Quantcast
Channel: yuswohady.com
Viewing all 363 articles
Browse latest View live

Taker, Giver, Matcher

$
0
0

Saat ini saya sedang getol menyelesaikan riset untuk buku saya terbaru berjudul Giving Leader yang insya Allah terbit bulan agustus 2014 mendatang. Pengembaraan riset melabuhkan saya pada buku karya profesor muda nan jenius, Adam Grant, dari sekolah bisnis Wharton. Buku fenomenal ini berjudul Give and Take (2013). Menurut profesor psikologi organisasi berusia 31 tahun ini, orang dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu: Giver, Taker, dan Matcher.


“Dog-Eat-Dog” World
Taker adalah sosok selfish yang selalu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. “Kepentingan diri sendiri adalah panglima,” begitu kira-kira semboyan hidup mereka. Mereka cenderung tak peduli pada orang lain. Ia peduli kepada orang lain sejauh itu menguntungkan bagi dirinya. Dalam setiap relasi dengan pihak lain ia selalu berpikir harus mendapatkan lebih banyak dari orang lain, dibanding yang mereka berikan: “get more than they give.”

Sosok Taker meyakini bahwa dunia ini penuh persaingan kejam dimana satu sama lain harus saling memakan (“dog-eat-dog” world). Karena itu mereka meyakini bahwa untuk sukses, mereka harus lebih unggul dan bisa mengalahkan orang lain. Untuk sukses dalam karir, bisnis, atau politik mereka harus mampu melemahkan bahkan membinasakan orang lain sehingga ia menjadi stand-out bertabur keponggahan dan decak kagum.

Tak usah sulit-sulit membayangkan, coba saja lihat dog-eat-dog world ini tercermin dalam parsaingan antar caleg bulan lalu. Mindset para Taker sangat simpel: Sukses mereka membawa konsekuensi tidak suksesnya orang lain. Itu sebabnya dunia di benak mereka layaknya sebuah permainan menang-kalah (zero-sum game).

Untuk bisa lebih unggul maka Taker berupaya mati-matian membuktikan kompetensi dengan mempromosikan diri (self-promoting) dan menonjolkan kredit yang didapat dari setiap upaya yang mereka lakukan (bahkan kalau perlu mencuri kredit dan kontribusi orang lain). Taker selalu dibayang-bayangi obsesi untuk selalu menjadi pemenang (winner), karena bagi mereka menjadi pecundang (loser) adalah keaiban paling nista dalam hidup. Dunia Taker adalah dunia sikut-sikutan yang destruktif dan melelahkan.

Dengan keprihatinan mendalam (sambil menelan ludah, hehehe..) saya katakan sebagian besar dari kita punya mindset dan cara berpikir Taker ini. Itulah gambaran mahluk lemah nan sombong bernama manusia.

Other-Focused
Giver memiliki mindset yang bertolak belakang dibanding Taker. Giver selalu menginginkan memberi lebih banyak ke orang lain dibanding yang mereka dapat: “give more than they get”. Kalau Taker selalu “self-focused”, maka Giver justru “other-focused”. Mereka lebih fokus memberikan kontribusi dan manfaat kepada orang lain ketimbang mendapatkan sesuatu dari orang lain. Kenikmatan hidup seorang Giver didapat ketika mereka bisa memberikan waktu, tenaga, uang, atau ilmu kepada orang lain tanpa berharap mendapat imbalan apapun.

Seorang Giver tidak ditentukan oleh banyaknya sumbangan filantropis yang diberikan seseorang kepada orang lain. Walaupun Bill Gates misalnya, memberikan triliunan rupiah sumbangan untuk kaum papa, bisa jadi ia masuk golongan Taker kalau kepentingan udang di balik batunya begitu dominan. Jadi seorang Giver ditentukan oleh pola pikir, sikap, dan tindakan yang selalu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan mereka sendiri. Untuk menjadi seorang Giver Anda tak harus ekstrim menjadi Bunda Teresa atau Mahatma Gandhi yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk orang lain. Dengan porsi dan kemampuan yang dimiliki, kita bisa menjadi seorang Giver.

Lalu apa itu Matcher? Matcher ada di tengah-tengah antara Taker dan Giver. Mereka memiliki mindset bahwa ketika memberikan sesuatu kepada orang lain, mereka harus mendapatkan imbalan yang sepadan. Kalau Giver ikhlas memberikan kemanfaatan kepada orang lain, maka Matcher selalu berhitung dengan jeli antara apa yang diberikan dan apa yang didapat. Pola pikir Matcher selalu dilandasi prinsip keadilan dan pertukaran kemanfaatan yang ditelisik betul cost-benefit nya.

Winning Giver
Kalau Anda ditanya: “Mana di antara Taker, Giver, dan Matcher yang paling sukses dalam karir, bisnis, dan politik?” “Dan mana yang paling berkecenderungan gagal?” Apa kira-kira jawaban Anda? Secara common sense Anda pasti sependapat dengan saya, bahwa Giver pastilah berkecenderungan untuk lebih tidak sukses dalam karir, bisnis, dan politik dibandingkan Taker dan Matcher. Ya, karena Anda pasti menduga bahwa Giver adalah sosok yang nrimo, tidak ambisius, rela berkorban untuk kebaikan orang lain, dan bahkan ikhlas mengorbankan kesuksesannya demi kesuksesan orang lain.

Bagan: “Success Ladder”

Anda tidak salah. Survei Adam Grant mengonfirmasi hal tersebut. Kalau digambarkan dalam “tangga kesuksesan” (lihat bagan) dimana dasar tangga menunjukkan orang-orang yang paling tidak sukses (“the loser”) dalam karir, bisnis, dan politik; sementara puncak tangga mewakili orang-orang yang paling sukses (“the winner”). Survei Adam Grant di berbagai lapangan pekerjaan mulai dari dokter, insinyur, salesman, pengusaha, hingga politisi menemukan bahwa posisi “the loser” banyak diisi oleh para Giver.

Pertanyaannya kemudian, mana dari Taker, Giver, dan Matcher yang menduduki posisi top performer alias “the winner”? Sekali lagi dengan common sense, Anda pasti menduga “the winner” akan banyak diduduki oleh para Taker yang selintas ambisius bahkan seringkali menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan dan meraih kesuksesan. Anda salah besar. Survei Adam Grant menghasilkan temuan yang mencengangkan. Seperti tampak pada bagan, rupanya posisi top performers banyak diisi oleh para Giver juga. Taker dan Matcher justru banyak menempati posisi “the mediocre” alias suksesnya nanggung (setengah-setengah).

Kalau demikian kenyataannya, lalu kesimpulannya apa? Inspirasi paling berharga dari temuan itu adalah bahwa, untuk sukses Anda tak harus menjadi predator bagi orang lain: menjadi Taker. Anda bisa mencapai puncak tangga kesuksesan dengan keutamaan karakter mulia; dengan spirit of giving; dengan mental keberlimpahan, dengan keikhlasan untuk menjadi rahmat bagi orang lain; dengan membantu dan memberi kemanfaatan bagi sesama; dengan menjadi “kendaraan” bagi kesuksesan orang lain. Anda harus menjadi orang sukses yang Giver, bukan Taker. Alangkah indahnya bumi dan alam seisinya jika ia didiami oleh para Givers.

Tapi ingat, tak semua Giver bisa menjadi top performer dan “the winner”. Banyak juga Giver yang justru terperosok menjadi “the loser”. Bagaimana kiat untuk menjadi Giver yang “the winner”, bukan “the loser”? Mau dijawab tapi otaknya sudah mampet euy. So, minggu depan aja dilanjutin ya :D


Sukses Karena Memberi

$
0
0

*Dimuat di KompasKlass, Jumat 9 Mei 2014

Ketika keserakahan meradang, dunia yang kita ciptakan adalah dunia muram yang penuh diwarnai saling sikut, makan, fitnah, dan membinasakan. Jika demikian, manusia bisa menjadi “predator” bagi manusia lain.

Aksi predator ini terjadi diberbagai lapangan, mulai dari karier, bisnis, maupun politik. Tempat kerja, misalnya, sekadar menjadi ajang perebutan posisi dan jabatan. Karyawan saling sikut. Pasar menjadi ajang persaingan bisnis mematikan (survival of the fittest) dimana yang besar menggurita menumpas yang kecil. Pemilu yang begitu terhormat bisa tersulap menjadi ajang saling fitnah dan penghancuran karakter lawan politik.

Sumbernya adalah satu, yaitu masing-masing dari kita selfish, menempatkan kepentingan diri pribadi di atas kepentingan mana pun. Dengan mindset seperti ini, kita berlomba-lomba untuk menjadi yang paling hebat, kaya, populer, pintar, dan berkuasa. Selain itu, untuk menjadi yang paling hebat di karier, bisnis, atau politik, kita harus bersaing mengalahkan orang lain, kalau perlu dengan menghalalkan segala cara.

Kalau sudah demikian, kita cenderung membenamkan diri pada jebakan permainan menang-kalah (zero-sum game), yaitu menangnya kita membawa akibat kalahnya orang lain, besarnya kita membawa konsekuensi kecilnya orang lain, dan kuatnya kita berujung pada lemahnya orang lain.

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang makin egois dan bisa destruktif ini, percik-percik pemikiran Adam Grant dalam buku Give and Take (Viking, 2103) menjadi sebuah oase yang menyejukkan. Melalui buku yang dinobatkan sebagai buku terbaik 2013 oleh Amazon, Financial Times, Wall Street Journal, Fortune, dan Washington Post ini, Grant menyodorkan sebuah alternatif pendekatan baru kepada kita dalam meniti tangga-tangga kesuksesan.

Pendekatan baru ini menggeser paradigma dari self-centered ke other-centered, dari mindset kelangkaan (scarcity) ke keberlimpahan (abundance), dan dari pandangan banyak menuntut (taking-focused) ke banyak memberi (giving-focused).

Taker, Giver, dan Matcher
Dengan menyajikan riset akademis yang ekstensif, profesor termuda sekolah bisnis Wharton ini (kini 31 tahun) meyakinkan kita semua bahwa memberi (uang, waktu, tenaga, ilmu, atau pengalaman) dan membantu orang lain bisa menjadi faktor penentu kesuksesan yang luar biasa dalam karier, bisnis, maupun politik. Untuk membuktikan tesisnya, Grant membagi tiga tipe orang berdasarkan reciprocity style mereka dalam berelasi sosial, yaitu Taker, Giver, dan Matcher.

Taker adalah sosok selfish yang selalu menempatkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. “Kepentingan diri sendiri adalah panglima,” begitu kira-kira semboyan hidup tipe ini. Mereka cenderung tak peduli pada orang lain, atau peduli sejauh itu menguntungkan bagi dirinya. Dalam setiap relasi dengan pihak lain, mereka selalu berpikir harus mendapatkan lebih banyak dari orang lain, dibanding yang diberikan, “get more than they give.”

Sosok Taker meyakini dunia ini penuh persaingan kejam yang satu sama lain harus saling memakan (“dog-eat-dog” world). Untuk sukses, mereka harus lebih unggul dan bisa mengalahkan orang lain. Untuk sukses dalam karier, bisnis, atau politik, mereka harus mampu melemahkan, bahkan membinasakan orang lain sehingga berhasil menjadi stand-out bertabur kepongahan dan decak kagum. Dunia Taker adalah dunia sikut-sikutan yang destruktif dan melelahkan. Sebagian besar dari kita memiliki mindset Taker ini.

Giver memiliki mindset yang bertolak belakang dibanding Taker. Giver selalu menginginkan memberi lebih banyak ke orang lain dibanding yang mereka dapat, “give more than they get”. Kalau Taker selalu self-focused, Giver justru other-focused. Mereka lebih fokus memberikan kontribusi dan manfaat kepada orang lain ketimbang mendapatkan sesuatu dari orang lain. Kenikmatan hidup seorang Giver didapat ketika mereka bisa memberikan waktu, tenaga, uang, atau ilmu kepada orang lain tanpa berharap mendapat imbalan.

Lalu apa itu Matcher? Matcher ada di tengah-tengah antara Taker dan Giver. Mereka memiliki mindset, ketika memberikan sesuatu kepada orang lain, mereka harus mendapatkan imbalan yang sepadan. Kalau Giver ikhlas memberikan kemanfaatan kepada orang lain, Matcher selalu berhitung dengan jeli antara apa yang diberikan dan apa yang didapat. Pola pikir Matcher selalu dilandasi prinsip keadilan dan pertukaran kemanfaatan yang ditelisik betul cost benefit-nya.

Mencengangkan
Pertanyaannya, mana di antara Taker, Giver, dan Matcher yang paling sukses dalam karier, bisnis, dan politik? Secara common sense, Anda pasti sependapat dengan saya bahwa Taker berkecenderungan paling sukses dan Giver paling tidak sukses. Ya, hal ini karena Anda pasti menduga bahwa Taker adalah sosok yang high achiever dan ambisius; sementara Giver adalah sosok yang nrimo, tak punya ambisi, rela berkorban untuk kebaikan orang lain, dan bahkan ikhlas mengorbankan kesuksesannya demi kesuksesan orang lain.

Dugaan Anda tepat. Survei Grant mengonfirmasi hal tersebut. Kalau digambarkan dalam “tangga kesuksesan” (success ladder) dengan dasar tangga menunjukkan orang-orang yang paling tidak sukses (“bottom performers”), sementara puncak tangga mewakili orang-orang yang paling sukses (“top performers”). Survei Grant di berbagai lapangan pekerjaan, dari dokter, insinyur, salesman, pengusaha, hingga politisi menemukan bahwa posisi bottom performers banyak didominasi sosok Giver.

Pertanyaannya kemudian, mana dari Taker, Giver, dan Matcher yang menduduki posisi top performer? Sekali lagi dengan common sense, Anda pasti menduga top performers akan banyak diisi oleh para Taker yang ambisius bahkan sering kali menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan dan meraih kesuksesan. Anda salah besar. Survei Grant menghasilkan temuan yang mencengangkan, karena rupanya posisi top performers banyak didominasi oleh para Giver juga. Menariknya, Taker dan Matcher justru memiliki capaian medioker alias mencapai kesuksesan yang setengah-setengah.

Melalui karya masterpiece ini, Grant memberi insight luar biasa yaitu untuk sukses, Anda tak harus menjadi “predator” bagi orang lain. Anda tak harus menjadi Taker. Anda bisa mencapai puncak tangga kesuksesan dengan keutamaan karakter mulia, spirit of giving, mental keberlimpahan, keikhlasan untuk menjadi rahmat bagi orang lain, membantu dan memberi kemanfaatan bagi sesama, serta menjadi “kendaraan” bagi kesuksesan orang lain. ***

Tulisan 2
“Spirit of Giving” dalam Kepemimpinan Bisnis

Menarik mencari tahu kenapa kesuksesan sosok Giver lebih hebat dan bermakna dibandingkan Taker. Hal ini kental terlihat dalam konteks kepemimpinan bisnis. Seperti diuraikan buku ini, kesuksesan seorang Giving Leader (pemimpin dengan karakter seorang Giver) memiliki fondasi yang kokoh dan bersifat langgeng dibanding Taking Leader. Kenapa? Buku ini memberikan jawaban meyakinkan.

“Sukses Lari Maraton”
Salah satu argumentasi yang ditawarkan adalah bahwa kesuksesan Giving Leader menciptakan apa yang disebut Grant “ripple effect”, yaitu sukses mereka menghasilkan keberhasilan bagi orang-orang di sekitarnya. Orang-orang sekitar yang telah “berutang kesuksesan” kepada si Giving Leader itulah yang kemudian bahu-membahu membantu balik kesuksesannya. Ripple effect ini terus berulang membentuk sebuah lingkaran malaikat (virtuous circle) sehingga kedua belah pihak menuai kesuksesan secara bersama-sama melalui mekanisme win-win game, bukan zero-sum game.

Grant menyebut sukses sosok Giving Leader sebagai “sukses lari maraton”, bukan “sukses lari 100 meter”. Sukses Giving Leader adalah sukses yang terbentuk dalam kurun waktu lama dengan cara menebar benih-benih kebaikan dan kemanfaatan kepada pihak lain. Benih kebaikan dan kemanfaatan ini berkembang pelan-pelan sehingga kemudian membentuk goodwill berupa kepercayaan (trust), reputasi, empati, koneksi emosional, atau pengertian di kalangan orang-orang yang telah dibantu dan mendapatkan manfaat darinya.

Itu semua menjadi “modal sosial” kunci bagi kesuksesan jangka panjang si Giving Leader. Di kalangan Giving Leader, hukum “mestakung” (semesta mendukung) bekerja dengan sangat massif. Dalam bahasa awam, hal ini sering disampaikan dengan ungkapan, “the more you give, the more you get”.

Karena itu, sosok Giving Leader adalah tipe pemimpin yang merintis kesuksesan dalam kurun waktu lama, bukan kesuksesan instan. Kata Grant, “Being a giver is not good for a 100-yard dash, but it’s valuable in a marathon.”

Rahmat Sekalian Alam
Walaupun studi akademis mengenai peran spirit of giving dalam kepemimpinan bisnis relatif baru, di dunia praktis, sudah banyak pemimpin bisnis menerapkannya. Di tingkat dunia, kita mengenal sosok Giving Leader seperti Anita Roddick (The Body Shop), Muhammad Yunus (Grameen), Tony Hsieh (Zappos), atau Blake Mycoskie (TOMS) yang memimpin perusahaan mereka dengan prinsip-prinsip giving seperti dirumuskan Adam Grant.

Sementara itu, di Indonesia, selama setahun terakhir, saya melakukan riset untuk mengkaji Giving Leader di Tanah Air. Saya menemukan sosok-sosok seperti Jakob Oetama (Kompas-Gramedia Group), Sudhamek (Garuda Food), Arief Yahya (Telkom), Johari Zein (JNE), David Marsudi (D’Cost), atau Mohammad Nadjikh (Grup Kelola Mina Laut) yang memimpin dengan keikhlasan (selfless), mentalitas berkelimpahan (abundance), dan cinta (love) untuk melayani dan memberikan kemanfaatan bagi orang lain baik konsumen, masyarakat, bahkan negara.

Ada karakteristik yang sama dari para Giving Leader itu. Mereka memosisikan perusahaan yang mereka pimpin bukan sebagai economic animal yang menjadi predator bagi pihak lain, melainkan sebagai katalisator perubahan menuju kebaikan bagi konsumen, masyarakat, dan negaranya. “They are servants who facilitate the success of others.” Mereka membawa perusahaan yang mereka pimpin menjadi rahmat bagi umat manusia dan alam semesta (rahmatan lil alamin). Dengan spirit of giving, mereka mampu membawa perusahaannya tak hanya mencapai kesuksesan, tetapi juga kemuliaan.

Dengan gaya kepemimpinan humanis penuh cinta, Jacob Oetama mengarahkan KKG untuk turut memberikan andil dalam pengembangan Indonesia, seperti pernah dikatakannya, “Bersyukur kita dipercaya menjadi perantara rahmat bagi banyak orang.” Arief Yahya mendorong setiap Telkom-ers “berpikir mega” yaitu Telkom harus membawa berkah pertama-tama bagi negara, masyarakat, konsumen, dan baru kemudian terakhir kepada perusahaan. Prinsip dasar yang selalu diajarkannya ke karyawan adalah “the more you give, the more you get.”

Mohammad Nadjikh punya cara sendiri untuk menjalankan prinsip giving dalam mengelola perusahaannya. Melalui Grup Mina Kelola Laut, ia berjuang mengangkat taraf hidup nelayan dengan membangun pabrik-pabrik pengolahan ikan di sepanjang pantai Nusantara untuk menampung hasil tangkapan mereka. Misinya cuma satu seperti diungkapkan ke saya beberapa minggu lalu, “Agar para nelayan kita tetap sejahtera menjalani profesi nelayan di kampung, bukannya meninggalkannya untuk menjadi tukang batu di kota.”

Giving leadership adalah model kepemimpinan masa depan. Ketika bumi kian kurus dan tercemar dan persoalan sosial (dari kemiskinan hingga korupsi) kian akut, dunia bisnis memerlukan sosok pemimpin yang tak hanya piawai menjadikan perusahaannya sebagai mesin uang, tetapi juga menjadi solusi sosial dan rahmat bagi sekalian alam.


Judul: Give and Take: A Revolutionary Approach to Success
Pengarang: Adam Grant
Halaman: 320
Penerbit: Viking, 2013

The Winning Giver

$
0
0

Dalam tulisan minggu lalu saya membahas temuan menarik dari riset yang dilakukan Adam Grant, penulis buku Give and Take. Menurutnya, ada dua jenis Giver, yaitu Giver yang masuk dalam kelompok bottom performer (untuk gampangnya saya sebut Losing Giver) dan Giver yang masuk ke dalam top performer (saya sebut Winning Giver). Pertanyaan menariknya, kenapa ada Losing Giver dan  Winning Giver? Apa yang membedakan keduanya? Dan yang paling penting, bagaimana cara untuk menjadi Winning Giver dan bukannya terperosok menjadi Losing Giver?

Tak Kalah Ambisius
Pertama-tama saya perlu mempertegas terlebih dahulu persepsi dan kesalahan-pahaman kita mengenai sosok Giver. Membayangkan sosok Giver vs Taker besar kemungkinan Anda akan terjebak pada stereotype bahwa seorang Taker adalah sosok yang ambisius, pekerja keras, haus capaian (high achiever), hobi berkompetisi, ngotot dalam meraih kesuksesan. Sementara Giver adalah sosok nrimo, suka memberi sumbangan, (filantropis), gampang mengalah, tak punya ambisi apapun, menghindari kompetisi, dan tak punya sense of achievement.

Anda salah besar. Seorang Giver juga bisa tak kalah ambisius dibanding Taker. Mereka juga bisa sangat haus capaian melebihi Taker. Mereka juga bekerja tak kalah keras dan ngotot dibanding Taker dalam mewujudkan mimpi dan keinginannya. Justru Winning Giver banyak diisi oleh sosok Giver yang ambisius, high achiever, pekerja keras, dan sangat produktif. Sosok pemimpin bisnis Winning Giver seperti Arief Yahya (Telkom), Stanley Atmadja (Adira Finance), David Marsudi (D’Cost), atau Buntoro (MAK) adalah sosok-sosok high achiver yang ngotot mengejar target-target perusahaan.

Kalau sama-sama ambisius dan haus capaian, lalu apa beda mendasar Giver dan Taker? Bedanya, seorang Giver juga ambisius dan haus capaian tapi tetap dalam konteks memberikan value dan kemanfaatan kepada pihak lain (konsumen, karyawan, partner, masyarakat, negara, bahkan umat manusia), bukan melulu untuk dirinya sendiri. Jadi motif yang mendasari tindakan Giver dan Taker inilah yang membedakan keduanya: yang pertama fokus pada other-interest, sementara yang kedua pada self-interest.

Menariknya, misi dan tanggung jawab untuk memberikan value dan kemanfaatan terbaik kepada pihak lain ini justru menjadi pengungkit (leverage) bagi seorang Giver untuk bekerja sekeras mungkin dan mencapai personal excellence. Motif memberi kemanfaatan kepada pihak lain menjadi “asupan energi” luar biasa bagi mereka dalam mewujudkan great achievement, tak cukup sekedar good achievement.

Selfless vs Otherish
Kalau demikian keadaannya, pertanyaannya kemudian: apakah menjadi seorang Giver harus tak memiliki kepentingan pribadi apapun? Untuk menjawabnya, Grant membagi Giver ke dalam dua tipe, yaitu: Selfless Giver dan Otherish Giver. Selfless Giver adalah sosok Giver yang sama sekali tak memiliki kepentingan pribadi. Seluruh upaya dan tindakannya sepenuhnya didedikasikan untuk orang lain, tanpa pernah sekecilpun memikirkan imbalan. Mereka adalah tipe Giver yang nrimo, nir ambisi, minim sense of achievement dan tak cukup memiliki sense of purpose atas segala tindakan yang dilakukannya. Celakanya, menurut survei Grant, tipe Giver semacam ini justru masuk dalam kelompok Losing Giver alias berada di posisi bottom performer. Secara common sense hal ini wajar mengingat Giver jenis ini bisa dengan mudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh sosok Taker.

Jenis Giver kedua adalah Otherish Giver, yaitu Giver yang fokus untuk memberikan value dan kemanfaatan kepada pihak lain, tapi tetap memiliki tujuan ambisius untuk mencapai kesuksesan pribadi. Nah, ambisi untuk mencapai kesuksesan pribadi tersebut dimaksudkan agar ia bisa memberikan value, kemanfaatan, dan kesuksesan yang lebih besar lagi kepada pihak lain. Giver tipe inilah, menurut survei Grant, yang justru banyak menempati posisi top performer. Merekalah The Winning Givers.

Azim Jamal dan Harvey McKinnon dalam buku The Power of Giving (2013) menulis, “If you are weak, you can’t take care of others, and if you have little to give, you won’t reach your full potential.” Kalau Anda tidak sukses, bagaimana mungkin Anda bisa menjadikan orang lain sukses. Kalau Anda tidak semakin sukses, bagaimana Anda bisa menjadikan orang lain semakin sukses. Singkatnya, misi dasar untuk menyukseskan orang lain menjadi sebuah energi yang tak pernah habis bagi Otherish Giver untuk mencapai sukses pribadi. Core belief inilah yang menjadi keutamaan karakter seorang Winning Giver sekaligus menjadi sumber kesuksesannya.

Mestakung
Dengan motif memberi seperti saya uraikan di depan, Winning Giver tak hanya mampu mewujudkan good success, tapi lebih jauh lagi great success. Dan tak hanya itu, di samping mencapai sukses luar biasa, Winning Giver juga menciptakan kemuliaan dari kesuksesan itu. Singkatnya, mereka menghasilkan sukses yang mulia. Kenapa demikian?

Kesuksesan Winning Giver menciptakan apa yang disebut Grant “ripple effect”, dimana sukses mereka menghasilkan keberhasilan bagi orang-orang di sekitarnya. Orang-orang sekitar yang telah “berhutang kesuksesan” kepada si Winning Giver itulah yang kemudian bahu-membahu membantu balik kesuksesan si Winning Giver. Ripple effect ini terus berulang membentuk sebuah lingkaran malaikat (virtuous circle) sehingga kedua belah pihak menuai kesuksesan secara bersama-sama melalui mekanisme win-win game, bukan zero-sum game.

Sukses Winning Giver adalah sukses yang terbentuk dalam kurun waktu lama dengan cara menebar benih-benih kebaikan dan kemanfaatan kepada pihak lain. Benih kebaikan dan kemanfaatan ini berkembang pelan-pelan sehingga kemudian membentuk goodwill berupa kepercayaan (trust), reputasi, empati, koneksi emosional, atau pengertian di kalangan orang-orang yang telah dibantu dan mendapatkan manfaat darinya. Karena itu, sosok Winning Giver adalah tipe pemimpin yang merintis kesuksesan dalam kurun waktu lama, bukan kesuksesan instan.

Itu semua menjadi “modal sosial” kunci bagi kesuksesan jangka panjang si Winning Giver. Di kalangan Winning Giver, hukum “mestakung” (semesta mendukung) bekerja dengan sangat massif, dalam bentuk dukungan dari orang-orang yang pernah dibantu kesuksesannya di waktu-waktu sebelumnya. Dalam bahasa awam, hal ini sering disampaikan dengan ungkapan, “the more you give, the more you get”.

#KelasInspirasi di Ranch Market

$
0
0

Tak banyak brand lokal yang sukses memosisikan brand-nya di atas brand global. Yang umum terjadi brand global di posisi atas dengan harga premium, sementara brand lokal cukup puas ada di bawahnya dengan harga ekonomis.

Tapi Ranch Market lain. Gerai ritel yang berdiri tahun 1997 ini justru gagah menduduki posisi sebagai premium brand, sementara gajah-gajah global seperti Carrefour, Giant, atau Lotte justru ada di bawahnya memosisikan diri sebagai value brand. Posisi premium dan diferensiasi Ranch Market paling gampang terlihat dari product selection-nya yang tak mudah ditemuai di gerai lain mulai dari produk organik hingga makanan khusus untuk penderita diabetes, jantung, atau untuk anak autis.

Untuk bisa meraih prestasi membanggakan ini tentu saja tak mudah. Pertama, Ranch Market membangun model bisnis yang unik dan sulit ditiru oleh pesaing. RM mengusung blue ocean concept dengan cara menggabungkan gerai retail dan resto premium dengan chef kelas hotel bintang lima. Kini program cooking class Ranch Market menjadi wahana ampuh untuk merekatkan pelanggannya dengan peritel yang memiliki flagship store di GI mall ini.

Kedua, Ranch Market membangun sebuah sistem manajemen berkelas dunia untuk mewujudkan quality excellence dari produk-produk yang dijualnya. Gerai yang banyak memiliki pelanggan ekspatriat ini mengantongi ISO 22000 untuk keamanan makanan dan merupakan satu-satunya peritel yang memiliki sertifikat HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) 9000 yang sangat bergengsi. “Keeping the food safe is our full time job,” semboyannya. Tak heran jika kualitas dan kesegaran buah, sayur, daging, dan ikan Ranch Market tak tertandingi oleh pesaing.

Ketiga, Ranch Market membangun memorable store experience dengan mengandalkan staf di gerai yang memainkan peran sebagai konsultan dan spesialis bagi pelanggan. Ranch Market misalnya, memiliki BBQ specialist yang ahli dalam memilih dan mengolah daging kelas satu untuk pesta BBQ Anda. Ranch Market juga memiliki patisserie chef kelas dunia yang didatangkan dari Jepang

Bagaimana kiat-kiat Ranch Market membangun premium brand berkelas dunia? Yuk kita simak sharing dari Nugroho Setiadharma sang nakhoda di #KelasInspirasi Komunitas Memberi @memberiID:

Hari/Tanggal: Jumat, 16 Mei 2014, Pk. 14-16
Tempat: Kantor Pusat Ranch Market, Jl. Pesanggrahan no. 2, Jakarta Barat
Topik: Building Premium Brand through Product Leadership and Memorable Customer Experience
Pembicara: Nugroho Setiadharma, Presiden Direktur, Ranch Market

Untuk hadir, cukup daftar dengan mengirim data kamu: Nama, No HP, akun Twitter, alamat email, dan nama perusahaan/lembaga (kalau ada) ke email: kelas.komunitasmemberi@gmail.com dengan subject email: Daftar #KelasInspirasi. Sorry euy, web www.memberi.org lagi down terpaksa manual.

Gratis!!! Tapi karena tempat terbatas hanya untuk 100 orang… cepetan daftar!!!

Nadjikhnomic

$
0
0

Minggu lalu saya mampir di kantor pusat Kelola Mina Laut (KML) Group di Gresik diundang oleh pendirinya pak Mohammad Nadjikh. Saya ke Gresik dalam rangka riset untuk buku saya The Giving Leader dengan mewawancarai pak Nadjikh dan jajaran manajemen KML. Sebelumnya saya sudah melakukan studi literatur mengenai sepak terjang pak Nadjikh di industri pengolahan hasil laut, tapi baru tahu betul siapa sosok Mohammad Nadjikh setelah praktis seharian ketemu.

Bagi saya pak Nadjikh adalah sosok giving leader hebat yang populasinya langka di negeri ini. Latar belakangnya yang berasal dari keluarga penjual ikan miskin di Gresik dan pola hidup prihatin sejak kecil (saat kuliah di IPB, ayahnya meninggal dan ia harus menggantikan sang ayah untuk mengasuh tujuh adiknya) telah menempa dan membentuk karakter pak Nadjikh menjadi entepreneur yang ulet dan mementingkan banyak orang, tidak selfish. Misi hidupnya cuma satu, membawa kemanfaatan kepada banyak orang.

Ngopeni yang Kecil
Yang paling menarik saya dari sosok Nadjikh adalah niat ingsun di balik ia berbisnis mengembangkan pabrik-pabrik pengolahan ikan di berbagai pantai perairan Nusantara yang kini telah mencapai puluhan dengan omset triliunan rupiah. Niatnya mulia untuk mengangkat harkat-martabat nelayan kita. Berbeda dengan kebanyakan pengusaha besar konglomerat yang serakah menguasai bisnis dari hulu hingga hilir, pak Nadjikh fokus hanya mengembangkan industri pengolahan ikan dimana bahan bakunya ia beli dari para nelayan.

Sengaja ia tak melebarkan bisnisnya di usaha penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar nan modern, karena ia sadar itu menjadi “jatahnya” para nelayan. “Saya tak mau menutup rezeki mereka,” ujarnya. Karena berasal dari keluarga penjual ikan, Nadjikh tahu persis bagaimana susahnya kehidupan nelayan yang senantiasa dipermainkan oleh para tengkulak. Maju kena mundur kena: ketika tangkapan ikan sedang banyak harga dibikin jatuh oleh tengkulak; begitu juga ketika tangkapan sedang sedikit.

Karena itu, seperti diungkapkannya ke saya minggu lalu, misinya membangun pabrik pengolahan ikan di sepanjang pesisir pantai Nusantara adalah untuk memutus rantai kemiskinan nalayan. “Saya sedih karena dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai nelayan semakin tidak menguntungkan karena ulah tengkulak. Akibatnya, banyak nelayan kita pada lari ke kota untuk menjadi tukang batu,” ujarnya.

Saya melihat, di KML sudah memainkan peran layaknya Bulog (Badan Urusan Logistik) yang  menjaga stabilitas harga di tingkat nelayan. Ketika musim panen ikan dan pasok berlebih, harga bisa tetap dijaga pada tingkat yang wajar. Begitu juga sebaliknya ketika tangkapan ikan sedang paceklik. Dengan begitu nelayan memiliki kepastian dalam berusaha dengan imbal hasil yang menarik. KML bukannya menjadi predator yang memberangus sumber nafkah nelayan, tapi justru mengayominya. Saat ini bisnis KML didukung oleh 600 UKM (pengepul) dan 125 ribu nelayan di sepanjang perairan Nusantara mulai dari Gresik, Madura, Makassar, Kendari, hingga Ambon. Istilah kerennya sekarang: “collaboration & cocreation“. “Salah satu keunggulan KML adalah ngopeni (mengayomi) yang kecil,” ujarnya bangga.

“Kitchen of Indonesia”
Mengenai model bisnis yang ia bangun melalui kermitraan dengan nelayan, pak Nadjikh punya misi yang amat mulia. Yaitu menjadikan KML sebagai “dapurnya Indonesia” (“the kitchen of Indonesia”). Apa maksudnya? Pak Nadjikh menempatkan KML sebagai dapur yang memasak ikan-ikan hasil tangkapan nelayan kita di seluruh pesisir Nusantara. Kenapa dimasak? Agar ikan-ikan tersebut memiliki nilai tambah (value added) tinggi di pasar. Harap diketahui, sebagian besar produk olahan ikan, udang, dan kepiting KML saat ini diekspor ke Jepang, Eropa, dan Amerika dengan harga premium.

Upaya mendongkrak nilai tambah ikan-ikan hasil tangkapan nelayan ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengolahnya dengan menggunakan teknik global best practice sehingga menghasilkan world-class quality sehngga orang-orang kaya di negara maju tidak ogah mengonsumsinya. Saat ini produk KML diekspor di 30 negara-negara maju di Amerika, Eropa, dan Asia. Kini misalnya, KML merupakan eksportir teri nasi terbesar di pasar Jepang.

Kedua dengan cara mengemas dan mem-branding. Harap diketahui, saat ini KML menghasilkan produk-produk olahan ikan yang dikemas dengan beragam brand seperti Prima Star, Panorama, Minaku, dan Mina Kita, yang dijual di gerai-gerai ritel modern maupun ekspor.

Saat ini pak Nadjikh melangkah jauh untuk membawa KML menjadi “kitchen of Indonesia” tak hanya untuk produk kelautan tapi juga untuk produk pertanian seperti sayuran, biji-bijian seperti edamame (kedelai Jepang), dan lain-lain. Tak hanya itu, sekarang ia juga mengembangkan BMT (Baitul Mal wa Tamwil) semacam koperasi simpan-pinjam yang akan membantu pengelolaan keuangan para nelayan yang diayominya.

Bisnis Merakyat
Model bisnis pro rakyat kecil yang dijalankan oleh pak Nadjikh adalah aset bangsa yang harusnya menjadi teladan bagi pengusaha lain di seluruh pelosok negeRI. Di dalam model bisnis tersebut hakikat bahwa perusahaan yang besar mengayomi yang kecil terjadi melalui hubungan penuh cinta dan keikhlasan. Bagi saya bisnis yang dijalani pak Nadjikh adalah rahmatan lil alamin karena membawa kemanfaatan bagi ribuan nelayan miskin dan strategis bagi Indonesia yang 2/3 wilayahnya adalah laut. Bisnis pak Nadjikh sarat kearifan dan kemuliaan.

Tulisan ini saya beri judul Nadjikhonomic terus terang diilhami oleh istilah yang begitu populer tahun 1990-an di era pak Harto, yaitu Habibinomic. Menurut pendekatan ini, Pak Habibie yang waktu itu adalah Menteri Riset dan Teknologi, mengusulkan bahwa ekonomi Indonesia haruslah didorong oleh sektor-sektor industri berteknologi tinggi (industri strategis) yang memiliki daya saing dan nilai tambah tinggi. Ketika industri hitech ini ditopang oleh industri pendukung (supporting industry) kecil/menengah dalam jumlah besar maka diharapkan efek kemakmuran yang menetes ke bawah (trickle down effect) akan berlangsung.

Saya menyebut model bisnis kemitraan pelaku ekonomi besar dan gurem ala pak Nadjikch di atas dengan istilah Nadjikhnomic karena saya melihat model tersebut bisa dikembangkan menjadi platform pembangunan industri nasional seperti halnya Habibinomic. Bedanya,  menurut saya Nadjikhnomic justru lebih down to earth dan relevan karena mengacu kepada kekayaan sumber daya yang dimiliki Indonesia yaitu sumber daya laut, hutan, dan pertanian.

Di samping itu Nadjicknomic lebih pro rakyat kecil dan langsung menyentuh kalangan masyarakat paling bawah yaitu nelayan dan petani miskin. Bahkan pak Nadjikh menyebut model bisnis yang dikembangkannya sebagai “model bisnis anti kemiskinan”. Dengan begitu, trickle down effect tidak sekedar menjadi utopia, tapi lebih feasible untuk diwujudkan.

Kalau disuruh memilih apakah Habibinomic atau Nadjiknomic, terus terang saya lebih memilih yang terakhir. “Hidup nelayan Indonesia!!!”

#KelasInspirasi di Sidji Batik, Yogya

$
0
0

Mas Karman @KarmanMove adalah sosok #givingleader yang luar biasa. Ia menjalankan bisnis batiknya dengan spirit of giving yang sarat pearifan dan kemuliaan. Persis seperti kata-kata bijak “the more you give, the more you get”, bisnis Sidji Batik di tangan Mas Karman berkembang begitu pesat karena semangat memberinya yang melimpah ruah. Semakin banyak ia memberi, semakin ia mendapatkan keberkahan dan kesuksesan bisnis. “Bagi yang punya usaha, jangan kejar keuntungannya, kejarlah berkahnya maka bisnismu yang berlimpah itu akan mengikuti,” ujarnya mantap.

Bagi saya mas Karman dengan Sidji Batik-nya adalah sosok yang istimewa karena beberapa hal. Pertama, ia adalah seorang brand builder luar biasa. Ciri utama seorang brand builder adalah dia mampu menyuntikkan nilai (value-added) kepada produk atau layanan yang ia kembangkan sehingga bernilai tinggi di pasar. Ia berhasil membawa keagungan dan keeksotikan batik ke pasar Amerika Serikat, Hong Kong, Singapura, Pakistan, bahakn Maroko. Warga dunia kepincut pada rancangan Sidji Batik yang unik dan bersandar pada kearifan lokal.

Setiap desain Sidji Batik hanya diaplikasikan pada satu kain. Karenanya, tidak ada satu pun karya Sidji Batik yang memiliki duplikasi. Andai kata ada pengulangan pola, warnanya pasti berbeda. Sedangkan jika ada pengulangan warna, polanya pasti berbeda dan semua itu adalah batik tulis. Karena itu Sidji Batik mengusung tagline “Limited Handmade Batikworks” yang sekjaligus menjadi core differentiation-nya.

Kedua, mas Karman adalah salah satu pahlawan batik Indonesia karena upayanya melestarikan batik tulis yang dari waktu ke waktu kian tersingkir oleh kemajuan teknologi cetak. Dengan keikhlasan dan ketekunan, mas Karman mbok-mbok pencanting batik agar kearifan budaya Nusantara ini tak punah. Akhir tahun lalu Sidji Batik menggelar Sidji Batik Awards, sebuah ajang penghargaan yang diberikan kepada ibu-ibu sepuh yang selama lebih dari 30 tahun (bahkan 50 tahun) konsisten dan istiqamah menjalani profesi sebagai pembatik tulis. Bisnis tak harus menjadi predator, bisnis seharusnyalah mengayomi yang kecil dan lemah. Dengan begitu Mas Karman mencapai sukses bisnis yang bertabur kemuliaan.

Kita akan bertemu dan mendapat pencerahan dari Mas Karman langsung di lokasi Sidji Batik Studio di Bantul dalam #KelasInspirasi Komunitas Memberi pada:

Hari/Tanggal: Minggu, 25 Mei 2014, Pukul 09.00 – 12.00 WIB
Tempat: Sidji Batik Studio, Desa Wijirejo, Pandak, Bantul, DI Yogyakarta
Tema: “Bring Batik to the World: The Story of Sidji Batik”
Pembicara: Karman, Pendiri Sidji Batik

Jangan lupa, dalam rangka program #GoesToNusantara Komunitas Memberi di Yogya, kami juga akan menggelar #KelasKeterampilan dalam bentuk workshop sehari pada:

Hari/Tanggal: Sabtu, 24 Mei 2014, pukul 09.00 -  17.00 WIB
Tempat: Telkom Witel Yogya, Jl. Yos Sudarso 9, Yogyakarta
Tema: “Branding for UKM”
Fasilitator: Yuswohady, Pakar Pemasaran dan Ketua Umum Komunitas Memberi

Yuk para UKMers Yogya waktunya belajar belajar branding agar kita bisa naik kelas menjadi UKM kelas dunia, ingat tahun depan pasar ASEAN dibuka. Jadi di hari Sabtu (24/5) kita belajar prinsip-prinsip branding untuk UKM dan hari Minggu (25/5) nya mengupas case penerapannya dengan berkunjung langsung ke Sidji Batik Studi dan berdiskusi dengan Mas Karman. Wow.. Belajar yang ruarrr biasa.

Temen-temen UKMers Yogya yang mau ikutan acaranya gratis, cukup daftar dengan mengirim data kamu: Nama, No HP, akun Twitter, alamat email, dan nama perusahaan/lembaga (kalau ada) ke email: kelas.komunitasmemberi@gmail.com dengan subject email: Daftar #KelasInspirasi. Sorry euy, web www.memberi.org lagi down terpaksa manual. CU @ kota Gudeg.

Accidental WOM

$
0
0

Minggu lalu seorang pramugari Garuda Indonesia bikin heboh di jagad Twitter. Pasalnya seorang penumpang asal Kepong, Malaysia “memergoki” sang pramugari sedang khusyu’ menunaikan ibadah sholat sekitar 10 menit setelah pesawat lepas landas. Kagum abis pada kesolehan mbak pramugari, si penumpang sontak memotretnya dengan kamera ponsel dan kemudian menyebarkannya melalui akun Facebook. Sejurus kemudian, decak kagum membahana di jagad Twitter dan Facebook.

Berikut ini komentar akun @sooperboycom di Twitter: “Salut..! Pramugari tertangkap Sholat di dalam Pesawat. http://goo.gl/f1BPJa Ini baru pramugari idaman.” Sementara komentar akun @saptuari bernuansa menyindir kita-kita: “Mbak Pramugari Garuda ini tetap sholat di Pesawat… Subhanallah! Kamu yg di darat gimana?” Dengan word of mouth (WOM) tersebut, tak terhindarkan lagi, brand Garuda Indonesia pun ikut-ikutan melambung setinggi langit. Sang pramugari telah mengharumkan nama Garuda Indonesia.

Authentic
Kenapa “aksi” si pramugari begitu menghebohkan dan memicu positive word of mouth yang luar biasa di dunia maya? Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, it’s touching the heart. Ya, karena peristiwa itu menyentuh hati siapapun yang mengetahuinya. Kesolehan si pramugari menyentuh hati, tak hanya dari sisi emosional, tapi juga sisi spiritual kita. Peristiwa itu menjadi sebuah oase menyejukkan di tengah anggapan miring mengenai profesi pramugari. Peristiwa kecil itu begitu menyentuh lubuk hati terdalam dari si penumpang sehingga kemudian menggerakkannya menyebarkan ke banyak orang melalui media sosial.

Kedua, it’s an engaging story. Peristiwa tersebut menciptakan sebuah cerita yang menggugah oran-orang untuk meresponsnya. Bagaimana si penumpang awalnya punya persepsi negatif alias suudzon kepada si pramugari. Bagaimana ia kemudian kagum dan memotretnya untuk diunggah di Facebook. Juga, bagaimana para netizen kemudian meresponsnya dengan decak-kagum mengharu-biru. Semuanya terjalin menjadi sebuah cerita menghebohkan yang membuat semua orang terlibat dan “terhisap” ke dalamnya.

Ketiga, it’s authentic and spontaneous. Aksi si pramugari maupun si penumpang adalah sebuah peristiwa yang genuine tanpa dibuat-buat, tanpa direkayasa secuilpun. Seluruh jalinan cerita itu merupakan suatu yang otentik karena belum pernah terjadi sebelumnya. Coba Anda bayangkan, apa yang bakal terjadi jika Garuda Indonesia mereka-ulang peristiwa tersebut (bahkan dengan pramugari dan pesawat yang persis sama) dan kemudian menyebarkannya di media sosial? Saya jamin 1000%, bukan decak-kagum yang dituai, justru sebaliknya cemoohan. Ya, karena ketika peristiwa itu direplikasi, maka serta-merta ia akan kehilangan keotentikan dan spontanitasnya, sehingga dampak word of mouth-nya menjadi luntur .

Menjadi Brand Ambassador
Apa pelajaran paling berharga yang kita peroleh dari kasus mbak pramugari? Pesan terpenting yang kita peroleh adalah bahwa setiap karyawan bisa memainkan peran sebagai brand ambassador bagi perusahaan tempat ia bekerja. Pertanyaan saya: jika Anda seorang pegawai administrasi, resepsionis, atau seorang satpam, apakah Anda bisa mengharumkan nama perusahaan seperti halnya si pramugari? Why not! Kehadiran media sosial menjadikan siapapun di dalam perusahaan untuk menjadi brand ambassador yang powerful.

Dua tahun lalu ada peristiwa menghebohkan ketika Agus Chaerudin, seorang office boy yang bekerja di Bank Syariah Mandiri cabang Bekasi menemukan amplop di tempat sampah yang di dalamnya tersimpan uang Rp 100 juta. Agus tak menyentuh sama sekali uang itu, ia langsung mengambil dan menyerahkannya ke satpam. “Itu bukan rezeki saya, itu hak kantor. Allah Maha Melihat, Maha Mengetahui,” ujarnya polos. Kejujuran si OB telah menyentuh hati dan menimbulkan decak-kagum banyak orang persis seperti yang terjadi pada si pramugari.

So, seperti halnya mbak pramugari dan mas OB di atas, siapapun karyawan kini bisa mengharumkan nama perusahaan dan menjadi “hero of the company” dengan menciptakan positive word of mouth. Kabar baiknya, di era media sosial sekarang ini, kejadian seperti yang mereka alami semakin sering kemungkinannya untuk bisa terjadi. Namun, apakah kejadian mbak pramugari dan OB itu bisa didisain sebelumnya atau direkayasa sedemikian rupa untuk menghasilkan efek WOM yang powerful? Barangkali ini kabar buruknya: tidak!

Kecelakaan
Inilah hukum dasar WOM: semakin direkayasa sebuah peristiwa, semakin kecil dampak WOM-nya. Semakin tidak otentik sebuah peristiwa, semakin luruh pula dampak WOM-nya. Semakin tidak spontan sebuah peristiwa WOM, semakin memble pula efek WOM-nya. Elemen terpenting terbentuknya WOM yang powerful adalah keotentikan (authenticity) dan spontanitas (spontaneity). Tak heran jika program-program WOM yang didisain dan direncanakan sedemikian rupa oleh marketer kebanyakan kandas karena kehilangan otentisitas dan spontanitas.

Karena kenyataan ini, saya berani mengatakan: “The powerful WOM is an accidental WOM.” WOM yang hebat adalah WOM hasil kecelakaan, bukan hasil perencanaan dan perekayasaan.

Kalau demikian adanya, berarti kita tidak bisa mendisain dan merencanakan program WOM untuk brand kita dong? Bisa, tapi Anda harus selalu siap mental dan legowo jika program tersebut kandas dan tak memenuhi harapan. Belajar dari kasus mbak pramugari, sebagai rule of thumb, saya hanya bisa memberikan tiga tips. Pertama, touch audience’s heart. Kedua, share an engaging story. Ketiga, create authenticity.

#KelasPengetahuan “Market Research for UKM”

$
0
0

UKMers melakukan riset pemasaran (marketing research)? Why not! UKM kelas dunia haruslah tahu persis bagaimana profil dan perilaku dari setiap konsumennya. Berdasarkan pemahaman terhadap konsumen tersebut mereka bisa merancang produk dan layanan secara baik dan sistematis. Karena itu mereka harus secara periodik melakukan riset pasar. Mahal? Tergantung. Kalau UKMers bisa menyiasatinya, maka riset pasar yang harusnya berbiaya ratusan juta bahkan miliaran rupiah, bisa dipangkas sangat murah bahkan gratis. Bagaiaman menyiasatinya?

Nah, untuk mengetahuinya Komunitas Memberi (www.memberi.org) akan menyelenggarakan #KelasPengetahuan untuk memberikan tips-tips praktis mengenai bagaimana melakukan riset pasar yang murah tapi efektif khusus untuk para UKMers. Kelas akan dipandu oleh Indra Surachman, pendiri Indoresearch yang sudah belasan tahun berpengalaman melakukan riset pemasaran (12 tahun memimpin divisi riset Frontier Consulting).

Dalam kelas ini pertama-tama para UKMers akan diberi introduksi mengenai riset-riset pasar yang bisa mereka lakukan berikut metode-metodenya. Selanjutnya, mereka akan diberikan template-template kuesioner riset pasar yang dirancang khusus untuk para UKMers seperti kuesioner untuk riset product testing, riset kepuasan pelanggan, riset ekuitas merek, dsb. Para UKMers juga akan diberi tips-tips bagaimana menjalankan riset-riset tersebut secara murah bahkan gratis, tapi tetap efektif.

#KelasPengetahuan tersebut akan dilaksanakan pada:

Hari/Tanggal: Sabtu, 31 Mei 2014, pk. 09.00-12.00 WIB
Tempat: Kampus PPM, Jl. Menteng Raya 9, Jakarta Pusat
Pembicara: Indra Surachman, Presiden Direktur Indoresearch. Pengantar oleh: Yuswohady
Tema: “Market Research for UKM”

Yuk UKMers, waktunya belajar untuk mengasah kemampuan memahami konsumen. Dengan paham seluk-beluk konsumen maka Anda akan mampu menciptakan breakthrough products/services yang laris manis di pasar. Ingat, seperti biasa kelas ini gratis.

Temen-temen UKMers yang mau ikutan acaranya gratis, cukup daftar dengan mengirim data kamu: Nama, No HP, akun Twitter, alamat email, dan nama perusahaan/lembaga(kalau ada) ke email: kelas.komunitasmemberi@gmail.comdengan subject email: Daftar #KelasPengetahuan. Sorry euy, web www.memberi.org lagi down terpaksa manual.


Sukses Di Atas Kesuksesan Orang Lain

$
0
0

Bulan Mei ini saya ketiban berkah ketemu dua sosok entrepreneur hebat. Satu Mohammad Nadjikh pendiri Kelola Mina Laut (KML) di Gresik, satunya lagi mas Karman pendiri Sidji Batik di Bantul Yogyakarta. Ada persamaan hakiki yang saya temukan dari dua sosok inspiratif ini yaitu bahwa mereka sukses di atas kesuksesan orang lain. Kuseksesan mereka terwujud karena mereka menyukseskan orang lain.

Karena itu saya meyakini bahwa kesuksesan mereka terwujud karena dukungan dari orang-orang yang telah mereka sukseskan. Kesuksesan mereka terwujud karena doa baik dari orang-orang yang telah mereka sukseskan. Wow, alangkah indahnya jika kesuksesan kita peroleh dengan cara-cara mulia seperti ini, bukan dengan cara menindas  atau mencelakakan orang lain.

Nadjikh
Pak Nadjikh berasal dari keluarga penjual ikan miskin di Gresik yang mata pencahariannya terombang-ambing dipermainkan oleh tengkulak. Bapaknya meninggal saat ia berada di semester-semester awal kuliah di IPB, sehingga ia harus menggantikannya menghidupi 7 adiknya. Latar belakang seperti inilah yang mendorong pak Nadjikh mengembangkan prinsip bisnis mulia dengan menjalin kemitraan dengan nelayan untuk mengangkat taraf hidup mereka.

Melalui bendera Kelola Mina Laut (KML) pak Nadjikh mengembangkan puluhan pabrik pengolahan ikan di berbagai pantai perairan Nusantara. Niatnya mulia untuk mengangkat harkat-martabat nelayan kita. Berbeda dengan kebanyakan pengusaha besar konglomerat yang serakah menguasai bisnis dari hulu hingga hilir, pak Nadjikh fokus hanya mengembangkan industri pengolahan ikan dimana bahan bakunya ia beli dari para nelayan.

Sengaja ia tak melebarkan bisnisnya di usaha penangkapan ikan dengan kapal-kapal besar nan modern, karena ia sadar itu menjadi “jatahnya” para nelayan. “Saya tak mau menutup rezeki mereka,” ujarnya. Karena berasal dari keluarga penjual ikan, Nadjikh tahu persis bagaimana susahnya kehidupan nelayan yang senantiasa dipermainkan oleh para tengkulak. Maju kena mundur kena: ketika tangkapan ikan sedang banyak harga dibikin jatuh oleh tengkulak; begitu juga ketika tangkapan sedang sedikit.

Karena itu, seperti diungkapkannya ke saya beberapa minggu lalu, misinya membangun pabrik pengolahan ikan di sepanjang pesisir pantai Nusantara adalah untuk memutus rantai kemiskinan nalayan. “Saya sedih karena dari waktu ke waktu pekerjaan sebagai nelayan semakin tidak menguntungkan karena ulah tengkulak. Akibatnya, banyak nelayan kita pada lari ke kota untuk menjadi tukang batu,” ujarnya.

Karman
Mas Karman melakukan hal yang kurang lebih sama dengan pak Nadjikh. Melalui Sidji Batik ia melakukan dua hal mulia sekaligus. Pertama melestarikan batik dengan mengemasnya menjadi premium brand di pasar Asia, Amerika, atau Eropa. Kedua, mengangkat harkat-martabat dan taraf kehidupan mbah-mbah pengrajin batik dengan konsep kemitraan penuh cinta dan keikhlasan. Seperti halnya pak Nadjikh, mas Karman punya mimpi besar bahwa profesi membatik haruslah menjadi profesi elit dan menguntungkan sehingga banyak orang bangga menekuninya. Untuk mewujudkannya, branding batik menjadi alat yang ampuh.

Pada saat saya mengunjungi Sidji Batik Studio di desa Wijirejo, Pandak, Bantul, terus terang saya prihatin, karena profesi ini kini hanya diminati mbok-mbok dan mbah-mbah yang sudah sepuh. Mas Karman menyebut mereka sebagai “pahlawan batik” karena telah mengabdikan hidupnya puluhan tahun untuk melestarikan batik. Celakanya, kaum perempuan yang muda-muda kini pada malu dan lebih suka menjadi penjaga konter-konter mal di Jakarta. Pertanyannya, kalau kaum muda kita sudah malu menekuni profesi pembatik karena dianggap jadul dan tidak keren, lalu siapa yang bakal melestarikannya?

Mas Karman membangun Sidji Batik dengan spirit of giving untuk melestarikan kekayaan budaya Nusantara yang sudah diakui dunia ini. Karena itu ia fokus untuk menghasilkan rancangan-rancangan motif batik yang diminati pasar luar negeri dengan tidak meninggalkan pakem dan kearifan lokal penciptaan batik Indonesia. Kini Sidji Batik mengayomi sekitar 400 pembatik gurem di Bantul dan pelan-pelan mengangkat taraf kehidupan mereka melalui hubungan kemitraan yang saling menguntungkan.

Menebar Kebaikan
Belajar dari prinsip bisnis mulia yang dijalankan pak Nadjikh dan mas Karman, kita menemukan butir-butir kearifan yang luar biasa. Pelajaran terpenting yang bisa diambil oleh para entrepreneur adalah bahwa, sukses mereka adalah “sukses yang istimewa” karena menghasilkan kesuksesan bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka menuai sukses dengan menebar benih-benih kebaikan dan kemanfaatan kepada orang lain. Benih-benih kebaikan ini kemudian tumbuh subur membentuk goodwill berupa kepercayaan (trust), reputasi, empati, koneksi emosional, atau pengertian di kalangan orang-orang yang telah mereka bantu kesuksesannya

Ingat hukum memberi, semakin banyak kita memberi, maka semakin banyak pula kita mendapatkan. Semakin banyak kita menebar kesuksesan bagi orang lain, maka kita akan menuai kesuksesan yang berlipat-lipat lebih besar lagi. Kenapa bisa begitu? Karena orang-orang sekitar yang telah “berhutang kesuksesan” kepada kita cepat atau lambat akan “membalasnya”. Mereka akan bahu-membahu membantu balik kesuksesan kita. Prinsip bisnis mulia inilah yang 1000% diyakini keampuhannya baik oleh pak Nadjikh maupun mas Karman.

Bahkan bagi pak Nadjikh dan mas Karman bentuk bantuan itu tak mesti harus berupa uang, tenaga, atau fasilitas. Bagi mereka, bantuan doa saja sudah merupakan berkah yang luar biasa nilainya. Persis seperti diungkapkan mas Karman ke saya beberapa hari lalu. Bagi mas Karman, doa baik dari mbah-mbah pembatik yang diayominya adalah energi yang luar biasa dahsyat baginya untuk menggapai kesuksesan yang lebih besar lagi. Wow, alangkah indahnya!!!

#KelasKeterampilan “Branding for UKM” @ Malang

$
0
0

Malang memiliki posisi yang istimewa dalam percaturan kewirausahaan di Indonesia. Ya, karena Malang memiliki cukup modal untuk menjadi “Indonesia’s premier entrepreneur city”. Pertama, Malang memiliki “pool of talents”, basis SDM kreatif dan berjiwa kewirausahaan tinggi. Kedua, Malang memiliki iklim kewirausahaan yang sangat kondusif. Dan ketiga, Malang infrastruktur dan kluster industri yang mendukung, khususnya di sektor industri kreatif.

Karena itu kehadiran Komunitas Memberi (www.memberi.org) di kota ini menjadi sangat penting dan strategis. Komunitas ini punya komitmen mulia untuk mengembangkan UKM Indonesia menjadi berkemampuan kelas dunia melalui kegiatan-kegiatan capacity building di bidang pemasaran, manajemen keuangan, SDM, layanan pelanggan, dsb. Seperti diketahui kemampuan pengelolaan usaha berkelas dunia inilah salah satu kelemahan kunci dari banyak UKM kita. Sementara tahun depan mereka harus sudah “dilepas” untuk menghadapi pesaing-pesaing di Asean dalam kancah AEC (Asean Economic Community).

Untuk itu Komunitas Memberi #GoToNusantara akan menggelar #KelasKeterampilan berupa workshop sehari “Branding for UKM” sebagai event pertama komunitas ini di Malang.

Hari/Tanggal: Minggu, 8 Juni 2014, pk. 09.00 – 17.00
Tempat: Gedung Telkom Malang, Jl. Ahmad Yani, Malang
Tema: “Branding for UKM”
Fasilitator: Yuswohady, Pakar Marketing, pendiri Komunitas Memberi

Dalam workshop sehari penuh ini para UKMers akan praktek langsung menyusun strategi branding usahanya dengan dipandu oleh pakar marketing Yuswohady dengan menggunakan template yang sudah di-customized aplikatif untuk UKM. Kelas ini diharapkan merupakan kick-off dari kelas-kelas berikutnya di kota Malang untuk topik-topik lain yang akan dilakukan secara regular dan sistematis.

Temen-temen UKMers kota Malang yang mau ikutan acaranya gratis, cukup daftar dengan mengirim data kamu: Nama, No HP, akun Twitter, alamat email, dan nama perusahaan/lembaga (kalau ada) ke email: kelas.komunitasmemberi@gmail.com dengan subject email: Daftar #KelasKeterampilan. Sorry euy, web www.memberi.org lagi down terpaksa manual. CU @ kota Malang.

Empat Sosok Konsumen Muslim

$
0
0

15 Juli mendatang di tengah-tengah bulan puasa, saya akan menggelar seminar di Jakarta “Membidik Konsumen Kelas Menengah Muslim Indonesia” mengacu pada survei kantor saya Inventure bersama majalah SWA mengenai perilaku pasar muslim. Seminar dan survei tersebut digelar karena saya melihat pasar muslim di Indonesia menggeliat dahsyat. Akibatnya, marketer tak bisa lagi melihat dengan sebelah mata pasar lukratif ini.

Maraknya pasar muslim paling gampang ditengarai dari adanya tren “revolusi hijab” yang massif terjadi di seluruh penjuru Tanah Air. Mendadak berbusana hijab menjadi tren gaya hidup yang menjalar bak virus ganas. Menariknya, tiba-tiba berhijab menjadi sesuatu yang cool, modern, trendy, dan begitu diminati wanita muslim. Kosmetik untuk pasar hijabers pun tumbuh luar biasa ditandai dengan adanya apa yang saya sebut “The Wardah Effect”.

Di bidang seni-budaya seperti karya novel, musik, atau film yang bernuansa Islam, kita juga menyaksikan fenomena yang tak kalah menggairahkan. Novel dan film “Ayat-Ayat Cinta” misalnya, beberapa tahun lalu mencapai sukses yang luar biasa bahkan mengalahkan film-film umum dalam menggaet penonton. Lagu dan musik bernuansa Islam (seperti lagu Bimbo, Opick, dsb) kini telah menjadi “musik pop” yang menjadi milik semua kalangan masyarakat tak hanya terbatas kaum muslim.

Di bidang ekonomi kita melihat tumbuh pesatnya bank syariah di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir mencapai sekitar 40% setiap tahunnya. Wirausahawan muslim juga merebak di hampir seluruh daerah di Indonesia. Komunitas wirausaha yang dominan bernuansa muslim seperti Tangan Di Atas (TDA) misalnya, menjamur di berbagai kota Tanah Air.

Khas
Pasar muslim di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Meskipun memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia bukanlah negara Islam, sehingga kaum muslimin di negeri ini terbuka pada eksposur perkembangan budaya global. Akulturasi  budaya Islam, global, dan budaya lokal Indonesia melahirkan pasar muslim yang unik dan berbeda dengan pasar muslim di negara lain. Karena itu setiap pemasar yang ingin melayani pasar ini, perlu mencermati kekhasan ini. Kalau sampai keliru memahami, alih-alih menjadi merek yang dipilih oleh segmen ini, bisa jadi merek Anda justru tidak mereka sukai.

Selama beberapa tahun terakhir ini saya mengamati perilaku konsumen muslim Indonesia khususnya kelas menengahnya (middle-class moslem). Saya dan tim di Inventure telah melakukan studi kualitatif berupa observasi dan focus grop discussion untuk menemukenali profil konsumen muslim di Indonesia. Saya membagi konsumen muslim Indonesia menjadi empat sosok seperti tergambar pada matriks. Matriks tersebut tersusun atas dua dimensi perilaku konsumen, yaitu tingkat sumber daya (resources) yang dimiliki oleh konsumen muslim dan tingkat adopsi (adoption) mereka terhadap nilai-nilai Islam. Dua faktor tersebut sangat siknifikan memengaruhi perilaku mereka dalam memutuskan pembelian atau mengonsumsi produk. Dua faktor tersebut memengaruhi cara pandang mereka terhadap unique value proposition (UVP), baik UVP syariah maupun UVP konvensional, yang ditawarkan oleh merek.

“Universalist” (High Adoption – High Resources). Konsumen tipe ini merupakan sosok muslim yang secara umum memiliki wawasan yang luas serta menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan keseharian mereka. Sosok muslim seperti ini lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal dan kritis. Mereka biasanya tidak malu untuk berbeda, tetapi di sisi lain mereka cenderung menerima perbedaan orang lain.

Konsumen muslim tipe ini tidak menilai UVP suatu merek sekedar dari label ataupun tampilan luarnya. Mereka tidak segan untuk mengorek lebih dalam cara dan bagaimana sebuah merek dihasilkan. Jangan heran jika merek yang mereka minati mungkin bukanlah merek berlabel Islam tapi justru merek-merek global tanpa embel-embel Islam, ketika memang merek global itu memiliki benefit yang lebih unggul. Merek yang secara substansial lebih “Islami”, lebih mereka minati ketimbang merek yang sekedar berlabel “Islam”.

“Conformist” (High Adoption – Low Resources).  Tipe konsumen ini umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (terutama pengetahuan), untuk mempermudah pengambilan keputusan mereka memilih produk-produk yang berlabel Islam atau yang di-“endorsed” oleh otoritas Islam atau tokoh Islam panutan. Pada umumnya mereka mengutamakan faktor ketaatan kepada ajaran Islam yang mereka yakini, sehingga walaupun produk berlabel Islam itu memiliki kekurangan-kekurangan fungsional, dengan mudah mereka memaklumi.

Ambil contoh dalam kasus layanan kredit pemilikan rumah (KPR). Konsumen tipe ini akan rela membayar lebih mahal untuk KPR yang mereka ambil dari bank syariah dibandingkan dengan jika mereka mengambilnya dari bank konvensional. Ya karena bagi mereka ketaatan kepada nilai-nilai Islam yang mereka yakini jauh lebih penting dari kerugian material yang harus mereka tanggung. Dengan berbank syariah secara benar tanpa ada unsur riba mereka mendapatkan ketenteraman hati dan beroleh pahala.

“Rationalist” (Low Adoption – High Resources). Konsumen tipe ini memiliki pendidikan dan wawasan yang luas tetapi memiliki tingkat adopsi nilai-nilai Islam yang rendah. Segmen ini serupa dengan tipe konsumen muslim “Universalist” dimana mereka sangat kritis dalam melakukan pemilihan produk. Perbedaannya, konsumen ini lebih memperhatikan manfaat dari produk yang ia beli baik fungsional (functional benefit) ataupun emosional (emotional benefit). Label Islam atau UVP syariah bukan menjadi konsideran penting bagi mereka.

Ambil contoh pertimbangan dalam menggunakan busana muslim. Bisa saja motif mereka mengenakan busana muslimah adalah agar ia terlihat “baik” dan “diterima” oleh kalangan tertentu, bukan karena dilandasi kesadaran untuk menunaikan ajaran agama. Contoh yang lain, bisa saja konsumen tipe ini memilih produk keuangan syariah berdasarkan perolehan bagi hasil yang lebih besar dibandingkan jika ia menggunakan produk dari bank konvensional.

“Apathist” (Low Adoption – Low Resources). Tipe konsumen muslim yang terakhir adalah muslim yang memiliki pengetahuan/wawasan yang rendah dan adopsi nilai-nilai Islamnya juga rendah. Konsumen tipe ini umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai merek-merek berlabel Islam atau menawarkan UVP yang Islami. Mereka tidak melihat adanya perbedaan antara merek-merek Islam dan merek konvensional. Dalam memandang merek-merek berlabel Islam atau menawarkan UVP yang Islami, konsumen ini apatis dan cenderung mengatakan “emang gue pikirin”. Konsumen ini pada umumnya masih bergumul dengan kebutuhan dasar (basic needs) dan  masih belum memperhatikan UVP yang bermuatan spiritual.

Revolusi Pasar Hijabers

$
0
0

Selama beberapa bulan terakhir saya dan tim di Inventure melakukan studi kuantitatif dan kualitatif mengenai perilaku konsumen kelas menengah muslim. Studi itu mencakup berbagai kategori pasar muslim mulai dari hijab, kosmetik, produk halal, bank dan asuransi syariah, umroh/haji, hingga hotel syariah. Tanggal 15 Juli mendatang, di tengah-tengah bulan puasa, hasil dari studi itu akan dikupas dalam seminar bertajuk “Membidik Konsumen Kelas Menengah Muslim Indonesia” di Jakarta.

Salah satu kategori pasar muslim paling hot di Indonesia adalah pasar hijabers. Saking hot-nya, saya lebih senang menyebutnya sebagai “revolusi hijabers”. Bagaimana fenomena dan tren-trennya? Berikut ini sedikit bocorannya.

Ramai-Ramai Berhijab
Apabila dahulu hijab dikesankan sebagai busana muslim kampungan dan identik sebagai busana ibu-ibu pengajian, kini hijab menjadi jenis fesyen yang modern dan stylish. Perubahan model ini menjadi salah satu alasan masyarakat Indonesia untuk mulai secara sadar mengenakan hijab, di samping alasan peningkatan keimanan. Dengan adanya tren fesyen baru ini, mereka mulai percaya diri dalam mengenakan hijab untuk berangkat ke kantor, ke mal, ataupun ke pesta. Inilah yang menjadi salah satu pemicu mengapa saat ini banyaknya orang mengenakan hijab.

Survei kualitatif yang saya lakukan menghasilkan temuan menarik bahwa pada umumnya responden mengenakan hijab karena perubahan model busana muslim ke arah modern atau stylish. Dengan begitu, mereka dapat mengekspresikan diri dari sisi religiusitas maupun gaya berbusana. Hijab yang mereka kenakan tidak sekadar melambangkan identitas diri sebagai muslim, melainkan juga menjadi cerminan sosok yang modern, cool, trendi, dan stylish.

Role Model
Rini (29), salah satu responden saya, adalah potret konsumen kelas menengah muslim yang mengenakan hijab terbilang baru karena alasan suka terhadap artis idolanya yakni Marshanda. Kisah di balik penggunaan hijab oleh Marshanda menjadi salah satu alasan kuat Rini untuk mengenakan hijab. Marshanda yang mengalami trauma saat orang tuanya bercerai dan ia pun bangkit dari keterpurukan permasalahan di tengah keluarganya sehingga berani memutuskan untuk mengenakan hijab. Meskipun terjatuh, Marshanda berusaha bangkit dan berpaling pada Tuhan. Kisah ini menyentuh hati Rini.

Kisah inspiratif dan kepercayaan diri para artis mengenakan hijab itu menjadi alasan penguat Rini untuk berhijab. Sebelumnya, ia kerap merasa ragu ketika ingin mengenakan hijab karena kurang percaya diri, baik di lingkungan kerja maupun sosial pertemanan, meskipun anggota keluarga kerap mengingatkannya untuk menggunakan hijab. Kini, melihat banyaknya para artis mengenakan hijab dan hijab pun menjadi tren di mata para artis, ia pun semakin percaya diri.

Busana Muslim Bermerek
Konsumen kelas menengah muslim pun senang mengikuti berbagai tren terbaru busana muslim atau hijab bermerek di majalah, katalog, media sosial, hijab fashion show, dan iklan. Sekarang kita menyaksikan berbagai busana muslimah bermerek bermunculan seperti Dian Pelangi, Aprilia, Normamoi, Irna La Perle, Zoya, Shafira, Rabbani, Ukhti, dan lain-lain. Nama-nama beken desainer busana muslim pun banyak  bermunculan seperti Dian Pelangi, Irna Mutiara, Shafira, Norma Moi, Islamia Aprilia, Ria Miranda, Itang Yunasz, Ida Royani, dan lainnya. Hasil rancanangan mereka sangat diminati pasar sehingga harganya pun cukup mahal.

Tutorial Hijabers Digemari
Bagi para pengguna hijab, supaya bisa tampil modis dan trendi mereka kerap memanfaatkan majalah, Pinterest, Instagram, atau Youtube untuk mengetahui tips dan cara pemakaian hijab model terbaru. Situs tutorial cara pemakaian hijab seperti  Jilbabmodis.com, Caraberjilbab.com, atau Hijabalila.net, adalah fenomena yang akhir-akhir ini sedang marak digunakan konsumen kelas menengah muslim. Mereka melakukan secara rutin untuk mengetahui cara mengenakan hijab yang sedang tren saat ini. Mengapa? Seiring dengan tumbuhnya kesadaran berhijab dan ingin tampil modis, maka mereka pun semakin membutuhkan tutorial cara berhijab.

Online Shop Marak
Salah satu perubahan paling penting pada nilai-nilai konsumen kelas menengah muslim adalah tingginya koneksi sosial (high socially-connected). Hal ini dikarenakan oleh pendidikan tinggi dan tingkat pergaulan yang luas. Mereka aktif di berbagai komunitas hijab dan banyak berinteraksi di dunia internet. Salah satu perilaku menarik mereka adalah perilaku membeli secara online.

Besarnya pasar muslimah terlihat dari banyaknya berbagai online shop hijab di negeri ini dan situs jual-beli ini akan tumbuh luar biasa seiring naiknya jumlah konsumen kelas menengah muslim. Beberapa online shop hijab ini antara lain Hijup.com, Zoya.com, Shafira.com, Irnalaperle.com, Elevania.com, dll. Maraknya online shop ini menandakan suatu kegairahan pembelian berbagai produk hijab secara maya. Online shop ini dapat berbentuk kegiatan penjualan melalui internet ataupun Blackberry Messenger.

Komunitas Hijabers Menjamur
Nurhayati (24), responden saya yang lain, adalah salah satu entrepreneur yang aktif di Hijabers Community Jakarta. Hampir setiap minggu ia mengikuti kegiatan keagamaan atau sosial yang diselenggarakan oleh para anggota di komunitas itu. Acara tersebut dilaksanakan secara teratur dan kerap mengundang seorang ustadz/ustadzah untuk berbagi pengetahuan agama. Di sela-sela acara pengajian tersebut, mereka pun melakukan aktivitas arisan, tutorial hijab, ataupun lainnya.

Adanya komunitas-komunitas hijaber merupakan salah satu pendorong menariknya menjadi hijaber. Berhijab itu keren tidak hanya dikarenakan oleh desain hijab itu sendiri yang modern, tapi juga karena kegiatan berkomunitas para hijabers itu sendiri memang terbilang cool. Mereka kerap melakukan berbagai kegiatan positif seperti pengajian, peningkatan pengetahuan umum, kewirausahaan, pameran busana muslim, arisan, talkshow, kegiatan amal, tutorial berdandan, dan sebagainya. Misalnya, para hijabers kerap membuat event seperti Hijab Day, Hijab Festival, Hijab Fashion Week, dan sebagainya.

Majalah Hijab Makin Ngetren
Untuk mendapatkan informasi mengenai tren fesyen, produk kosmetik, gaya hidup muslimah, tak jarang para hijaber mengikuti perkembangannya melalui majalah. Maraknya terbitan majalah dengan segmen para hijaber merupakan pertanda banyaknya jumlah pembaca majalah-majalah itu. Maraknya majalah berkonten hijab sekaligus menunjukan bertumbuhnya pasar ini.

Apabila kita rinci daftar majalah untuk segmen hijaber itu, maka kita akan terkejut melihat jumlahnya yang banyak. Ada sekitar 10 majalah atau tabloid yang secara rutin mengangkat berbagai isu fesyen muslim, antara lain Aquila,  Hijabstar Magazine, Hijabella, Muslimah, Annisa, Paras, Khasanah, Aulia, Laiqa, Noor, Moshaict, dan lainnya. Bandingkan dengan Malaysia misalnya yang hanya memiliki dua majalah yakni Hijabista dan Dara.

Para marketer, mari sambut revolusi hijabers!!!

Martha & Ratna

$
0
0

Hari Sabtu (28/6) kemarin saya meluncurkan buku saya terbaru yang ditulis bersama Samuel Pranata, Direktur Martha Tilaar Group (MTG), dan dua rekan lama saya dari Majalah SWA, Dyah Hasto Palupi dan Teguh S. Pambudi. Buku ini berjudul Martha dan Ratna: Dua Perempuan di Balik Sukses Martha Tilaar Group. Buku ini menarik karena membahas kepemimpinan bisnis perusahaan keluarga dari dua kakak-beradik pendiri MTG yaitu Martha Tilaar sang kakak dan Ratna Pranata.

Kami menyebut kepemimpinan mereka berdua sebagai “Kepemimpinan Yin-Yang”. Ya, karena dua sosok pemimpin hebat ini memiliki karakter yang bertolak belakang, namun mampu saling mengisi dan melengkapi sehingga menghasilkan kesuksesan MTG yang luar biasa selama lebih dari 40 tahun. Sepang terjang mereka yang saling memberi, saling menopang, dan saling menyayangi merupakan role model bagi setiap pemimpin perusahaan keluarga. Harap tahu saja, 70% perusahaan keluarga di seluruh dunia hanya bertahan di generasi pertama. Dan keruntuhan perusahaan keluarga tersebut umumnya disebabkan oleh friksi dan konflik antar anggota keluarga.

Yin-Yang
Mendengar MTG maka yang terbayang di benak kita adalah sosok Martha Tilaar sebagai pendiri dan pemimpin bisnis karismatik grup usaha kosmetik terkemuka Indonesia ini. Tak banyak dari kita yang mengenal sosok adiknya, Ratna Pranata yang terlibat penuh sejak awal pendirian perusahaan yang tahun ini sudah berusia 43 ini. Sejak awal pendirian, Ratna memainkan peran krusial di balik layar dalam men-support Martha saat merintis dan membesarkan MTG hingga sukses seperti sekarang.

Martha dan Ratna adalah layaknya dua sisi mata uang yang berbeda kontras, namun saling mengisi, saling melengkapi, dan saling menguatkan satu sama lain. Martha si kakak, adalah sosok yang visioner dengan insting yang tajam dalam mengembangkan bisnis-bisnis masa depan MTG. Visi Martha menjangkau puluhan tahun ke depan sehingga banyak anggota manajemennya tak mampu “mencerna” terawangan-terawangan bisnisnya. Dia memiliki semacam indra keenam dalam melihat kebutuhan konsumen dan peta persaingan di masa mendatang. Ia juga jeli menangkap tren masa depan dan jitu meluncurkan strategi untuk mengantisipasinya.

Sementara Ratna adalah kebalikannya, sosok praktis yang memiliki kemampuan mumpuni dalam eksekusi. Ratna adalah sosok yang berdisiplin tinggi dalam melakukan eksekusi dan memiliki ketelitian luar biasa dalam menjalankan setiap detail dari eksekusi tersebut, apalagi kalau sudah menyangkut aspek keuangan. Ratna memfokuskan diri dalam men-support dan mewujudkan ide-ide besar yang divisikan Martha, mengalokasikan sumber daya, mengelola setiap risiko yang ada, dan mengawal program-program yang telah dicanangkan sehingga menghasilkan sukses bisnis yang luar biasa.

Mars vs Venus
Martha adalah tipe wanita Venus (berkemampuan otak kanan) yang tajam dalam mengendus peluang-peluang bisnis, liar dalam mengeksplorasi ide-ide produk, dan piawai mewujudkan terobosan-terobosan produk baru yang sukses besar di pasar. Sementara Ratna adalah tipe wanita Mars (berkemampuan otak kiri) yang cermat melakukan analisis keuangan, mumpuni mengalokasi sumber daya keuangan, dan disiplin melakukan monitoring agar setiap proyek yang dijalankan MTG mampu diwujudkan secara rapi dan terukur risikonya.

Martha memiliki ketertarikan dan passion pada penciptaan produk baru, program-program pemasaran inovatif, atau terobosan-terobosan bisnis yang menimbulkan decak kagum banyak orang. Tak mengherankan jika dalam waktu singkat Martha menjadi sosok hebat yang mendapat publisitas luas di kalangan pebisnis maupun masyarakat luas. Sementara Ratna lebih menikmati peran sebagai sosok kunci di belakang layar yang dengan tulus men-support kakaknya mencapai kesuksesan. Ia lebih fokus menggumuli tetek-bengek urusan rumah tangga MTG mulai dari keuangan, detail-detail masalah operasional, atau memotivasi karyawan yang memang sepi dari publisitas.

Jadi antar kedua sosok pemimpin tersebut terjadi pembagian peran harmonis dan saling mengisi. Martha menciptakan visi jauh ke depan, sementara Ratna berperan mengeksekusinya dengan ketelitian dan disiplin tinggi. Martha berjuang di garis depan untuk memahami dinamika pasar, menciptakan produk hebat, dan menjalankan fungsi pemasaran. Sementara Ratna mendukung di belakang bergumul dengan masalah keuangan dan operasional. Dua kemampuan yang berbeda inilah yang kemudian dikombinasikan secara harmonis menjadi sebuah kekuatan bisnis yang luar biasa. Dengan dua nakhoda yang saling melengkapi ini MTG mampu mengarungi bisnisnya dan tumbuh menjadi pemain utama kosmetik di negeri ini.

Trust
Banyak kepemimpinan kolektif perusahaan keluarga pecah karena tak adanya saling percaya antar anggota keluarga yang mengisi kepemimpinan kolektif tersebut. Seringkali antar mereka terdapat sikap saling curiga, saling prasangka, dan saling mau menang sendiri. Kalau sudah demikian, biasanya hubungan antar pemimpin menjadi tidak harmonis, sering terjadi percekcokan, yang bisa berujung pada perpecahan. Friksi antar pemimpin ini biasanya semakin tajam begitu perusahaan berlanjut ke generasi kedua, ketiga, dan seterusnya.

Di MTG, saling percaya antar pemimpin, terutama antara Martha dan Ratna, ini merupakan modal sosial yang paling berharga untuk kesinambungan organisasi. Dengan modal ini MTG mampu mengatasi setiap hempasan krisis dan perubahan lingkungan bisnis yang dahsyat sekalipun. Dalam masa-masa kritis seperti saat MTG terhempas krisis moneter 1998 dan kemudian terpaksa berpisah dari Kalbe Farma, soliditas duo Martha-Ratna menjadi faktor penentu keberhasilan MTG keluar dari kemelut prahara.

Bagi Martha dan Ratna, MTG sudah seperti layaknya “baby” yang harus dibesarkan dengan mengesampingkan kepentingan dan ego mereka masing-masing. Untungnya, sejak kecil sang ayah, Yakub Handana, sudah menanamkan hubungan saling pengertian, tolong menolong, dan sikap penuh welas asih antar mereka. Bentukan sang ayah itu rupanya terbawa saat Martha dan Ratna beranjak dewasa hingga takdir membawa mereka untuk mengemban misi membesarkan MTG.

Karena adanya panggilan dan komitmen untuk membesarkan “si baby” muncul benih-benih mutual trust di antara mereka. Martha dan Ratna memercayai satu sama lain untuk memberikan yang terbaik bagi MTG. Anyway, melalui kolom ini saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepada bu Ratna Pranata yang ke-75. Semoga panjang umur.

Jokowi atau Prabowo… Kemenangan Indonesia

$
0
0

Bagi saya, tak penting siapa yang bakal menang pilpres hari Rabu minggu depan, Jokowi atau Prabowo. Ya, karena sejak dua nama itu muncul ke permukaan, menyusul nama-nama capres lain yang satu-persatu berguguran karena seleksi alam, saya merasa lega. Apa lagi setelah dua capres ini saling berlomba menunjukkan jati dirinya, karakternya, kompetensinya, dan niat baiknya di mimbar debat televisi, kampanye-kampanye, blusukan-blusukan, hingga silaturahmi-silaturahmi ke tokoh-tokoh masyarakat dan agama, saya semakin bungah.

Saya bungah karena yakin siapapun yang menang di antara mereka akan berarti kemenangan besar bagi Indonesia. Kenapa saya sebut kemenangan Indonesia?

Kemenangan Indonesia #1
Pertama, karena memang dua tokoh pemimpin ini adalah dua sosok pemimpin terbaik, best of the best, dari keseluruhan stock pemimpin yang kita punya. Karena mereka merupakan yang terbaik, tentu saja keduanya layak memimpin negeri ini, dan membawa Indonesia menuju ke gerbang kesuksesan. Menjadikan Indonesia sebagai negara ampuh dan berpengaruh di dunia.

Jokowi dikenal karena kepemimpinan yang down to earth dan merakyat dengan blusukan-blusukannya. Ia bukan tipe pemimpin yang duduk manis di meja menerima laporan anak buah. Ia terjuan langsung ke lapangan menjadi role model bagi para followers-nya. Ia turun ke pasar-pasar atau kampung-kampung untuk mendengar secara langsung jeritan kesusahan rakyatnya. Dari situ kemudian ia mengembangkan program-program aksi untuk memecahkannya.

Prabowo bagi saya nggak kalah hebat. Pengalaman kemiliterannya luar biasa, dan sebagai prajurit tulen, rasa nasionalisme sekokoh baja. Keikhlasan, kejujuran, dan komitmennya pada negeri ini tak diragukan lagi. Program-program pembangunan yang diusulkannya visionary, komprehensif, dan menyentuh kebutuhan hingga ke masyarakat grass root. Kepeduliannya pada masyarakat bawah: guru, buruh, petani, nelayan, hingga pedagang pasar begitu besar tercermin dari program-program yang diusungnya.

Bicara karakter, kemampuan, komitmen, ketulusan, niat baik, keduanya setali tiga uang. Hanya satu yang mereka butuhkan, yaitu mandat dari rakyat. Karena itu, begitu mandat rakyat didapatkan oleh salah satu dari mereka (siapapun dari keduanya) minggu depan, maka yang paling diuntungkan adalah Indonesia. Siapapun yang mendapat mandat rakyat akan merupakan kemenangan besar bagi Indonesia

Kemenangan Indonesia #2
Kedua, karena dua sosok pemimpin hebat ini dicintai dan dimiliki oleh seluruh rakyat negeri ini dari Sabang sampai Merauke. Inilah pemilu dengan tingkat ownership rakyat yang paling tinggi dalam 70 tahun perjalanan sejarah negeri ini. Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu di Indonesia dimana rakyat pemilih begitu terlibat, begitu peduli, dan begitu merasa bertanggung-jawab terhadap keberhasilan pemilu kali ini. Mereka menjadi sangat berkepentingan mengenai siapa yang harus memimpin negeri ini.

Bentuk ownership dan keterlibatan rakyat pemilih ini macam-macam. Ada yang memasang profile photo di Twitter atau Facebook dengan nomor 1 (Prabowo) atau nomor 2 (Jokowi). Ada yang sukarela memasang poster, spanduk, baliho, bendera, dan beragam bentuk sampah visual lain untuk mempromosikan capres dambaan mereka di jalan protokol hingga pos ojek di kampaung-kampung. Ada musisi yang menyumbang lagu atau sastrawan yang mencipta puisi khusus untuk capres dambaannya. Atau yang kebablasan, ada simpatisan yang melakukan black campaign untuk menyerang capres yang tidak dipilihnya.

Ownership dan keterlibatan yang luar biasa ini adalah cerminan begitu cintanya rakyat pada bangsanya. Saya malah melihat fenomena menarik dari pemilu kali ini, bahwa pemilu bisa menjadi medium untuk mengasah nasionalisme yang kian memudar digerus globalisme; bahwa pemilu bisa menjadi medium untuk membangkitkan kembali kecintaan kepada negeri ini. Dengan background macam ini saya berkeyakinan, siapapun pemenang pemilu minggu depan menjadi tak penting. Ya, karena siapapun pemenangnya akan berarti kemenangan besar bagi Indonesia.

Kemenangan Indonesia #3
Ketiga, akhirnya kemenangan sebesar-besarnya bagi Indonesia akan dituai hanya jika pemungutan suara hari Rabu minggu depan (dan hari-hari setelahnya) berjalan dengan damai, penuh keteduhan, kematangan, dan kearifan. Kalau itu terwujud maka (sekali lagi bagi saya) siapapun yang terpilih, apakah Prabowo atau Jokowi, menjadi tidak penting. Ya, karena siapapun yang terpilih akan tetap merupakan kemenangan besar bagi Indonesia.

Perkenankan saya sedikit flashback ke belakang menelusuri sejarah pendewasaan negeri ini. Dengan patriotisme membara Soekarno membebaskan Indonesia dari belenggu penjajah dengan kulminasi proklamasi. Di bawah Orde Lama negeri ini terseok-seok. Di bawah Orde Baru Indonesia ini tumbuh pesat menjadi kekuatan ekonomi besar. Namun sayang, bersamaan dengan itu dekadensi moral meradang, tercermin dari korupsi di seluruh lapisan kehidupan.

Tahun 1998 alhamdulillah semua itu dikoreksi, walaupun biaya yang harus kita tanggung demikian besar: negeri ini terjengkang, jatuh terjerembab hingga di titik terbawah. Kita set-back. Tapi sejak itu perlahan kita bangkit. Maka kemudian di bawah pemimpin-pemimpin hebat Habibie, Gus Dur, Megawati, dan terakhir SBY, kita mulai merangkak naik kembali. Para pemimpin hebat ini berjasa meletakkan landasan bagi Indonesia untuk take-off menjadi negara besar dan disegani di dunia. Kini waktu take-off itu telah tiba. Dan pemimpin yang akan didapuk untuk membawa negeri ini take-off adalah satu di antara dua: Prabowo atau Jokowi.

Seperti dikatakan di depan, bagi saya tak penting siapa yang bakal memenangi pemilihan. Yang justru penting bagi saya adalah bagaimana kita, seluruh anak negeri, memanfaatkan tiga momentum kemenangan besar Indonesia di atas. Apabila kita mampu melakukannya, saya tak ragu bangsa ini akan menjadi negara besar di dunia secara ekonomi, politik, maupun budaya. Percayalah, negeri ini siap menggilas India, Amerika, bahkan Cina.

Mari wujudkan kemenangan besar Indonesia… dan itu kita mulai Rabu minggu depan.

Marketing to the Middle Class Moslem

$
0
0

Bulan Agustus 2014 ini, setelah Lebaran, buku terbaru saya akan terbit. Judulnya “Marketing to the Middle Class Moslem“. Buku ini mengacu pada hasil survei yang dilakukan oleh Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS), lembaga tink tank yang didirikan oleh Inventure bersama Majalah SWA mengenai pasar muslim di Indonesia, khususnya kelas mengahnya. Pasar muslim di Indonesia sangat challenging! Kenapa? Karena, tak cuma potensinya yang luar biasa besar (kini jumlah konsumen muslim mencapai 87 persen dari seluruh penduduk Indonesia), tapi juga dinamika perubahannya beberapa tahun terakhir mencengangkan.

Bahkan kami berani mengatakan selama 5 tahun terakhir pasar middle-class moslem di Indonesia telah mengalami revolusi karena adanya pergeseran perilaku yang sangat mendasar. Tak heran jika kemudian pasarnya menggeliat dan marketer langsung pasang kuda-kuda untuk meraupnya. Berikut ini adalah beberapa di antara perubahan kasat mata fenomena menggeliatnya pasar middle-class moslem di Indonesia.

Boom Bank Syariah

Sejak pertama kali dirintis Bank Muamalat pada tahun 1991, bank syariah di Indonesia tumbuh luar biasa mencapai hampir 40% tiap tahunnya, jauh melebihi pertumbuhan bank konvensional yang tak sampai 20%. Memang penetrasinya belum mencapai 5% (total aset) dari total pasar perbankan, namun geliat perkembangannya sungguh menjanjikan. Hingga akhir 2013 setidaknya kita telah memiliki 11 bank umum syariah (BUS), 23 bank syariah dalam bentuk unit usaha syariah (UUS), dan 160 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Kantor cabangnya mencapai 2.925 dan telah menggaet sekitar 12 juta lebih akun nasabah dengan dana pihak ketiga (DPK) yang diraup mencapai lebih dari Rp 175 triliiun. Luar biasa!!!

Revolusi Hijabers

Beberapa tahun terakhir fenomena “revolusi hijab” terjadi di Tanah Air dalam skala yang luar biasa besar. Mendadak berbusana hijab menjadi tren gaya hidup (fesyen, kosmetik, asesoris) yang menjalar bak virus ganas ke seluruh penjuru tanah air. Menariknya, tiba-tiba berhijab menjadi sesuatu yang cool, modern, trendy, techy, dan begitu diminati. Kami jadi ingat pagelaran puisi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) berjudul “Lautan Jilbab” di kampus UGM sekitar 30 tahun lalu (kala itu masih SMA). Waktu itu kami hanya bisa membayangkan, karena memang belum kejadian. Tapi kini “lautan jilbab” itu telah hadir di mana-mana: di jalan-jalan, di mal-mal, di seminar-seminar, di acara-acara TV. Betul-betul revolusi.

Kosmetik Muslim Kian Kinclong

Wardah adalah fenomena. Seiring dengan maraknya middle-class moslem dan revolusi hijabers, Wardah muncul sebagai pemain yang tiba-tiba menyeruak mencapai puncak sukses. Para pesaing “konvensional”-nya kebit-kebit karena takut kue pasarnya terpangkas. Iklannya di TV muncul hampir tiap hari. Brand ambassador-nya gonta-ganti (dari Inneke Koesherawati hingga Dewi Sandra). Varian produk dan subbrand-nya berkembang pesat. Sukses Wardah tak sepenuhnya karena kehebatan strategi. Sukses Wardah tak lepas dari rejeki nomplok yang muncul karena menggeliatnya pasar muslimah. Dalam waktu cepat pasar kosmetik muslimah ini bergeser dari niche (ceruk) menjadi mainstream (massal), dan Wardah beruntung bisa “menunggangi” pergeseran tersebut.

Rutin Berumroh, Why Not?

Meningkatnya daya beli middle-class moslem yang diikuti dengan murahnya biaya bepergian ke luar negeri (…thanks to budget airlines) membuat bepergian ke Tanah Suci menjadi demikian mudah dan terjangkau. Hasilnya gampang ditebak: industri travel religi (umroh, haji, wisata keagamaan) menggeliat menjadi bisnis menggiurkan. Kadang kami nggak habis pikir, di beberapa daerah kantong muslim seperti Jawa Timur, antrian haji bisa mencapai belasan tahun. Ya, karena yang mau berhaji meluap, sementara jatah dari pemerintah Arab Saudi tetap jalan di tempat. Rutin berumroh (tiga tahun sekali, bahkan setiap tahun) kini juga mulai banyak kita temui di kalangan keluarga muslim di Tanah Air.

Hotel Syariah Menjamur

Label syariah kini kian seksi. Apa-apa yang berlabel syariah kini kian diminati. Contohnya hotel. Dulu sama sekali tidak terbayangkan, hotel kok syariah. Namun sejak beberapa tahun terakhir hotel model baru ini tumbuh pesat. Itu artinya, pasarnya ada dan bertumbuh. Diawali oleh Hotel Sofyan sebagai pionir yang beralih dari hotel konvensional menjadi hotel syariah sejak tahun 1994, hotel syariah kini menjamur mencapai populasi 50-100 hotel. Dulu konsep ini aneh, tapi kini sudah mulai diterima konsumen muslim. Mereka mengaku citra hotel syariah yang “bersih” dan bernuansa religius membuat konsumen mendapatkan kenyamanan sekaligus keimanan sebagai seorang muslim. Dan yang pasti hotel syariah diminati ibu-ibu yang kita tahu menguasai 80% pengeluaran rumah tangga.

Kegairahan Budaya Islam

Menggeliatnya pasar middle-class moslem juga tercermin dari tumbuh pesatnya apa yang kami sebut “produk-produk budaya bernuansa Islam” seperti buku atau novel bernuansa Islam, apps bernuansa Islam, film bernuansa Islam, musik bernuansa Islam, termasuk dakwah Islam. Novel dan film “Ayat-Ayat Cinta” menjadi trigger dari menggeliatnya pasar novel Islam di Indonesia. Di dunia dakwah kita juga menyaksikan kegairahan baru dimana para ustad bermunculan sebagai sosok yang down to earth, merakyat, modern, techy, bahkan gaul. Dimulai dari Aa Gym, kemudian beranak-pinak dari ustad Jefri hingga ustad Solmed.

Kewirausahaan Muslim

Kewirausahaan muslim adalah tren yang hot di tanah air beberapa tahun terakhir.  Driver-nya adalah komunitas-komunitas wirausahawan muslim yang menjamur di seluruh tanah air, salah satunya adalah Tangan Di Atas (TDA). Komunitas yang berdiri tahun 2006 dan sebagian besar anggotanya adalah wirausahawan muslim ini kini telah hadir di hampir 50 kota dengan anggota milis mencapai puluhan ribu anggota. Tahun lalu saya diminta menjadi pembicara Wanita Wirausaha (Wanwir) Majalah Femina di berbagai kota. Kami surprise luar biasa, karena di setiap kota yang dikunjungi sebagian besar peserta berjilbab, alias wirausahawan muslimah.

Kian Kaya, Kian Bersedekah

Hot-nya pasar middle-class moslem tak hanya tercermin dari urusan beli produk dan layanan. Menggeliatnya pasar middle-class moslem juga tercermin dari makin getolnya mereka bersedekah dan membayar zakat. Survei Inventure tahun 2013 menunjukkan bahwa pengeluaran kelas menengah untuk zakat dan sumbangan mencapai 5,4% dari total pengeluaran bulanan, sebuah angka yang cukup besar. Teman saya, mas Thoriq Helmi, salah satu direktur di Dompet Duafa, pernah bilang bahwa sedekah dan zakat yang ditampung Dompet Duafa selama ini sebagian besar diperoleh dari middle-class moslem, dan potensinya terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Dan menariknya, “90% lebih mereka membayar zakat via electronic channel seperti transfer ATM, debit, dll,” ujar mas Thoriq. Upsss, techy amat!!!

Label Halal Jadi Rebutan

Dulu label halal tidak begitu diperhatikan konsumen kita. Namun kini, label halal mulai dilirik dan menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan pembelian konsumen. Tak heran jika kemudian perusahaan berlomba-lomba melabeli produknya dengan stiker halal. Ujung-ujungnya bisnis label halal pun ikutan menggeliat. Barangkali karena hal ini dua instansi kita berebut untuk mendapatkan hak mensertifikasi produk halal.

Empat Sosok Konsumen Muslim

Konsumen kelas menengah muslim di Indonesia berubah sangat cepat dan fundamental. Semakin meningkatnya kemakmuran mereka sebagai akibat keberhasilan pembangunan selama justru mendorong mereka semakin religius dan spiritual. “Makin makmur, makin pintar, makin religius.” Kalimat ini sangat pas menggambarkan pergeseran itu.

Coba saja lihat beberapa fenomena menarik berikut. Dulu orang tak begitu peduli dengan makanan halal, kini mereka menjadi sangat peduli. Survei kami misalnya, mendapati 95 persen konsumen kosmetik mengecek label halal saat membeli produk. Dulu kaum muslim kita juga tak begitu konsern dengan praktek riba dalam berbank, kini mereka mulai peduli untuk menghindari riba. Buktinya bank syariah tumbuh hingga mencapai 40 persen pertahunnya. Begitu pula kaum wanita muslim kini semakin konsern untuk menutup auratnya, terbukti dengan munculnya fenomena revolusi hijab.

Setelah melakukan survei kualitatif, saya berhasil memetakan profil konsumen kelas menengah muslim Indonesia. Saya membagi mereka ke dalam empat sosok seperti tergambar pada matriks, yaitu: Apathist, Conformist, Rationalist, dan Universalist.

Apathis: “Emang Gue Pikirin?” Sosok ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan, wawasan, dan seringkali tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih rendah. Di samping itu, konsumen ini memiliki kepatuhan dalam menjalankan nilai-nilai Islam yang juga rendah. Konsumen tipe ini umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai produk-produk berlabel Islam atau menawarkan value proposition yang Islami. Karena itu mereka tak begitu peduli apakah suatu produk bermuatan nilai-nilai keislaman ataupun tidak.

Rationalist: “Gue Dapat Apa?” Sosok ini adalah tipe konsumen yang memiliki pengetahuan, open-minded, dan wawasan global, tetapi memiliki tingkat kepatuhan pada nilai-nilai Islam yang lebih rendah. Segmen ini sangat kritis dan pragmatis dalam melakukan pemilihan produk berdasarkan parameter kemanfaatannya. Namun dalam memutuskan pembelian, mereka cenderung mengesampingkan aspek-aspek ketaatan pada nilai-nilai Islam. Bagi mereka label Islam, value proposition syariah, atau kehalalan bukanlah menjadi konsideran penting dalam mengambil keputusan pembelian.

Conformist: “Pokoknya Harus Islam” Sosok ini adalah tipe konsumen muslim yang umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Karena keterbatasan wawasan dan sikap yang konservatif/tradisional, sosok konsumen ini cenderung kurang membuka diri (less open-minded, less inclusive) terhadap nilai-nilai di luar Islam khususnya nilai-nilai Barat. Untuk mempermudah pengambilan keputusan, mereka memilih produk-produk yang berlabel Islam atau yang di-“endorsed” oleh otoritas Islam atau tokoh Islam panutan.

Universalist: “Islami Itu Lebih Penting” Sosok konsumen muslim ini di satu sisi memiliki pengetahuan/wawasan luas, pola pikir global, dan melek teknologi; namun di sisi lain secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam secara substantif, bukan normatif. Mereka lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal. Mereka biasanya tidak malu untuk berbeda, tetapi di sisi lain mereka cenderung menerima perbedaan orang lain. Singkatnya mereka adalah sosok yang toleran, open-minded, dan inkulsif terhadap nilai-nilai di luar Islam.

Melihat perubahan-perubahan besar yang terjadi pada konsumen kelas menengah muslim kita, pertanyaan besar kemudian muncul di kalangan pemasar: Bagaimana mereka harus merespons? Apa saja strategi dan taktik ampuh yang harus dijalankan? Untuk menjawabnya buku ini mencoba menyusun enam prinsip-prinsip generik yang bisa digunakan sebagai panduan bagi mereka untuk menggarap pasar lukratif ini. Kami menyebutnya sebagai: “The Six Principles of Marketing to the Middle Class Moslem“.

#1. The Principle of Customer:

Customers become more religious. They begin to search for spiritual value

Inilah menariknya konsumen muslim Indonesia. Semakin makmur mereka, semakin knowledgeable mereka, dan semakin technology-savvy. justru mereka semakin religius. Mereka semakin mencari manfaat spiritual (spiritual value) dari produk yang mereka beli dan konsumsi. Yaitu produk-produk yang menjalankan kepatuhan (compliance) pada nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Ini berbeda dengan di dunia Barat misalnya, dimana ketika mereka beranjak maju, masyaraktnya justru semakin sekuler bahkan banyak yang tak memercayai lagi keberadaan Tuhan.

#2 The Principle of Competition:

Competition is about building brand persona. Connect your brand to the customer’s heart

Empat sosok yang mewakili potret kelas menengah muslim di atas memiliki impian, aspirasi, nilai-nilai, dan perilakunya masing-masing. Berdasarkan pemahaman mengenai karakteristik konsumen di masing-masing sosok, Anda akan tahu persis bagaimana memperlakukan mereka. Anda juga harus membangun personifikasi berdasarkan karakteristik dari masing-masing sosok tersebut, kemudian menciptakan koneksi emosional bahkan spiritual dengan mereka. Inilah yang kami sebut sebagai brand persona.

#3 The Principle of Positioning

Be an inclusive brand. Be a Universal Icon

Untuk mengambil hati kelas menengah muslim, merek Anda harus ramah-bersahabat, merangkul semua (tak hanya eksklusif sebatas kalangan muslim); open-minded alias terbuka dan berlapang dada terhadap informasi, ide, pikiran, aliran, atau pengaruh dari manapun dan siapapun; toleran terhadap perbedaan, dan selalu berpikiran positif dengan landasan kekuatan cinta. Itu semua harus Anda wujudkan dengan satu tujuan dalam rangka menghasilkan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh stakeholders. Singkatnya, your brand must be an inclusive brand.

#4 The Principle of Differentiation

Build authenticity through commitment and passion. Create your own DNA.

Untuk membangun diferensiasi yang kokoh dan tak sulit ditiru oleh pesaing, maka merek Anda harus menjadi authentic brand. Anda tak cukup sekedar menempelkan label halal pada kemasan dan produk Anda. Untuk menjadi authentic brand, merek Anda harus menempatkan ketaatan kepada nilai-nilai luhur keislaman yang bersifat universal sebagai “reason for being” Anda . Untuk menjadi authentic brand mereka Anda harus menempatkan upaya-upaya mewujudkan kebaikan universal (universal goodness) sebagai “what the business are we in” Anda. Intinya, untuk menjadi authentic brand Anda harus menciptakan DNA sebagai merek Islami.

#5 The Principle of Value:

Offer unique unversal value. Balance your product and spiritual benefits

Ketika konsumen semakin menuntut manfaat spiritual dari sebuah produk, maka kami melihat bahwa nilai tertinggi bagi konsumen akan terwujud jika produsen mampu menghasilkan apa yang kami sebut sebagai nilai universal (universal value), yaitu gabungan antara manfaat produk (yang terdiri dari manfaat fungsional dan manfaat emosional) dan manfaat spiritual yang kemudian dibagi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh konsumen. Untuk sukses Anda harus membangun bauran manfaat fungsional, emosional, dan spiritual yang unik untuk mengunci persaingan.

#6 Principle of Engagement:

Connect your customers to each other. Build a community of messengers

Kaum muslim adalah kelompok sosial yang memiliki kesamaan tujuan (shared purpose) yaitu untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat dengan selalu menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larang-larangan-Nya. Karena by default kaum muslim adalah sebuah komunitas, maka pendekatan pemasaran yang paling ampuh untuk menggarap pasar ini adalah dengan menggunakan pendakatan komunitas (community marketing) dengan mengoneksikan satu konsumen dengan konsumen lain di dalam komunitas.

****

Saya membagi buku ini menjadi dua bagian besar. Bagian I: Perubahan dan Perilaku Konsumen membahas perubahan-perubahan dan pola perilaku konsumen kelas menengah muslim kita di berbagai industri mulai fesyen hijab, makanan halal, kosmetik halal, bank, asuransi, dan investasi syariah, hingga hotel syariah. Sementara Bagian II: Strategi dan Taktik Pemasaran membahas pemetaan segmen kelas menengah muslim yang menghasilkan empat sosok konsumen dan enam prinsip strategi yang harus dijalankan oleh para pemasar untuk menggarap pasar ini.

Selamat membaca.


PPM BookTalk “Marketing to the Middle Class Moslem”

$
0
0

Ada satu fenomena yang menarik dari konsumen kelas menengah muslim di Indonesia. Semakin makmur dan knowledgeable mereka, semakin religius pula mereka. Mereka tak hanya mencari manfaat fungsional dan emosional (functional-emotional benefit) tapi juga semakin mencari manfaat spiritual (spiritual benefit) dari produk yang mereka beli dan konsumsi. Mereka menuntut brand Anda menjalankan kepatuhan (compliance) pada nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam.

Buktinya? Kalau dulu konsumen muslim kurang begitu konsern dengan praktek riba dalam berbank, kini mereka menjadi peduli untuk menghindari riba (bank syariah tumbuh pesat 40% pertahun). Kalau dulu mereka tak begitu peduli dengan makanan halal, kini mereka menjadi sangat peduli (survei: 95% konsumen kosmetik mengecek label halal). Begitu pula kaum wanita muslim kini semakin konsern untuk menutup auratnya (lihat fenomena revolusi hijab).

Pasar muslim menggeliat menjadi pasar yang besar di berbagai industri seperti umroh, bank dan asuransi syariah, fesyen hijab, kosmetik halal, makanan halal, buku dan musik, hingga hotel syariah. Dengan perubahan tersebut marketer tidak bisa lagi mengabaikan pasar ini. Untuk membahas hal ini Komunitas Memberi @memberiID bersama PPM School of Management menyelenggarakan bedah buku “Marketing to the Middle Class Moslem” by Yuswohady dan talk show pada:

Hari/tanggal: Jumat, 11 Juli 2014, Pk. 15.00 – 18.00 WIB
Tema: “Memenangkan Pasar Muslim Indonesia”
Tempat: Executive Lounge, PPM School of Management
Jl. Menteng Raya No.9 Menteng Jakarta

Pembicara:
Yuswohady (Penulis buku), “Revolusi Pasar Muslim
Samuel Pranata (Martha Tilaar Group), “Boom Kosmetik Halal
Thoriq Helmi (Dompet Dhuafa), “Kian Kaya, Kian Memberi
Diajeng Lestari (Hijup.com), “Revolusi Hijab
Sugiharto (TB. Gramedia), “Geliat Penerbitan Islam
Muhammad Civic (Moderator)

Yuk join… gratis!!! cukup daftar dengan mengirim email nama, alamat email, No HP/WA, akun Twitter kamu ke: info@memberi.org atau RSVP 0888 0130 2491 biar dicatat :)

Pre-Order Buku “Marketing to the Middle Class Muslim”

$
0
0

Buku Marketing to the Middle Class Muslim baru ada di TB Gramedia pada bulan Agustus (sehabis Lebaran) mendatang. Namun bagi yang nggak sabar, temen-temen sekarang bisa mendapatkannya dengan memesan langsung via Lia (0857 8078 9897) or email: nurkamalia.makinuddin@gmail.com. Yang spesial, buku akan ada tanda tangan penulis. Cool euy!!!

Marketing to Moslem

$
0
0

Hari Jumat (11/7) lalu saya meluncurkan buku terbaru berjudul Marketing to the Middle Class Muslim (Gramedia Pustaka Utama, 2014) sekaligus diskusi di Executive Lounge PPM School of Management, Menteng. Hadir sebagai pembahas orang-orang hebat: Pak Samuel Pranata (Direktur Pemasaran, Martha Tilaar Group, MTG), mas Thoriq Helmy (Direktur, Dompet Dhuafa), mbak Diajeng Lestari (pendiri Hijaup.com), dan mas Wahyu Setyobudi (pakar pemasaran, PPM School of Management), dan dengan gayeng dimoderatori oleh mas Mohamad Civic (konsultan bisnis Syariah).

Ki-ka: Moh. Civic, Sam Pranata, Wahyu Setyobudi, Thoriq Helmy, Yuswohady, Diajeng Lestari

Seru sekali kami mendiskusikan dinamika perubahan konsumen muslim di tanah air, khususnya kelas menengah yang memiliki knowledge dan daya beli tinggi. Kami sepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir konsumen muslim kita berubah begitu cepat sehingga menggoyahkan tatanan pasar di beberapa kategori produk yang sudah mapan sekian lama. Pak Sam, dari industri kosmetik misalnya menggambarkan, “kapal yang dulunya tenang, kini tiba-tiba tergoyang oleh gelombang laut yang bergolak”. Kita tahu di industri ini, MTG dan pemain mapan lain mendapatkan serangan cukup pelik dari Wardah yang mengusung positioning sebagai kosmetik yang halal dan Islami.

Sementara mbak Diajeng mengamini bahwa “revolusi hijab” telah berlangsung di negeri ini dimana berhijab tak hanya menjadi sebuah kewajiban agama, tapi sudah menjadi lifestyle yang keren dan cool. Ia juga setuju bahwa konsumen kini semakin menuntut manfaat spiritual (spiritual value) dari produk atau jasa. Dalam kasus industri fesyen hijab misalnya, konsumen mulai menginginkan berbusana yang sopan dan menutup aurat seperti diajarkan Islam, namun tetap tak meninggalkan gaya yang trendy dan fashionable.

Menghadapi revolusi konsumen muslim ini, dalam buku tersebut saya mengusulkan enam prinsip yang bisa dijadikan sebagai guidance bagi para marketer dalam menggarap pasar yang sedang menggeliat ini. Saya coba ringkaskan enam prinsip yang saya beri nama seksi: The Six Principles of Marketing to the Middle Class Moslem tersebut.

#1. The Principle of Customer: Customers become more religious. They begin to search for spiritual value
Inilah menariknya konsumen muslim Indonesia. Semakin makmur mereka, semakin knowledgeable mereka, dan semakin technology-savvy. justru mereka semakin religius. Mereka semakin mencari manfaat spiritual (spiritual value) dari produk yang mereka beli dan konsumsi. Yaitu produk-produk yang menjalankan kepatuhan (compliance) pada nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam. Ini berbeda dengan di dunia Barat misalnya, dimana ketika mereka beranjak maju, masyaraktnya justru semakin sekuler bahkan banyak yang tak memercayai lagi keberadaan Tuhan.

#2 The Principle of Competition: Competition is about building brand persona. Connect your brand to the customer’s heart
Empat sosok yang mewakili potret kelas menengah muslim (Apathist, Rationalist, Conformist, Universalist) memiliki impian, aspirasi, nilai-nilai, dan perilakunya masing-masing. Berdasarkan pemahaman mengenai karakteristik konsumen di masing-masing sosok, Anda akan tahu persis bagaimana memperlakukan mereka. Anda juga harus membangun personifikasi berdasarkan karakteristik dari masing-masing sosok tersebut, kemudian menciptakan koneksi emosional bahkan spiritual dengan mereka. Inilah yang saya sebut sebagai brand persona.

#3 The Principle of Positioning: Be an inclusive brand. Be a Universal Icon
Untuk mengambil hati kelas menengah muslim, merek Anda harus ramah-bersahabat, merangkul semua (tak hanya eksklusif sebatas kalangan muslim); open-minded alias terbuka dan berlapang dada terhadap informasi, ide, pikiran, aliran, atau pengaruh dari manapun dan siapapun; toleran terhadap perbedaan, dan selalu berpikiran positif dengan landasan kekuatan cinta. Itu semua harus Anda wujudkan dengan satu tujuan dalam rangka menghasilkan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh stakeholders. Singkatnya, your brand must be an inclusive brand.

#4 The Principle of Differentiation: Build authenticity through commitment and passion. Create your own DNA.
Untuk membangun diferensiasi yang kokoh dan tak sulit ditiru oleh pesaing, maka merek Anda harus menjadi authentic brand. Anda tak cukup sekedar menempelkan label halal pada kemasan dan produk Anda. Untuk menjadi authentic brand, merek Anda harus menempatkan ketaatan kepada nilai-nilai luhur keislaman yang bersifat universal sebagai “reason for being” Anda . Untuk menjadi authentic brand mereka Anda harus menempatkan upaya-upaya mewujudkan kebaikan universal (universal goodness) sebagai “what the business are we in” Anda. Intinya, untuk menjadi authentic brand Anda harus menciptakan DNA sebagai merek Islami.

#5 The Principle of Value: Offer unique universal value. Balance your product and spiritual benefits
Ketika konsumen semakin menuntut manfaat spiritual dari sebuah produk, maka saya melihat bahwa nilai tertinggi bagi konsumen akan terwujud jika produsen mampu menghasilkan apa yang saya sebut sebagai nilai universal (universal value), yaitu gabungan antara manfaat produk (yang terdiri dari manfaat fungsional dan manfaat emosional) dan manfaat spiritual yang kemudian dibagi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh konsumen. Untuk sukses Anda harus membangun bauran manfaat fungsional, emosional, dan spiritual yang unik untuk mengunci persaingan.

#6 Principle of Engagement: Connect your customers to each other. Build a community of messengers
Kaum muslim adalah kelompok sosial yang memiliki kesamaan tujuan (shared purpose) yaitu untuk mencapai keselamatan di dunia dan akhirat dengan selalu menjalankan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larang-larangan-Nya. Karena by default kaum muslim adalah sebuah komunitas, maka pendekatan pemasaran yang paling ampuh untuk menggarap pasar ini adalah dengan menggunakan pendakatan komunitas (community marketing) dengan mengoneksikan satu konsumen dengan konsumen lain di dalam komunitas.

#KelasInspirasi Bandung: Hijab Revolution!!!

$
0
0

Hijab menjadi fenomena luar biasa di Indonesia sepanjang tiga tahun terakhir. Berhijab menjadi lifestyle yang keren, busana hijab bermerek begitu diminati, selebiriti ramai-ramai mengenakan hijab, majalah hijab beranak-pinak, toko online hijab boom, komunitas hijabers pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Inilah yang disebut “Hijab Revolution”.

Hijab Revolution tak lepas dari pergeseran mendasar konsumen kelas menengah muslim Indonesia yang semakin religius. Sebagai konsumen yang knowledgeable, mereka mulai menuntuk spiritual value (yaitu ketaatan keada nilai-nilai dan ajaran Islam) dalam mengonsumsi produk dan jasa. Itu sebabnya, mereka mulai berprinsip: berbank haruslah bersih dari riba; makanan haruslah halal; dan berbusana haruslah menututp aurat.

Bagaiaman Hijab Revolution ini mengubah peta persaingan pasar di negeri yang 87% masyaraktnya  muslim ini? #KelasInspirasi Komunitas Memberi @memberiID akan mengupasnya dengan membedah buku anyar “Marketing to the Middle Class Muslim” karya Yuswohady dengan mengambil studi kasus merek hijab terkemuka: Shafira dan Zoya.

Hari/Tanggal: Rabu, 23 Juli 2014, pk. 15.00 -17.30 WIB
Tempat: Shafira Building, Jl. Sulanjana 28, Bandung
Tema: Marketing to the Middle Class Muslim: The Hijab Revolution
Pembicara:
Yuswohady, penulis buku
Agung Hidayatullah, GM Marketing Shafira Corporation

Temen-temen yuk gabung, gratissss!!!
Cukup daftar dengan mengirim data kamu: Nama, No HP, akun Twitter, alamat email, dan nama perusahaan/lembaga (kalau ada) ke email: kelas@memberi.org dengan subject email: Daftar #KelasInspirasi

#KelasInspirasi Leadership Wisdom of Martha Tilaar & Ratna Pranata

$
0
0

Ini kesempatan langka! Bisa bertemu dan berdiskusi dengan dua kakak-beradik pendiri Martha Tilaar Group (MTG): Martha Tilaar dan Ratna Pranata. Mereka berdua adalah dua sosok wanita pemimpin bisnis hebat yang selama 40 tahun bahu-membahu merintis dan membesarkan Martha Tilaar Group. Kisah kepemimpinan mereka yang heroik dituliskan dalam sebuah buku yang saya tulis berjudul “Martha dan Ratna: Dua Perempuan di Balik Sukses Martha Tilaar Group” yang akan dibedah dalam #kelasInspirasi Komunitas Memberi

Saya menyebut menyebut kepemimpinan mereka berdua sebagai “Kepemimpinan Yin-Yang”. Ya, karena dua sosok pemimpin hebat ini memiliki karakter yang bertolak belakang, namun mampu saling mengisi dan melengkapi sehingga menghasilkan kesuksesan MTG yang luar biasa selama lebih dari 40 tahun. Sepang terjang mereka yang saling memberi, saling menopang, dan saling menyayangi merupakan role model bagi setiap pemimpin perusahaan keluarga.


Martha dan Ratna adalah layaknya dua sisi mata uang yang berbeda kontras, namun saling mengisi, saling melengkapi, dan saling menguatkan satu sama lain. Martha si kakak, adalah sosok yang visioner dengan insting yang tajam dalam mengembangkan bisnis-bisnis masa depan MTG. Sementara Ratna adalah kebalikannya, sosok praktis yang memiliki kemampuan mumpuni dalam eksekusi. Ratna adalah sosok yang berdisiplin tinggi dalam melakukan eksekusi dan memiliki ketelitian luar biasa dalam menjalankan setiap detail dari eksekusi tersebut.

Diskusi dengan 2 tokoh hebat ini akan dibesut dalam #kelasInspirasi Komunitas Memberi pada:

Hari/Tanggal: Kamis, 24 Juli 2014 pk. 15.00 – 17.30 WIB
Tempat: Kantor Pusat MTG, Jl. Pulokambing II no.1, Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta
Tema: Martha & Ratna: The Yin-Yang Leadership Story
Pembicara:
Martha Tilaar, Pendiri MTG
Ratna Pranata, Pendiri MTG
Samuel Pranata, Direktur Pemasaran, MTG

Moderator:
Yuswohady, Penulis buku “Martha & Ratna”

Sekali lagi ini kesempatan teramat langka bisa belajar dua sosok pemimpin wanita legendaris yang dimiliki Indonesia. Yuk ikutan, gratis. Cukup daftar dengan mengirim data kamu: Nama, No HP, akun Twitter, alamat email, dan nama perusahaan/lembaga (kalau ada) ke email: kelas.komunitasmemberi@gmail.com dengan subject email: Daftar #KelasInspirasi

Viewing all 363 articles
Browse latest View live