar yang menjadi basis keunggulan komparatif bagi layanan Telkom di negara terget. Ambil contoh di Australia. Negeri kanguru ini kemakmurannya kira-kira 10 kali lipatnya Indonesia. Pendapatan per kapitanya sekitar AUD 52 ribu sementara Indonesia AUD 3 ribu. Pendapatan per kapita Australia 14 kali lipat dibandingkan Indonesia, begitupun harga-harga di Australia berkisar 10 kali lipat di Indonesia.

Perbedaan kurs ini tentu saja memberikan peluang luar biasa bagi Telkom. Jika Telkom bisa memberikan layanan dengan standard yang sama di Australia tetapi dengan harga yang lebih murah dengan memanfaatkan perbedaan kurs ini, maka layanan tersebut akan sangat kompetitif.  Strategi “cost leadership” seperti ini tepat untuk menjalankan pendekatan “business follow the money” di pasar Australia.

Global Chaser
Selama enam bulan terakhir ini saya passionate betul menulis buku ini. Kenapa? Karena saya sangat berharap apa yang saya tulis mengenai rintisan go global Telkom ini bisa menjaid role model bagi perusahaan lain di Indonesia. Dengan demikian, apa-apa yang dilakukan Telkom bisa menjadi pembelajaran bagi perusahaan lain di Indonesia.

Tahun lalu saya menulis buku Beat the Giant mengenai upaya merek-merek lokal mencapai kapasitas kelas dunia. Dalam buku tersebut saya menyebut Telkom sebagai Global Chaser, yaitu pemain yang berjaya membangun merek di pasar internasional. Memang banyak merek Indonesia yang sudah menembus pasar dunia, tapi tak banyak yang melakukannya dengan menyiapkan SDM seserius Telkom. Umumnya mereka hanya fokus kepada ekspor, distribusi, pemasaran, atau paling banter produksi. Jarang dari mereka yang super serius menyiapkan dan menggarap SDM berkelas dunia.

Harus diingat, sukses jangka panjang Global Chaser tak hanya menyangkut operasi dan pemasaran semata. Yang utama dan pertama justru adalah SDM. Persis seperti yang dibilang Jim Collins, pakar strategi, yang mengatakan: “first who, then what”. Bangun global talent terlebih dahulu, baru kemudian strategi, operasi, pemasaran, dan sebagainya.


Pengantar Diskusi Garuda Indonesia

$
0
0

Event: #KelasInspirasi @memberiID visit to Garuda Indonesia
Tanggal: Senin, 24 Februari 2014, 08.30 -12.00 WIB (jam berubah lho..)
Tempat: Garuda Indonesia HQ dan Garuda Maintenance Facility (GMF)
Tema: Membedah “Garuda Indonesia Experience”
Pembicara: Faik Fahmi, Direktur Layanan, Garuda Indonesia (Moderator Yuswohady)

Kalau Anda mau belajar customer service, belajarlah di hotel dan airlines. Ya, karena dua industri ini berada di “cutting edge” begitu kita bicara customer service dan hal-ihwal menciptakan delight customer experience.

Di dua industri ini setiap titik persentuhan dengan konsumen (touch point) digarap secara super serius dan super detail sehingga mampu menciptakan memorable experience bagi si konsumen. Nah, temen-temen, bulan ini kita mendapatkan kesempatan emas bertatah belian untuk belajar customer service dan customer experience dari salah satu airline terbaik di dunia, Garuda Indonesia.

Nah, sekelumit postingan ini sengaja saya tulis untuk mengantar diskusi dengan pak Faik Fahmi yang secara langsung “turun gunung” memberikan memorable sharing.

Konsep layanan Garuda Indonesia yang unik, authentic, dan sangat Indonesia ini dikenal luas sebagai “Garuda Indonesia Experience”. Konsep layanan kelas dunia ini oleh Garuda Indonesia dikatakan sebagai “a new concept of service designed to allow passengers to experience Indonesia at its best.” Prinsipnya, konsep layanan baru ini mencoba menyentuh panca indera kita (five sense: sight, sound, scent, taste, touch) dan 24 customer touch points (mulai dari pre-journey, pre-flight, post flight, hingga post-journey) untuk menciptakan memorable customer experience..

Gampangnya, ketika Anda terbang bersama Garuda maka Anda akan disuguhi pengalaman khas Indonesia: sapa dan senyum khas Indonesia, makanan khas Indonesia, lagu daerah khas Indonesia dengan aransemen mutakhir Adi MS, sentuhan khas Indonesia. Dengan langkah ini Garuda sekaligus melakukan country branding “menjual” keunikan Indonesia ke masyarakat dunia. Sebuah strategi branding yang tak hanya smart, tapi juga mulia.

Gambaran konsep “Garuda Indonesia Experience” bisa dilihat di sini: Garuda Indonesia Experience Concept

Konsep “Garuda Indonesia Experience” memang menarik dikupas, tapi yang membuat saya justru paling penasaran adalah layanan First Class yang diluncurkan awal September tahun lalu. Layanan pre-flight, in-flight, dan post-flight di pesawat baru Boeing 777-300ER ini menghebohkan karena memiliki standar melebihi layanan hotel bintang 5.

Berbagai layanannya yang luar biasa mulai dari layanan penjemputan menggunakan limousine, special assistance yang selalu melayani dengan hati, New First Class Lounge di bandara Soetta, 8 First Class suite yang mewah abis, personalised fine-dining dengan chef spesial di pesawat,  in-flight entertainment system, hingga akses internet di ketinggian 10.000 kaki (via GSM dan WiFi), semuanya merupakan salah satu paket layanan first class terbaik di dunia saat ini. Nggak gampang lho membesut layanan kelas wahid macam ini.

Gambaran layanan First Class Garuda Indonesia bisa dilihat di sini: “The First Class Experience with Garuda

Kunjungan Memberian ke Garuda Indonesia menjadi istimewa, karena penjelasan mengenai seluruh konsep layanan Garuda Indonesia di atas akan dipaparkan sendiri oleh Pak Faik Fahmi, Direktur Layanan, yang mengarsiteki keseluruhan konsep layanan kelas dunia Garuda Indonesia.

Saya kira cukup segitu aja pengantar saya ya, lumayan untuk bahan diskusi dengan Pak Faik. Ingat, jangan sampai sedetik pun momen terlewat, jangan lupa untuk sebanyak mungkin tanya, gunakan kiat aji mumpung… kwkwkwkk… “ini ilmu maaaan!!!”

Untuk teknis acara, paparan Pak Faik akan dimulai pukul 08.30 (pagi amiiir, yang Depok dan Bekasi pusing deh.. kwkwkwkkk), dilanjutkan field visit ke Garuda Maintenance Facilities (GMF) sekitar pukul 10.30, dan kemudian ditutup dengan makan siang berakhir sekitar pukul 13.00. Mohon maaf temen-temen, jadwal bergeser pagi, karena Pak Fak harus mengikuti rapat bersama direksi lain siangnya.

Temen-temen yang butuh tebengan ke Cengkareng bisa terus pantau @memberiID dan www.memberi.org, nanti akan diinfokan posisi-posisi mobil yang bisa ditebengi dari berbagai wilayah Jakarta.

Woow, yang daftar udah hampir 200 orang! Yuk UKMers.. belajaaaaar!!!!

Alamat Garuda Indonesia:
Management Building, Garuda City
Bandara Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng 19120
Telp: (021) 5591 5671

Personal Branding Keblinger

$
0
0

Beberapa bulan terakhir saya sering mual-mual menyaksikan polah-tingkah para caleg dan capres kita yang neko-neko untuk memenangkan kursi kekuasaan baik di DPR maupun pemerintahan. Di koran-koran, di TV-TV, di jalan-jalan, di gang-gang kampung kumuh, para caleg/capres ini berebut kavling untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat pemilih.

Di spanduk-spanduk dan baliho-baliho senyum mereka menyeringai. Mengepalkan tangan menyuarakan panji-panji kebajikan: “Berantas korupsi!!! Enyahkan kemiskinan!!! Galang persatuan!!!” Di TV-TV mereka layaknya malaikat: meyambangi kaum papa, berorasi mengenai kejujuran dan kemuliaan, menyuarakan hati bening dan keikhlasan. Di tengah banjir Jakarta mereka mengulurkan tangan dan menyumbang. Sungguh segepok kebajikan yang membikin perut awak mual.

Itulah polah-tingkah caleg/capres kita yang sedang show of force melakukan personal branding. Personal branding ketika dilakukan secara elegan, rendah hati, dan otentik akan membikin hati ini klepek-klepek. Tapi sebaliknya, jika dilakukan secara selfish, vulgar, congkak, tak tahu diri, nir-empatik, ahistoris, penuh kepalsuan, merusak pandangan, dst-dst.. bukannya membikin hati awak trenyuh, justru sebaliknya bersimbah muntah.

Saya menyebutnya personal branding keblinger. Kenapa keblinger? Yuk kita cek satu-persatu.

Keblinger #1: Aji Mumpung
Mumpung terkenal, mumpung artis, mumpung pengusaha banyak duit, mumpung anak gubernur, mumpung keponakan bupati, sekaranglah saatnya untuk menimbun kekuasaan. Mereka berpikir, amanah menjadi pemimpin dan mewakili masyarakat bisa dituntaskan dengan secuil ketenaran, keartisan, kekayaan, dan kedekatan dengan pejabat.

Saya sedih luar biasa saat menyaksikan sebuah acara talk show di TV yang menampilkan wawancara dengan seorang caleg penyanyi dangdut yang molek nan tenar. Saya sedih karena si penyanyi belepotan menjawab pertanyaan si host karena memang sama sekali tak menguasai persoalan. Ditanya serius malah kayak kethek ketulup, nggak mengerti apa-apa. Kalau si caleg nggak ngerti macam begini, bagaimana bisa dia mengemban amanah mewakili dan memperjuangkan kepentingan konstituennya.

Inilah sumber dari semua keblingeran personal branding caleg/capres. Ingat, personal branding bukanlah masalah tebar pesona, bukan sekedar masalah kepiawaian komunikasi dan bersilat-lidah, bukan sekedar kemampuan memasang sejuta spanduk dan iklan di TV-TV. Justru yang paling esensi adalah kualitas personal dan kapabilitas si caleg/capres. Itulah “jualan” utama caleg/capres.

Jeruk busuk akan tetap mencelakakan perut walaupun dikemas dan dijual di supermarket super mewah. “Content” (kualitas personal dan kapabilitas) tetap yang utama dibanding “context” (tampilan, komunikasi, pencitraan).

Keblinger #2: Pencitraan
Membangun personal branding bukanlah menciptakan pencitraan. Pencitraan boleh-boleh saja sejauh citra yang dibangun tersebut sesuai dengan aslinya. Pencitraan menjadi pamali ketika ia menjadi alat untuk menutupi bopeng-bopeng agar terlihat kinclong. Ketika si caleg/capres bodoh minta ampun tapi kemudian dicitrakan secerdas Einstein, itu pamali. Ketika si caleg/capres maling kelas kakap tapi kemudian dicitrakan malaikat, itu pamali.

Memang personal branding memberi janji, tapi janji bukan asal janji, janji yang harus dipenuhi. Begitu janji tak terpenuhi, maka dengan sendirinya personal brand Anda akan busuk, yang baunya menyengat ke mana-mana. Esensi personal branding adalah integrity, yaitu satunya kata dan perbuatan. Rohnya personal branding adalah authenticity, yaitu setali tiga uang antara permukaan dengan lubuk hati yang paling dalam.

Nah, dalam amatan saya, mohon ampun kalau saya salah, potret personal branding dari sebagian besar caleg/capres kita masih amat jauh memenuhi prinsip integrity dan authenticity tersebut. Itu sebabnya saya sebut personal branding mereka keblinger.

Keblinger #3: Kerja Instan
Lebih celaka lagi, kebanyakan caleg/capres kita melihat personal branding sebagai hasil kerja 3-6 bulan menjelang pencoblosan. Tak penting itu track record dan reputasi yang harus dibangun bertahun-tahun sebelumnya; tak penting itu kompetensi yang harus dikembangkan bertahun-tahun sebelumnya; tak penting itu kepekaan nurani yang harus dipupuk bertahun-tahun sebelumnya. Mereka berpikir bahwa personal branding adalah kerja all out selama 3-6 bulan untuk menggeber spanduk, baliho, atau menempel stiker di bajaj-bajaj Tanah Abang.

Mereka lupa bahwa sosok pemimpin dan wakil rakyat memerlukan kapabilitas, kematangan, dan kearifan yang terbangun melalui olah rasio dan rasa selama bertahun-tahun sebelumnya. Sama halnya dengan bagaimana dokter atau insinyur membangun ekspertis selama bertahun-tahun sebelumnya. Harus diingat, meluluskan KUHP baru di DPR atau menyelesaikan masalah banjir Jakarta bukanlah pekerjaan sepele, dibutuhakan kualitas personal mumpuni, yang terbangun melalui kerja keras belasan-pluhan tahun. Personal branding caleg/capres bukanlah sekedar pekerjaan membalik telapak tangan.

****
Kalau saya membeli mobil atau televisi, tapi setelah saya pakai beberapa waktu mobil dan televisi itu ternyata rongsokan tak sesuai janjinya, maka dengan mudah saya bisa mengembalikannya. Atau kalaupun tak boleh kembali, saya bisa menjualnya ke orang lain, syukur-syukur harganya masih tinggi. Tapi kalau kita sudah “membeli” pemimpin atau wakil kita di DPR saat Pemilu, ternyata si pemimpin dan wakil rakyat itu “rongsokan” alias tak serupa antara apa yang mereka omongkan dan janjikan dengan kenyataan, maka tentu saja kita tak bisa dengan mudah “mengembalikannya”.

Kerugian yang ditumbulkan dari “salah beli” pemimpin dan wakil rakyat tersebut demikian besar. Kalau sampai mereka blunder mengeluarkan kebijakan, atau mereka melakukan kejahatan besar mengorupsi uang rakyat, maka dampak sistemiknya bisa sampai ke tujuh turunan. Dalam hal korupsi, bahkan dampaknya tak hanya sebatas rugi materiil, tapi juga rusaknya akhlak dan moral hingga ke anak-cucu.

Karena itu personal branding caleg/capres bukanlah pekerjaan gampang. Tak hanya butuh kecemerlangan pikiran dan kerja keras bertahun-tahun, tapi juga kebeningan nurani.

Service Is about Detail

$
0
0

Hari Senin (25/2) lalu saya bersama hampir 200 teman-teman entrepreneur di Komunitas Memberi (@memberiID) mendapat kesempatan emas berkunjung di Garuda Indonesia. Kesempatan emas, karena kami disambut khusus oleh pak Faik Fahmi, Direktur Layanan, yang menjadi master mind di balik inisiatif servis kelas dunia yang diusung flagship carrier kebanggaan Indonesia ini.

Teman-teman entrepreneur begitu takjub mendengar paparan Pak Faik mengenai New Service Concept Garuda Indonesia. Maka saya pun kemudian mendapatkan cerita-cerita inspiring dari tangan pertama mengenai bagaimana Garuda mengusung servisnya. Yang paling menarik tentu adalah konsep “Garuda Indonesia Experience” dan layanan First Class yang relaunch tahun lalu setelah sempat absen selama 18 tahun.

Menyimak paparan pak Faik mengenai servis kelas dunia ala Garuda, entah kenapa dada ini terasa meledak-ledak. Sekonyong-konyong menyeruak kebanggaan atas karya anak negeRI. Saya bangga bahwa bangsa ini rupanya bukan hanya bisa membikin tahu-tempe, tapi juga meracik sebuan mahakarya layanan berkelas dunia yang laku keras di pasar mancanegara. Ya, karena layanan Garuda saat ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia.

Branded Service
Ada dua pelajaran servis yang saya dapat dari Pak Faik dan Garuda Indonesia. Pertama adalah bahwa servis, sepeti juga halnya produk, bisa di-branding menghasilkan unbeatable differentiation ketika diramu dengan cerdas. Bagaimana Garuda mem-branding servisnya? Ini yang menarik. Agar berbeda dari pesaing di seluruh dunia, Garuda menggunakan keunikan local wisdom dan budaya Indonesia yang eksotik.

Kekayaan budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke dijadikan sebagai penanda identitas merek (brand identity) Garuda sehingga sulit ditiru oleh pesaing manapun. Dengan begitu Garuda sekaligus menjalankan misi mulia melakukan branding terhadap Indonesia alias country branding. Kemanapun Garuda terbang di seluruh penjuru dunia, ia serta-merta menjalankan misi maha mulia mengharumkan nama Indonesia. Sebuah “two-in-one” strategy yang saya kira sangat cerdas.

Branded service yang dinamai “Garuda Indonesia Experience” itu oleh pak Faik disebut sebagai “a concept of service designed to allow passengers to experience Indonesia at its best”. Bagaimana bentuknya? Bentuknya dengan menyentuh lima panca indera penumpang (5 senses: sight, sound, scent, taste, touch) di 28 titik sentuh penumpang (customer touch points) selama mereka menikmati perjalanan bersama Garuda mulai dari pre-journey, pre-flight, post flight, hingga post-journey.

Gampangnya, ketika terbang bersama Garuda maka Anda akan disuguhi pengalaman khas Indonesia seperti sapa dan senyum ikhlas khas Indonesia (touch), kuliner khas Indonesia dari Sabang sampai Merauke (taste), lagu daerah khas Indonesia dengan aransemen mutakhir Addie MS (sound), juga tentu para pramugari cantik berbalut kebaya batik (sight).

Detail
Pelajaran kedua yang saya dapat adalah bahwa kunci dari sebuah service excellence, apapun bentuknya, adalah detail. Service excellence mustahil diwujudkan tanpa adanya attention to detail. Bahkan saya berani mengatakan bahwa “roh”-nya servis adalah attention to detail, ketelitian yang luar biasa. Dan karenanya orang servis mutlak harus memiliki budaya attention to detail.

Mengenai attention to detail, Pak Faik memberikan contoh yang sangat simpel tapi mengena ke ulu hati. “Di kabin First Class Garuda, bunyi sendok saja bisa menjadi masalah besar,” ujarnya. Lho kok bisa? Saat perjalanan pesawat tengah malam, ketika penumpang sedang terlelap tidur, penumpang First Class Garuda bisa complaint ketika si pramugari menimbulkan suara-suara yang bisa membangunkan tidur lelap mereka. Karena itu pramugari First Class memang dilatih memiliki kepekaan luar biasa agar tak sekecilpun mengeluarkan suara saat si penumpang super istimewa ini sedang terlelap tidur.

Mendadak sontak saya jadi teringat pengalaman kontras seminggu sebelumnya, saat saya makan di salah satu restoran waralaba lokal kondang yang menurut saya serampangan menjalankan servis. Selama setengah jam makan di restoran tersebut saya mendapatkan bad experience mulai dari wastafel yang jorok minta ampun, respons pesanan makanan yang lama, tampilan pelayan yang seadanya, hingga muka petugas kasir yang masam dan pelit senyum akibat beban kesibukan yang menghimpit.

Why not restoran tersebut tak bisa memberikan standar servis kelas dunia seperti halnya Garuda. Masalahnya sesungguhnya simpel. Pertama karena si pemilik restoran tak sungguh-sungguh dan tak memiliki sense of urgency untuk menciptakan service excellence. Ia berpikir, begitu makanan yang disajikan enak, semuanya akan beres. Kedua, ia tidak memiliki attention to detail dalam men-deliver servis. Ia masih punya mindset bahwa servis bisa dijalankan secara sembarangan. Mindset inilah yang harus diubah.

Dari ngobrol dengan teman-teman entrepreneurs yang umumnya pelaku usaha kecil/menengah, (UKM) saya menangkap keresahan di wajah mereka setelah mendengar paparan Pak Faik. Kenapa mereka resah? Karena mereka terkena shock therapy. Di dalam hati mereka malu bukan main sambil bergumam, “Garuda yang segedhe gajah aja begitu serius dan detail menjalankan servis, kami yang masih liliput serampangan melakukannya.”

Harap tahu saja, salah satu tujuan saya mendirikan Komunitas Memberi adalah memberikan shock therapy macam ini kepada UKMers di seluruh Tanah Air. Agar apa? Agar mereka bangun dari tidur panjang untuk menjadi perusahaan kelas dunia, seperti halnya Garuda.

Middle-Class Moslem

$
0
0

Bulan-bulan ini saya bareng tim di Inventure sedang sibuk-sibuknya menyiapkan sebuah research project mengenai perilaku konsumen kelas menengah muslim (middle-class moslem) di Indonesia. Very challenging! Kenapa? Karena, tak cuma potensinya yang luar biasa besar, tapi juga dinamika perubahannya beberapa tahun terakhir mencengangkan.

Bahkan saya berani mengatakan selama 5 tahu terakhir pasar middle-class moslem di Indonesia telah mengalami revolusi karena adanya pergeseran perilaku yang sangat mendasar. Tak heran jika kemudian pasarnya menggeliat dan marketer langsung pasang kuda-kuda untuk meraupnya. Berikut ini adalah catatan saya mengenai fenomena menggeliatnya pasar middle-class moslem  di Indonesia.

Boom Bank Syariah
Sejak pertama kali dirintis Bank Muamalat pada tahun 1991, bank syariah di Indonesia tumbuh luar biasa mencapai hampir 40% tiap tahunnya, jauh melebihi pertumbuhan bank konvensional yang tak sampai 20%. Memang penetrasinya belum mencapai 5% (total aset) dari total pasar perbankan, namun geliat perkembangannya sungguh menjanjikan. Hingga akhir 2013 setidaknya kita telah memiliki 11 bank umum syariah (BUS), 23 bank syariah dalam bentuk unit usaha syariah (UUS), dan 160 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Kantor cabangnya mencapai 2.925 dan telah menggaet sekitar 12 juta lebih akun nasabah dengan dana pihak ketiga (DPK) yang diraup mencapai lebih dari Rp 175 triliiun. Luar biasa!!!

Revolusi Hijabers
Saya kira belum sampai lima tahun “revolusi hijab” terjadi di Tanah Air. Mendadak berbusana hijab menjadi tren gaya hidup (fesyen, kosmetik, asesoris) yang menjalar bak virus ganas ke seluruh penjuru tanah air. Menariknya, tiba-tiba berhijab menjadi sesuatu yang cool, modern, trendy, techy, dan begitu diminati. Saya jadi ingat pagelaran puisi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) berjudul “Lautan Jilbab” di kampus UGM sekitar 30 tahun lalu (kala itu masih SMA). Waktu itu saya hanya bisa membayangkan, karena memang belum kejadian. Tapi kini “lautan jilbab” itu telah hadir di mana-mana: di jalan-jalan, di mal-mal, di seminar-seminar, di acara-acara TV. Betul-betul revolusi.

Kosmetik Muslim Kian Kinclong
Wardah adalah fenomena. Seiring dengan maraknya middle-class moslem dan revolusi hijabers, Wardah muncul sebagai pemain yang tiba-tiba menyeruak mencapai puncak sukses. Para pesaing “konvensional”-nya kebit-kebit karena takut kue pasarnya terpangkas. Iklannya di TV muncul hampir tiap hari. Brand ambassador-nya gonta-ganti (dari Inneke Koesherawati hingga Dewi Sandra). Varian produk dan subbrand-nya berkembang pesat. Sukses Wardah tak sepenuhnya karena kehebatan strategi. Sukses Wardah tak lepas dari rejeki nomplok yang muncul karena menggeliatnya pasar muslimah. Dalam waktu cepat pasar kosmetik muslimah ini bergeser dari niche (ceruk) menjadi mainstream (massal), dan Wardah beruntung bisa “menunggangi” pergeseran tersebut.

Rutin Berumroh, Why Not?
Meningkatnya daya beli middle-class moslem yang diikuti dengan murahnya biaya bepergian ke luar negeri (…thanks to budget airlines) membuat bepergian ke Tanah Suci menjadi demikian mudah dan terjangkau. Hasilnya gampang ditebak: industri travel religi (umroh, haji, wisata keagamaan) menggeliat menjadi bisnis menggiurkan. Saya kadang nggak habis pikir, di beberapa daerah kantong muslim seperti Jawa Timur, antrian haji bisa mencapai belasan tahun. Ya, karena yang mau berhaji meluap, sementara jatah dari pemerintah Arab Saudi tetap jalan di tempat. Rutin berumroh (tiga tahun sekali, bahkan setiap tahun) kini juga mulai banyak kita temui di kalangan keluarga muslim di Tanah Air.

Hotel Syariah Menjamur
Label syariah kini kian seksi. Apa-apa yang berlabel syariah kini kian diminati. Contohnya hotel. Dulu saya nggak kebayang, hotel kok syariah. Namun sejak beberapa tahun terakhir hotel model baru ini tumbuh pesat. Itu artinya, pasarnya ada dan bertumbuh. Diawali oleh Hotel Sofyan sebagai pionir yang beralih dari hotel konvensional menjadi hotel syariah sejak tahun 1994, hotel syariah kini menjamur mencapai populasi 50-100 hotel. Dulu konsep ini aneh, tapi kini sudah mulai diterima konsumen muslim. Mereka mengaku citra hotel syariah yang “bersih” dan bernuansa religius membuat konsumen mendapatkan kenyamanan sekaligus keimanan sebagai seorang muslim. Dan yang pasti hotel syariah diminati ibu-ibu yang kita tahu menguasai 80% pengeluaran rumah tangga.

Kegairahan Budaya Islam
Menggeliatnya pasar middle-class moslem juga tercermin dari tumbuh pesatnya apa yang saya sebut “produk-produk budaya bernuansa Islam” seperti buku atau novel bernuansa Islam, apps bernuansa Islam, film bernuansa Islam, musik bernuansa Islam, termasuk dakwah Islam. Novel dan film “Ayat-Ayat Cinta” menjadi trigger dari menggeliatnya pasar novel Islam di Indonesia. Di dunia dakwah kita juga menyaksikan kegairahan baru dimana para ustad bermunculan sebagai sosok yang down to earth, merakyat, modern, techy, bahkan gaul. Dimulai dari Aa Gym, kemudian beranak-pinak dari ustad Jefri hingga ustad Solmed.

Kewirausahaan Muslim
Kewirausahaan muslim adalah tren yang hot di tanah air beberapa tahun terakhir.  Driver-nya adalah komunitas-komunitas wirausahawan muslim yang menjamur di seluruh tanah air, salah satunya adalah Tangan Di Atas (TDA). Komunitas yang berdiri tahun 2006 ini kini telah hadir di hampir 50 kota dengan anggota milis mencapai puluhan ribu anggota. Tahun lalu saya diminta menjadi pembicara Wanita Wirausaha (Wanwir) Majalah Femina di berbagai kota. Saya surprise luar biasa, karena di setiap kota yang saya kunjungi sebagian besar peserta berjilbab, alias wirausahawan muslimah.

Kian Kaya, Kian Bersedekah
Hot-nya pasar middle-class moslem tak hanya tercermin dari urusan beli produk dan layanan. Menggeliatnya pasar middle-class moslem juga tercermin dari makin getolnya mereka bersedekah dan membayar zakat. Survei Inventure tahun 2013 menunjukkan bahwa pengeluaran kelas menengah untuk zakat dan sumbangan mencapai 5,4% dari total pengeluaran bulanan, sebuah angka yang cukup besar. Teman saya, mas Thoriq Helmi, salah satu direktur di Dompet Duafa, pernah bilang ke saya, bahwa sedekah dan zakat yang ditampung Dompet Duafa selama ini sebagian besar diperoleh dari middle-class moslem, dan potensinya terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Dan menariknya, “90% lebih mereka membayar zakat via electronic channel seperti transfer ATM, debit, dll,” ujar mas Thoriq. Upzzz, techy amat!!!

Label Halal Jadi Rebutan
Dulu label halal tidak begitu diperhatikan konsumen kita. Namun kini, label halal mulai dilirik dan menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan pembelian konsumen. Tak heran jika kemudian perusahaan berlomba-lomba melabeli produknya dengan stiker halal. Ujung-ujungnya bisnis label halal pun ikutan menggeliat. Barangkali karena hal ini dua instansi kita berebut untuk mendapatkan hak mensertifikasi produk halal. Upzzzz…  Nggak ikut-ikut ahhh.

Selfless Leader

$
0
0

Saat ini saya sedang melakukan riset untuk baku baru saya yang mudah-mudahan bisa terbit pertengahan tahun ini, berjudul Giving-Focused Enterprise (GFE). Pilar dari organisasi jenis baru ini adalah para pemimpin yang selalu fokus untuk memberi (giving-focused), yaitu pemimpin yang memiliki kerendahan hati untuk menghilangkan keakuan (selfless) dan menempatkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya pada posisi terpenting. Saya sebut pemimpin jenis ini sebagai selfless leader.

Tulisan ini barangkali muncul pada momentum yang tepat karena hari ini 16 Maret adalah hari dimulainya kampanye terbuka Pemilu 2014, dimana para calon pemimpin kita mengobral janji-janji bagi orang-orang yang bakal mereka pimpin dan wakili. Mudah-mudahan percikan kearifan yan tertuang dalam tulisan ini bisa menjadi oase menyejukkan bagi mereka.

Tulus-Ikhlas
Sebaik-baiknya pemimpin adalah jika ia ikhlas dan tidak mementingkan diri sendiri. Pemimpin hebat pasti tidak egois dan tidak mengarahkan tindak-tanduknya melulu untuk kepentingan pribadi (self-centered). Misi terpenting seorang pemimpin bukanlah untuk menuai pujian pribadi, memperoleh promosi pribadi, mendapatkan kekayaan pribadi, meraih kehormatan pribadi, memuluskan kesuksesan karir pribadi.

Semuanya itu mungkin penting, namun di atas itu semua misi hakiki seorang pemimpin adalah melayani orang-orang yang dipimpinnya dan menjadikan mereka lebih baik. Great leader are servants who facilitate the success of others. Fokus perhatian utama seorang pemimpin adalah mencapai kebaikan bagi organisasi dan orang-orang yang dipimpinnya.

Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Abraham Lincoln, atau Marthin Luther King adalah selfless leaders yang tanpa pamrih mengabdi dan melayani konstituennya. Nelson Mandela dipenjara selama 27 tahun demi mempertahankan prinsip-prinsip kepemipinan yang ia pegang teguh. Marthin Luther King bahkan terenggut nyawanya dalam memperjuangkan prinsip kebenaran yang ia yakini. Kata King, “Every man must decide whether he will walk in the light of creative altruism or in the darkness of destructive selfishness”.

Sukses seorang pemimpin ditentukan oleh kemampuannya dalam menarik followers dan mendapatkan kepercayaan (trust) dari mereka. Untuk mendapatkan kepercayaan itu si pemimpin harus mampu membawa perubahan dan kemanfaatan bagi followers: kehidupan yang lebih baik, kemampuan dan ketrampilan yang meningkat, atau mungkin jiwa yang lebih bermakna. “The greatest achievement of a leader is the triumph of those they serve”. Ini semua diperoleh jika si pemimpin memiliki ketulusan dan keikhlasan untuk mengontribusikan kepemimpinannya murni untuk kepentingan para followers dan organisasi yang dipimpinnya.

Saya jadi teringat iklan Biskuat yang beberapa hari terakhir muncul hampir tiap malam di layar TV. Dalam iklan tersebut digambarkan seorang ibu yang melatih anaknya berlari untuk memiliki semangat juang dan mental juara. Begitu gigih si ibu menggembleng dan memompa semangat si anak agar si anak bisa mengalahkannya. Kata-kata yang membuat saya tersentuh adalah ucapan si ibu yang mengatakan.  “Saat ia berhasil mengalahkanku, maka saat itulah saya menang.” Sikap tulus-ikhlas seperti inilah yang khas dimiliki oleh seorang selfless leader.

Pemimpin yang tulus-ikhlas akan menghasilkan pemimpin lain yang tulus-ikhlas pula. Kalau pemimpin tulus-ikhlas ini teraplikasi ke para pemimpin di seluruh level organisasi maka ia akan membentuk sebuah budaya kepemimpinan yang kokoh. Pemimpin yang profesional, jujur, dan bener-bener bersih akan mengimbas ke bawahan, mereka terbawa menjadi orang yang tak hanya memikirkan kepentingan pribadi, tapi mementingkan kepentingan karyawan.

Spirit of Giving
Dengan mindset seperti ini maka motivasi paling dasar seorang pemimpin adalah spirit of giving; spirit untuk selalu memberi kepada orang-orang yang dipimpinnya tanpa pernah memikirkan imbal-balik. Setiap pemimpin harus selalu berkorban tanpa pernah berharap mendapat imbalan dari pengorbanan itu. Inilah substansi keikhlasan seorang pemimpin.

Spirit of giving mengandung keyakinan bahwa “giving is receiving”. Maksudnya, semakin banyak si pemimpin memberi pada followers-nya, maka semakin banyak pula ia mendapat (mendapat kepercayaan, kesetiaan, kecintaan, dedikasi, dan sebagainya) dari mereka. The more you give, the more you receive. Memang secara matematik, ungkapan tersebut mungkin tidak make-sense bahkan tak masuk akal. Tapi itulah indahnya memberi. It’s the beauty of giving.

Itu sebabnya, untuk bisa memiliki spirit of giving, seorang pemimpin harus memiliki mental kelimpahan (abundance mentality), bukan mental kikir. “Every Leader should hold an abundant mind, act abundantly, and  think abundantly. He will feel rich… and will start to give to others.” Ketika seorang pemimpin selalu merasa berkekurangan, mana mau ia memberi kepada followers-nya?

Pemimpin yang selfish dan sarat diwarnai agenda dan pamrih pribadi akan membawa dampak destruktif bagi organisasi. Ketika seorang pemimpin sudah punya pamrih pribadi atau kelompok, maka kepemimpinan yang dijalankannya terkotori oleh ego dan kepentingan-kepentingan si pemimpin. Karena digayuti kepentingan pribadi, maka kepemimpinan itu tidak lagi murni dikontribusikan untuk kemanfaatan dan kebaikan organisasi.

Begitu kepemimpinan sudah beraroma kepentingan pribadi dan kelompok maka biasanya akan muncul kecurigaan, ketidakpercayaan, tantangan, bahkan perlawanan. Itu semua akan memicu terjadinya politik-politik yang kontraproduktif di dalam organisasi. Di dalam organisasi akan muncul kelompok-kelompok kepentingan dan antar kelompok itu terjadi friksi dan perebutan kepentingan. Celakanya, si pemimpin sendiri ikut bermain di arena perebutan kepentingan tersebut mewakili diri dan kelompoknya. Kalau ini terjadi, maka inilah awal dari kehancuran organisasi.

Menjadi selfless leader itu tidak gampang. Dibutuhkan keikhlasan, kebesaran hati, kerelaan berkorban, sikap keberlimpahan, dan yang terpenting, kecintaan yang tulus kepada followers. Karena itu tak bisa disangkal ungkapan bahwa: “Being selfless is one of the hardest things you’ll ever do as a leader.”

“Her”, Big Data, Algoritma

$
0
0

Minggu lalu saya nonton midnight film hebat bertitel “Her”, pemenang sekaligus Golden Globe dan Oscar untuk skenario film terbaik. Film ini bercerita mengenai seorang pria kesepian yang jatuh cinta berat pada operating system (OS) komputer super cerdas yang mewujud dalam bentuk suara wanita bernama Samantha. Melalui sosok Samantha dengan suara yang seksi nan mendesah, program komputer ini berhasil menyihir si pria hingga ia kepincut setengah mati pada si sosok wanita yang diisi suaranya oleh artis seksi Scarlett Johansson.

Kenapa bisa begitu? Rupanya program komputer ini dilengkapi dengan teknologi artificial intelligence yang memungkinkannya bisa membaca sifat, kepribadian, kebiasaan, bahkan suasana hati si pria kesepian. Samantha demikian hidup sehingga bisa menjadi teman ngobrol yang intim dan penuh pengertian. Setiap curhat si pria selalu didengar dengan sabar dan telaten, dan setiap keluh-kesahnya diberikan solusi cespleng. Interaksi intim inilah yang kemudian menumbuhkan bibit cinta antar keduanya.

Film ini menjadi komedi satir, karena kisah asmara yang mengharu-biru itu bukannya terjadi antar dua insan manusia, tetapi antar si pria kesepian dengan mesin alias program komputer. Karena lucu menggelikan, tak heran jika film ini masuk dalam nominasi film terbaik komedi/musikal baik di ajang Golden Globe maupun Oscar.

Revolusi Big Data
Saya tergelitik oleh film ini bukan karena film besutan sutradara Spike Jonze ini hebat hingga memborong 5 nominasi Oscar. Saya tertarik justru karena penasaran bagaimana si Samantha bisa “membaca” watak dan isi hati si pria kesepian. Karena film ini menggunakan setting waktu tahun 2025, maka saya pun berandai-andai, teknologi apa gerangan yang digunakan OS super canggih tersebut.

Kebetulan setahun terakhir ini saya sedang getol-getolnya membaca buku ataupun artikel mengenai “Big Data”, sebuah terminologi yang kini sedang menjadi buzz di dunia riset dan analitik data. Secara awam, Big Data adalah fenomena melimpah-ruahnya jumlah data (dalam bentuk digital) yang kini bisa diambil (storing) dan diolah menjadi informasi yang sangat berharga untuk berbagai tujuan.

Data melimpah di world wide web (www) dalam bentuk teks di Facebook, gambar di Flickr, video di Youtube, data lokasi kita di Foursquare atau Google Map, data suhu di thermostat lemari es atau AC, hingga data hasil sensor kamera CCTV, semuanya kini bisa ditangkap dan diolah menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk kehidupan umat manusia. Karena data yang diambil dari berbagai tools tersebut berasal dari miliaran orang, maka bisa dibayangkan berapa besar jumlah data yang terkumpul. Itulah Big Data.

Ambil contoh simpel, twit di Twitter atau “likes” di Facebook. Tahun 2012 lalu para tweeps telah ngetwit sebanyak lebih dari 400 juta sehari dengan pertumbuhan mencapai 800% setahun. Di tahun yang sama, setidaknya kita “nge-Likes” di Facebook sebanyak lebih dari tiga miliar kali sehari. Itu baru sehari, bayangkan jumlahnya kalau data-data itu dikumpulkan sebulan, setahun, atau bahkan bertahun-tahun.

Google saat ini mengolah sebanyak sekitar 24 petabytes (Petabytes = 1 juta gigabytes) data setiap harinya. Salah satunya adalah search query kita yang jumlahnya ratusan juta seharinya. Jumlah data ini mencengangkan karena kira-kira setara dengan ribuan kali jumlah seluruh dokumen cetak yang dimiliki Library of Congress hingga saat ini.

Nah, semua data di atas kini bisa diambil dan diolah menjadi “emas” bernilai bisnis miliaran dolar. Inilah bisnis masa depan: bisnis Big Data. Ambil contoh seluruh twit-twit kita di Twitter, status update kita di Facebook, atau search query kita di mesin pencari Google. Data-data yang “diinput” ratusan juta pengguna Twitter, Facebook, dan Google secara real time selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu tersebut kini bisa diambil dan diolah untuk memotret perilaku, hobi, kebiasaan kita kita sehari-hari. Bahkan dalam kurun waktu lama data-data tersebut bisa memetakan sifat dan karakter kita.

Memetakan Sifat dan Perilaku
Kembali ke film “Her”. Walaupun tidak diceritakan di film, saya berandai-andai, sifat-sifat si pria kesepian dalam film tersebut bisa dipetakan oleh OS (“si seksi Samantha”) karena OS tersebut mengumpulkan seluruh isi email-email si pria kesepian,  twit-twitnya di Twitter, status updates di Facebook, search query di Google, data kamera di laptop dan CCTV di sudut-sudut rumahnya, dan data apapun mengenai si pria kesepian. Ingat di tahun 2025 nanti setiap gerak-gerik kita akan bisa “ditangkap” datanya, dan seluruh data itu sudah dalam bentuk digital.

Karena sudah tersedia dalam bentuk digital, maka tentu saja data personal yang sangat kaya tersebut (yesss… Big Data!!!) bisa diolah dalam waktu super singkat dalam ukuran detik bahkan mikro-detik (ingat kemampuan komputer di tahun 2025 juga akan ratusan bahkan ribuan kali lipat dari kemampuan komputer saat ini). Itu sebabnya, Samantha bisa “membaca” setiap perubahan suasana hati, perilaku dan sifat si pria kesepian setiap jam, menit, bahkan detik.

Bagaimana pengolahan dan analisa data individu itu dilakukan? Yang melakukan itu semua bukanlah manusia, tapi mesin. Bagaimana mesin melakukan? Mesin melakukannya secara otomatis menggunakan apa yang disebut algoritma. Seluruh data dari seluruh aktivitas si pria kesepian dikumpulkan kemudian dipetakan polanya dengan algoritma tertentu. Dengan teknik komputasi canggih (seperti “machine learning” atau “neural networking”) maka komputer bisa memberikan respons yang tepat dan presisi kepada si pria kesepian mengacu pada data-data tadi.

Itulah powerful-nya algoritma. Nantinya seluruh aktivitas dan kehidupan kita akan “diotomasi” oleh sebuah teknik yang bernama algoritma. Seperti ditunjukkan film “Her”, algoritma bisa menghasilkan “mahluk hidup baru”, sosok seperti Samantha yang sangat hidup, sangat natural, cerdas, sekaligus sangat manusiawi.

Tak mengherankan jika Chirstopher Steiner, penulis buku Automate This: How Algorithms Came to Rule Our World mengatakan bahwa nantinya algoritma akan mengatur seluruh hidup kita: “Algorithms are taking over everuthing… it is the tools we use to shape our planet, our lives, and even our culture.”

Habis nonton film “Her” terus terang saya menjadi resah luar biasa dan berharap-harap cemas. Saya berharap di tahun 2025 saya sudah pensiun dari profesi sebagai konsultan pemasaran. Apa sih sesungguhnya pekerjaan konsultan pemasaran? Pekerjaannya mengolah data konsumen dan kemudian menganalisisnya hingga menjadi strategi pemasaran yang cespleng. Saya resah karena di tahun 2025 profesi saya raib dibumihanguskan oleh algoritma. Sebagai konsultan pemasaran saya pasti kalah bersaing melawan “mbak Samantha”. Kwkwkwkkkk…

#KelasInspirasi Brand Identity, Bandung

$
0
0

Temen-temen UKMers Bandung, #KelasInspirasi Komunitas Memberi kembali hadir di kota Bandung. Setelah di #KelasInspirasi pertama (Februari 2014) lalu temen-temen mendapatkan materi “Branding for UKM” yang menjadi dasar penyusunan strategi branding, maka kini temen-temen akan mendapat materi lanjutan yang lebih praktis dan aplikatif bertema: “Building Strong Brand Identity“, mengenai bagaimana membangun brand identity yang kokoh.

Pembicaranya juga ruarrr biasa!!! Saya sendiri, Yuswohady akan memberikan introduksi mengenai apa itu brand equity. Kemudian pak Subiakto akan berbagi pengalaman membangun brand identity hasil pengalamannya selama lebih dari 40 tahun. Dan terakhir Irvan Permana, konsultan branding dan penulis buku “Brand is Like a Donut” akan memberikan pengetahuan praktis bagaimana membangun brand identity yang kokoh.

Tanggal/Hari: Sabtu, 29 Maret 2013
Tempat: Gedung Infomedia, Jl. Jl. Malabar No. 37, Bandung
Waktu: pk.09.00 – 17.00 WIB
Tema: Building Strong Brand Identity
Fasilitator:
Yuswohady, Pengamat Marketing/Branding
Subiakto, Legenda Branding Indonesia
Irvan Permana, Konsultan, Penulis Buku: “Branding Is Like a Donat”

Materi pak Subiakto:
- Finding Branding Ideas & Insight
- Formulating Core Message
- Communicating Message
- Real-Life Case from 40-year Experience

Materi Irvan Permana:
- Visual Brand Identity: An Introduction
- Strong Brand Identity through Logotype
- Strong Brand Identity through Colour
- Strong Brand Identity through Packaging
- Strong Brand Identity through Retail Interior & Exterior
- Brand Identity Guidelines and Applications

Ini materi penting banget untuk para UKMers, untuk menuju UKM kelas dunia…
Yuuuuuk ikutan!!!
Yuuuuuk UKMers belajar!!!


Auto Consumer Big Shifts

$
0
0

Hari Kamis (27/3) lalu saya diminta berbicara di ajang Otomotif Award 2014, sebuah ajang penghargaan kepada para pelaku industri otomotif yang diselenggarakan oleh Majalah Otomotif, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Hadir juga di situ Wagub Basuki Tjahaja Purnama karena beroleh penghargaan News Maker of the Year sekaligus memberikan sambutan.

Saya diminta memaparkan revolusi kelas menengah di Indonesia dan dampaknya di industri otomotif nasional. Topik yang saya ambil: “The 5 Big Consumer Trends in Auto Industry”. Seperti diketahui sejak tahun 2010 untuk pertama kalinya Indonesia menembus ambang batas GDP perkapita USD 3000, yang sekaligus diikuti munculnya fenomena revolusi konsumen kelas menengah. Konsumen kelas menengah Indonesia (pengeluaran sehari sebesar USD 2-20) tumbuh dengan pesat mencapai jumlah 140 juta penduduk dengan pertumbuhan 8-9 juta orang pertahunnya.

Mass Luxurization
Lalu apa dampaknya di industri otomotif. Pengaruh yang paling mencolok adalah munculnya apa yang saya sebut “mass luxurization”, dimana seiring dengan meningkatknya kemakmuran, mobil kini sudah tidak merupakan barang mewah lagi. Mungkin masih dianggap barang mewah, namun semua kalangan sudah memilikinya, tak terbatas kalangan kaya tertentu.

Dulu waktu SD dan SMP, saya sering menonton film-film seri di TVRI (my favorites: Mannix, Starsky and Hutch, The A Team, Hawai Five-O). Dari tayangan film-film tersebut saya gumun (terheran-heran), kok bisa ya hampir semua keluarga di Amerika punya mobil. Waktu itu memang di Tanah Air masih segelintir keluarga yang memiliki mobil, bahkan di kampung saya tak satupun yang punya mobil.

Fenomena “semua keluarga punya mobil” seperti saya herankan sekitar 30 tahun lalu itu kini kejadian di Tanah Air. Keluarga-keluarga baru kelas menangah kini mulai punya mobil keluarga karena daya beli mereka yang kian memadai. Fenomena ini direspons sangat baik oleh pelaku industri otomotif dengan meluncurkan secara besar-besaran model mobil dengan harga terjangkau.

Pionirnya tentu saja Avanza-Xenia yang dikenal sebagai “mobil sejuta umat”, kemudian Nissan Levina dan Suzuki Ertiga, dan terakhir yang bakal menjadi kuda hitam Honda Mobilio (menang di ajang Otomotif Award 2014 sebagai “Car of the Year”). Bahkan sejak setahun lalu para produsen mobil secara ambisius mulai muncul model mobil murah (LCGC: low cost, green car) dengan harga di bawah 100 juta perak.

Tak hanya itu, membeli mobil sekarang juga gampang karena beragam produk kredit pembiayaan mobil dari bank maupun perusahaan pembiayaan ngantri siap membantu. Tak heran jika banyak keluarga seumur-umur nggak pernah pegang BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) karena harus “disekolahin” dulu ke perusahaan pembiayaan.

Shorter Lifecycle
Fenomena menarik lain yang saya tangkap adalah makin pendeknya siklus konsumen kelas menengah membeli mobil dan kemudian menjualnya kembali. Dulu orang membeli mobil dengan tujuan untuk memiliki dalam jangka lama, sekitar 5 tahun atau lebih. Kini waktunya menjadi lebih pendek sekitar 3 tahun bahkan lebih pendek lagi tergantung sering tidaknya merek-merek mobil baru yang keluar di pasaran.

Pada sebagian konsumen bahkan membeli mobil kini sudah seperti membeli gadget, terus berganti-ganti mengikuti mobil model baru yang keluar di pasar. Semakin sering model baru yang keluar, maka semakin sering dan pendek juga mereka ganti mobil.

Ambil contoh sekarang ini. Saya melihat di bulan-bulan terakhir ini banyak keluarga yang kebelet untuk membeli mobil gress Honda Mobilio, padahal mereka baru membeli Suzuki Ertiga tahun lalu. Seperti kita tahu, tahun lalu Ertiga merupakan “kuda hitam” yang berhasil mencuri hati keluarga-keluarga Indonesia, dan begitu ambisius mematahkan dominasi Avanza-Xenia. Hasrat berganti mobil hanya dalam beberapa bulan ini tentu tak lepas dari iklan gencar dan word of mouth mengenai mobil keluaran terbaru yang ampuh menggoda nafsu membeli.

Kalau lifecycle berganti mobil menjadi kian pendek, lalu apa dampak ikutannya? Yang jelas pasar mobil bekas (used car) menjadi lebih marak dari sebelum-sebelumnya. Pasar ini dimanfaatkan dengan cerdas oleh konsumen kelas menengah yang memiliki daya beli yang lebih rendah. Kata mereka: “Mobil boleh bekas, tapi model tetap keluaran terbaru”. Itu sebabnya saya berani mengatakan bahwa, pasar mobil bekas adalah “the next big thing” dalam industri otomotif di Indonesia.

Go Online
By default konsumen kelas menengah kita cerdas. Itu sebabnya untuk pembelian produk-produk yang high investment dan high involvement seperti mobil mereka berpikir seribu kali sebelum membeli. Sebelum membeli mereka akan mengumpulkan informasi mengenai fitur-fitur mobil, meminta pendapat ke teman atau expert mengenai kehebatan mobil, atau mengumpulkan pendapat orang-orang yang memiliki pengalaman menggunakan mobil yang akan mereka beli.

Nah, cara paling cepat dan gampang untuk mendapatkan semua informasi itu dari mana? Tanya “Mbah Google” alias “go online”. Karena itu saya memprediksi, mesin pencari Google, blog-blog pakar otomotif, komunitas-komunitas online pecinta otomotif, atau obrolan-obrolan di Facebook, Twitter, hingga BBM akan menjadi sumber informasi terfavorit bagi konsumen kelas menengah dalam memutuskan pembelian mobil.

Akibatnya, setiap kali ke dealer membeli mobil, mereka datang dengan isi kepala penuh. Informasi A sampai Z mengenai mobil yang akan mereka beli sudah di kepala, keputusan mobil apa yang akan mereka beli pun sudah ada di tangan. Bujuk-rayu salesman yang nerocos meyakinkan konsumen menjadi tidak mempan lagi. Salesman hanya diam manis menunggu instruksi si konsumen.

Kalau demikian adanya lalu bagaimana dengan fungsi salesman di dealer? Perjuangan salesman meyakinkan konsumen untuk memilih mobil yang akan dibeli bukan lagi dilakukan di dealer. Kenapa? Karena sudah terlambat, begitu sampai di dealer si konsumen sudah mengantongi keputusan. So, perjuangan meyakinkan konsumen harus dilakukan oleh salesman di ranah online (di Google, di Detik.com, di blog-blog, di Facebook, di Twitter, di BBM, di milis-milis otomotif, dll).

Karena alasan itulah saya kemudian menganjurkan kepada para salesman mobil untuk ngeblog dan rajin menyambangi komunitas-komunitas otomotif di ranah online. Istilah kerennya: selling through blogging atau selling through community. Di situlah Anda berjuang sampai titik darah penghabisan untuk meyakinkan konsumen memilih dealer Anda.

Kalau sudah begini, bisa jadi nantinya blogging akan menjadi faktor paling kunci kesuksesan seorang salesman mobil. Semboyannya: “Blogging or die!!!

Partai Peduli Brand

$
0
0

Saya tak peduli apakah di hari pencoblosan nanti yang menang Partai Demokrat, PDI Perjuangan, atau Golkar. Saya juga tak ambil pusing apakah yang menang nanti Jokowi, Prabowo, atau ARB. Yang saya peduli hanya satu: siapapun presiden yang menang, siapapun partai yang berkuasa, mereka harus peduli pada brand lokal Indonesia.

Terus terang saya kecewa berat, sepanjang hampir 70 tahun perjalanan bangsa ini sejak merdeka, tak satupun presiden dan partai berkuasa yang punya kesadaran dan peduli pada pentingnya membangun brand lokal Indonesia. Tidak Soekarno, tidak Soeharto, tidak Mega, tidak juga SBY. Mana ada brand-brand lokal hebat seperti Sosro, Blue Bird, Santika-Amaris, J.Co, Tolak Angin, D’Cost, Sunpride, atau Mayora lahir dan besar karena support dari presiden atau partai berkuasa. No way!

Kedaulatan Brand
Kenapa saya kok ngotot calon presiden dan calon partai berkuasa harus peduli brand lokal? Karena kedaulatan brand kita kini sedang di ujung tanduk. Dulu kita begitu kenyang 350 tahun dijajah bangsa asing. Maka kini, kita juga bakal kenyang dijajah brand-brand asing.

Coba saja lihat di kamar mandi kita, mulai dari sabun, shampo, pasta gigi, sabun cuci, hampir semuanya sudah dikuasai brand asing. Coba lihat dapur kita, mulai dari sambel, kecap, margarin, bumbu-bumbu, air minum dalam kemasan, hampir semua dikuasai brand asing.

Gadget yang kita pakai; layanan telekomunikasi yang kita langgani, motor-mobil yang kita kendarai; TV, radio, DVD player, kulkas, AC yang menghiasi ruang-ruang rumah kita; obat-obat yang kita konsumsi kalau sedang sakit; bahkan benih-benih yang ditebar petani kita; praktis kini sudah dikuasai oleh brand-brand asing.

Yang paling membuat saya resah adalah hadirnya brand waralaba restoran siap saji asing yang penetrasinya ke berbagai kota di seluruh penjuru Tanah Air begitu massif. Saya hanya khawatir kalau nantinya penetrasi brand-brand waralaba hebat dunia tersebut sudah sedemikian jauh hingga ke kecamatan dan kelurahan. Kita tahu proses ke arah itu kini berlangsung begitu massif.

Kalau itu terjadi, yang paling saya takutkan adalah kalau kuliner hebat Tanah Air seperti rawon, pecel, gudeg, kerak telor, gado-gado, pempek, batagor, perlahan tergusur dan hanya ada di museum kuliner Nusantara. Saya takut kalau nantinya anak-cucu kita sudah tak mengenal kuliner hebat Nusantara tersebut karena kalah bergengsi, kalah cool, kalah keren dibanding brand-brand waralaba global yang memang hebat dan becitra global-barat.

Terkait dengan kedaulatan brand, saya sering mengatakan: kalau bangsa ini terkena kanker, maka kanker itu kini sudah berada di stadium empat. Artinya belitan dominasi dan cengkeraman brand-brand asing tersebut sudah begitu merasuk hingga ke tulang-sumsum sehingga sulit dilepaskan.

Brand Kuat, Negara Kuat
Kenapa brand-brand asing di atas begitu menggebu menyerbu Indonesia dalam 10 tahun terakhir? Ya, karena Indonesia adalah gadis molek dengan potensi pasar yang luar biasa. Dengan 240 juta penduduk dimana hampir 60% di antaranya adalah kelompok kelas menengah dengan daya beli tinggi, Indonesia adalah pasar empuk untuk produk dan layanan apapun: dari gadget hingga mobil, dari shampo hingga margarin, dari karaoke hingga tontonan konser artis asing.

Nah, pasar yang begitu besar-menjanjikan tersebut haruslah dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mengembangkan brand-brand lokal yang tangguh. Itu sebabnya, presiden dan partai berkuasa nanti harus punya rencana strategis untuk mengembangkan brand-brand lokal dalam jumlah besar, jangan sampai hanya menjadi pemerintah otopilot (seperti halnya selama ini) yang tak berbuat apa-apa. Dengan bekal brand-brand lokal hebat dalam jumlah besar, diharapkan kita akan menjadi tuang rumah di negeri sendiri.

Akan lebih indah lagi jika peran presiden dan partai berkuasa tersebut dalam membangun brand lokal difokuskan ke pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang bergerak di bidang agro dan industri kreatif yang padat karya. Harus diingat pelaku UMKM di negeri ini memiliki kontribusi dominan dalam perekonomian kita: dari sisi jumlah pelaku bisnis menguasai 99% dari total pelaku bisnis, dari sisi penyerapan tenaga kerja menguasai 86% dari total angkatan kerja, dan dari sisi nilai rupiah menguasai 57% dari total PDB kita.

Alangkah indahnya jika presiden terpilih dan partai berkuasa nantinya memberdayakan pelaku UMKM kita sehingga mampu mengembangkan pecel atau rawon dengan brand setangguh McD atau Starbucks. Alangkah indahnya jika presiden terpilih dan partai berkuasa nanti menciptakan inisiatif besar-besaran untuk memberdayakan UMKM kita dalam mengembangkan brand-brand hebat berbasis pertanian, peternakan, dan kelautan dimana Indonesia punya resource luar biasa.

Saya sih nggak muluk-muluk menuntut presiden terpilih dan partai berkuasa mengembangkan brand-brand global seperti Jepang mengembangkan brand hebat Sony dan Toyota; atau Korea mengembangkan brand hebat Samsung dan Hyundai. Di sini kita cukup mengembangkan brand UMKM seperti Maicih di Bandung; atau Joger di Bali; atau Gudeg Yu Djum di Yogya; tapi dalam jumlah besar, ribuan bahkan jutaan.

Saya yakin dengan membangun brand UMKM yang tangguh dan dalam jumlah besar, kita akan mampu mengembalikan kedaulatan brand dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kalau sampai ada partai yang punya program seperti barusan saya ceritakan di atas, maka tanggal 9 April nanti dengan semangat empat-lima, saya pasti akan nyoblos nomor partai tersebut. Ikhlas! Tanpa pakai serangan fajar, tanpa diamplopin… kwkwkwkkk!!!

#UKMgoGlobal: Dialog dengan Pak Wamendag

$
0
0

Berawal dari cuap-cuap di Twitter antara @arettaCoffee, pak Bi @subiakto, saya @yuswohady, dan  pak Bayu Krisnamurthi @bayukr Wakil Menteri Perdagangan RI. Dari ngobrol biasa, tapi nggak tahu kenapa, ujung-ujungnya kita berhasil nodong pak Wamendag untuk memberikan sharing. Secepat kilat tema pun dicari, dan tak salah lagi, “UKM Go Global” merupakan tema paling seksi untuk diperbincangkan, apalagi AEC (Asean Economic Community) sudah di depan mata.

Setelah atur-atur waktu maka acara dialog dengan pak Wamendag diwujudkan dalam #KelasInspirasi pada:

Hari/Tanggal: Jumat, 11 April 2014, pk.14.00-17.00 WIB
Tempat:   Auditorium, Kementerian Perdagangan, Jl. Ridwan Rais 5, Jakarta Pusat
Tema: “UKM Go Global”: Peran Pemerintah Mendongkrak Daya Saing UKM Menghadapi AEC
Pembicara: Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan RI
Moderator: Yuswohady

Teman-teman UKMers, ini merupakan kesempatan luar biasa karena kita bisa mendapatkan update terbaru langsung dari pak Wamendag mengenai pelaksanaan AEC. Di samping itu pak Wamendag dan tim akan menguraikan prosedur ekspor, komoditi ekspor potensial bagi UKM, info peluang bisnis terbaru untuk UKM, berbagai bentuk program dan dukungan yang diberikan oleh Memendag dalam mempersiapkan UKM menyongsong AEC.

Harap diketahui selama ini Kemendag telah mempersiapkan berbagai fasilitas layanan UPP Terpadu Perdagangan, yang disediakan dan dapat diakses secara terbuka oleh para UKM se-Indonesia, seperti: Layanan INATRADE, INATRIMS, Customer Service Center (CSC) Ekspor, dll. Semua layanan ini dibangun untuk memfasilitasi para UKM dalam memperkuat bisnisnya di pasar domestik maupun ekspor. Di akhir acara, kita bakal diajak tour ke unit-unit layanan UPP Terpadu Perdagangan tersebut.

So, yuk kita manfaatkan kesempatan emas ini, temen-temen UKMers bisa curhat apapun masalah yang dihadapi ke pak Wamendag. Temen-temen UKMers yang mau hadir daftar dulu ke www.memberi.org ya. Gratissss!!!

Ingat, UKMers yang mau nembus pasar ekspor wajib ikut!!!

Indonesia Pusat Fesyen Islam Dunia? Why Not!

$
0
0

Minggu lalu saya diundang mbak Irna Mutiara @irnaMutiara, salah satu desainer hijab kondang Tanah Air berdiskusi dengan teman-teman di markas Hijabers Community di Jakarta. Forumnya tidak begitu besar, hanya sekitar duapuluhan orang dari berbagai kalangan yang peduli pada perkembangan fesyen Islam di Tanah Air. Di situ juga hadir bu Euis Saedah, Dirjen Industri Kecil dan Menengah (IKM) Departemen Perindustrian; ada juga mbak Dian Pelangi yang brand pakaian muslimnya sudah ternama; juga ada juga mas Salman Subakat pemilik brand kosmetik Wardah.

Walaupun forum itu kecil, namun saya melihat sebuah cita-cita besar dari anak-anak muda hebat di forum tersebut yaitu membentuk Islamic Fashion Council dengan misi mulia menjadikan Indonesia sebagai pusat fesyen Islam dunia. Saya surprise luar biasa karena ide yang sama sudah bergentayangan di otak saya sejak tahun lalu. Kebetulan pada saat itu saya diminta sharing pada salah satu sesi seminar di ajang Islamic Fashion Week 2013, dan di situ saya mengambil judul presentasi saya: “Indonesia: Center of the World Islamic Fashion”.

Indonesia menjadi pusat fesyen Islam dunia? Why not! Apa nggak berlebihan? Absolutely not!

Kegairahan Peradaban Islam
Saya berani mengatakan bahwa Indonesia sangat layak menjadi pusat fesyen Islam dunia karena berbagai pertimbangan yang fundamental dan sangat substansial. Setahun terakhir ini kebetulan saya intens mengamati dan meneliti dinamika perkembangan pasar muslim di Indonesia. Sekian lama mengamati, saya menemukan sebuah gelombang perubahan besar yang sangat menarik. Apa itu?

Saya melihat munculnya benih-benih kegairahan baru peradaban Islam terjadi di Tanah air selama 5 tahun terakhir. Kenapa saya sebut peradaban karena kegairahan baru tersebut terjadi di berbagai aspek lapangan kehidupan kaum muslim di Indonesia mulai dari seni-budaya, gaya hidup, ilmu pengetahuan, ekonomi, kewirausahaan, dinamika komunitas, dunia dakwah, bahkan perilaku bersedekah. Coba saja lihat fenomena-fenomena menggembirakan berikut ini.

Saya kira belum sampai lima tahun “revolusi hijab” terjadi begitu massif di negeri ini. Mendadak berbusana hijab menjadi tren gaya hidup (fesyen, kosmetik, asesoris) yang menjalar bak virus ganas ke seluruh penjuru Tanah Air. Menariknya, tiba-tiba berhijab menjadi sesuatu yang cool, modern, trendy, techy, dan begitu diminati wanita muslim. Kosmetik untuk pasar hijabers juga pun tumbuh luar biasa ditandai dengan adanya apa yang saya sebut “The Wardah Effect”.

Di bidang budaya seperti karya buku, novel, musik, atau film yang bernuansa Islam, kita juga menyaksikan fenomena yang tak kalah menggairahkan. Novel dan film “Ayat-Ayat Cinta” misalnya, mencapai sukses yang luar biasa bahkan mengalahkan film-film umum dalam menggaet penonton. Lagu dan musik bernuansa Islam (seperti lagu Bimbo, Opick, dsb) kini telah menjadi “musik pop” yang menjadi milik semua kalangan masyarakat tak hanya terbatas kaum muslim.

Di bidang ekonomi kita melihat tumbuh pesatnya bank syariah di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir mencapai sekitar 40% setiap tahunnya. Wirausahawan muslim juga merebak di hampir seluruh daerah di Indonesia. Komunitas wirausaha musilim seperti Tangan Di Atas (TDA) misalnya, menjamur di berbagai kota Tanah Air.

Modal
Saya melihat kegairahan baru peradaban Islam di Tanah Air merupakan modal dasar yang paling berharga bagi Indonesia untuk bisa menjadi pusat kebudayaan Islam dunia, termasuk dalam hal dunia fesyen. Kegairahan baru ini harus dimanfaatkan momentumnya untuk menjadikan Indonesia sebagai kiblat fesyen Islam dunia.

Kegairahan baru ini membawa implikasi yang sangat positif bagi perkembangan fesyen Islam di Tanah Air. Pertama, pasar fesyen Islam di Indonesia tumbuh pesat luar biasa dalam lima tahun terakhir. Memakai hijab kini tak hanya sekedar kewajiban tapi sudah menjadi gaya hidup yang fashionable. Tren baru iniah yang membuat pasar hijab bergairah luar biasa.

Pasar hijab yang sangat besar inilah (ingat, Indonesia adalah negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia) yang bisa dijadikan “senjata” bagi Indonesia untuk menjadi pusat fesyen Islam dunia. Besarnya pasar bisa menjadi “posisi tawar” yang ampuh untuk menjadikan Indonesia sebagai kiblat fesyen Islam dunia.

Kedua, dengan pasar yang besar dan tumbuh begitu cepat, maka dengan sendirinya industri fesyen Islam di Tanah Air juga menggeliat demikian dahsyat. Para hijab entrepreneurs kini tumbuh bak jamur di musim hujan, tak hanya di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, tapi merata hampir di seluruh kota di Tanah Air. Merebaknya industri fesyen Islam ini sekali lagi akan mendjadi landasan kokoh bagi Indonesia untuk mengukuhkan diri sebagai pusat fesyen Islam dunia.

Dalam diskusi dengan temen-temen Hijabers Community beberapa minggu lalu, ada pemikiran menarik yang diungkapkan bu Euis Saedah. Kata beliau, Indonesia harus mengembangkan pusat-pusat industri kreatif (cluster) fesyen Islam di berbagai kota. Munculnya cluster-cluster industri fesyen Islam inilah yang akan menjadi lokomotif bertumbuh industri ini.

Sekarang ini kita mengenal di Solo terdapat kampung Laweyan yang dikenal sebagai cluster industri batik. Di Yogya ada Kasongan yang menjadi cluster industri kerajinan gerabah/keramik. Atau di Jepara kita punya cluster untuk industri ukiran kayu. “Maka kini saatnya kita juga harus mengembangkan cluster-cluster industri fesyen Islam yang tersebar di berbagai kota di seluruh Tanah Air,” ujar bu Dirjen

Ketiga, dari sisi SDM atau para desianernya sendiri. Dalam hal SDM ini saya konfiden 1000% Indonesia akan bisa menjadi center of excellence bagi industri fesyen dunia. Kenapa? Karena untuk urusan seni dan kreativitas, kemampuan orang Indonesia sangat menonjol, tak kalah dibandingkan orang-orang asing.

Kalau pasar dan industrinya tumbuh pesat, maka dengan cepat pula kita akan menghasilkan desainer-desainer handal seperti mbak Irna Mutiara atau mbak Dian Pelangi dalam jumlah besar dan merata teresebar di berbagai kota di seluruh Tanah Air. Dan hanya dengan desainer-desainer handal kelas dunia dalam jumlah banyak, maka Indonesia  layak menyebut dirinya sebagai pusat fesyen Islam dunia.

So kembali ke pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini: “Bisakah Indonesia menjadi pusat fesyen Islam dunia?” Jawaban saya singkat: “Why Not!

First-Time User Sensations

$
0
0

Akhirnya hari yang ditunggu itu datang juga. Kamis 15 April lalu untuk pertama kalinya Google Glass dijual ke publik. Setelah penasaran menunggu selama dua tahun, kaca mata canggih berkemampuan smartphone tersebut minggu ini bisa didapatkan konsumen Amerika walaupun harganya masih selangit sekitar 17 juta perak. Celakanya, penjualan secara online itu hanya berlangsung sehari. So, rasa penasaran konsumen masih terus diulur-ulur layaknya layang-layang terbang jauh di awan.

Inilah hebatnya para marketers di Google. Sengaja extraordinary product ini “digoreng-goreng” sampai matang betul layaknya harga saham, agar word of mouth dan viralnya terus menjalar di kalangan konsumen di seluruh penjuru dunia. Sengaja konsumen “disiksa” (di dunia marketing sering disebut: “tormenting the customer”) dengan rasa penasaran yang panjang, sehingga pada saatnya nanti di hari H peluncuran, produk tersebut betul-betul meledak: Boom!!!”

Beginilah jurus jitu marketer untuk meledakkan sebuah produk luar biasa yang sebelumnya tak pernah ada di pasar. Caranya menggunakan word of mouth marketing dengan memanfaatkan viral dari satu konsumen ke konsumen lain secara massif. Kita tahu, ketika social/sharing tools seperti Twitter, Facebook, atau YouTube tersedia secara massif, maka viral yang dihasilkan pun menjadi sangat luar biasa. Cara yang persis sama dilakukan oleh Apple dengan dua blockbuster products-nya iPod dan iPad beberapa tahun lalu. Inilah cara pemasaran paling efektif sepanjang sejarah umat manusia hingga detik ini.

Bagaimana cara Google menyebarkan viral Google Glass ke seluruh penjuru bumi dalam hitungan detik? Elemen dasarnya adalah apa yang saya sebut first-time user sensations. Apa itu?

Sensational Experience
First-time user sensations adalah sensasi menggunakan produk untuk pertama kali. Untuk produk yang sudah ada sebelumnya, maka sensasi itu tentu biasa saja. Namun untuk produk yang lahir untuk pertama kali dan memang sebelumnya belum pernah ada seperti iPad atau Google Glass, maka sensasinya tentu akan luar biasa. Sensasi inilah yang memiliki nilai sangat tinggi di mata si pengguna.

Saya masih ingat dulu pada saat iPhone pertama kali muncul, pada waktu itu penggunaan layar sentuh dan virtual keyboard merupakan sesuatu yang cool dan menghasilkan sensasi yang luar biasa. Begitu pula pada saat Instagram pertama kali keluar, pengalaman menjadi pengguna pertama Instagram untuk mengolah foto hasil jepretan, lalu men-share foto tersebut di Twitter atau Facebook merupakan sesuatu yang memiliki gengsi sosial di kalangan teman-teman kita.

Lalu apa first-time user sensations untuk Google Glass? Tak kalah sensasional dibanding iPod, iPad, atau Instagram. Misalnya sensasi memotret dengan hanya menggunakan perintah suara. Cukup bilang “Ok Glass, take a picture,” maka sekejap kemudian si kaca mata pintar menjepret objek yang kita lihat. Atau sensasi mengakses email, mengambil informasi dari web, dan mencari jalan/alamat dengan bantuan navigasi Google Glass. Semua aktivitas itu dilakukan dengan perintah suara menggunakan interface berupa layar prisma kecil yang diletakkan sedikit di atas mata kanan kita. Very cool!

Menyebarkan Sensasi
Kembali ke pertanyaan semula, bagaimana Google menyebarkan viral Google Glass ke seluruh penjuru dunia? Inilah kekuatan sensasi. Yang dilakukan oleh Google adalah mendorong para evangelist untuk menyebarkan sensasi yang mereka alami saat menggunakan Google Glass untuk pertama kali. Mereka menyebarkan pengalaman tersebut melalui tweets di Twitter, status update di Facebook, posting di blog, atau video di YouTube. Melalui medium-medium social sharing itulah viral Google Glass menyebar layaknya wabah flu burung yang ganas merajalela.

Tahun lalu misalnya, Google mengirimkan Glass Explorer Edition versi awal ke 8.000 individu terpilih untuk mengikuti program Glass Xplorer. Mereka diberi kesempatan emas menjajal kehebatan Google Glass versi beta sekaligus menjadikan mereka sebagai para evangelists pertama untuk menyebarkan viral positif mengenai Google Glass. Tentu saja para evangelists ini tidak dilepaskan begitu saja dalam menyebarkan viral. Agar tercapai positive word of mouth, maka Google menskenariokannya.

Caranya gimana? Pertama tentu memastikan bahwa produk versi beta tersebut betul-betul menghasilkan sensasi positif di kalangan para evangelists pertama. Artinya, produk versi beta tersebut harus sudah dalam kondisi nyaris sempurna. Kedua, Google terlebih dulu mensosialisasikan sensasi positif yang diinginkannya melalui berbagai media yang ia rencanakan. Kepastian terwujudkan sensasi positif ini penting, karena kalau sampai yang terjadi adalah sebaliknya, maka yang diraup bukannya good mouth, tapi bad mouth. Kalau terakhir ini yang terjadi, maka bisa dipastikan produk gagal total.

Saya sering mengatakan bahwa pendekatan pemasaran paling cespleng hingga saat ini adalah word of mouth, alias menjadikan konsumen sebagai marketer utama (“Your best marketers are your customers”). Tapi harus diingat, Jangan kira pendekatan ini gampang. Seperti kita lihat pada kasus Google Glass di atas, rupanya word of marketing tak sesederhana menyebarkan pesan positif lewat jejaring sosial. Yang justru paling sulit adalah bagaimana menghasilkan extraordinary product yang mempu menghasilkan extraordinary sensations di kalangan para evangelist.

Hai para marketer di Tanah Air, silahkan mencoba resep Google Glass di atas bagi produk Anda. Rule of tumb-nya gampang: pertama, ciptakan extraordinary product; kedua, ciptakan first-time user sensations di kalangan evangelist pertama; dan ketiga, sebarkan sensasi tersebut layaknya virus yang menjalar ganas.

Viewing all 363 articles
Browse latest View live